قاَلَ الْقَاضِيْ: وَ مِمَّا لَا خِلَافَ فِيْهِ قَوْلُهُمْ: لَوْ رَفَعَ رَأْسَهُ مِنَ السَّجْدَةِ الْأُوْلٰى قَبْلَ إِمَامِهِ ظَانًّا أَنَّهُ رَفَعَ وَ أَتٰى بِالثَّانِيَةِ ظَانًّا أَنَّ الْإِمَامَ فِيْهَا، ثُمَّ بَانَ أَنَّهُ فِي الْأُوْلٰى، لَمْ يُحْسَبْ لَهُ جُلُوْسُهُ وَ لَا سَجْدَتُهُ الثَّانِيَةُ، وَ يُتَابِعُ الْإِمَامَ، أَيْ: فَإِنْ لَمْ يَعْلَمْ ذلِكَ إِلَّا وَ الْإِمَامُ قَائِمٌ أَوْ جَالِسٌ أَتٰى بِرَكْعَةٍ بَعْدَ سَلَامِ الْإِمَامِ.
وَ خَرَجَ بِقَوْلِيْ: وَ تَلَبَّسَ بِفَرْضٍ، مَا إِذَا لَمْ يَتَلَبَّسْ بِهِ غَيْرُ مَأْمُوْمٍ، فَيَعُوْدُ النَّاسِيْ نَدْبًا قَبْلَ الْاِنْتِصَابِ أَوْ وَضْعِ الْجَبْهَةِ، وَ يَسْجُدُ لِلسَّهْوِ إِنْ قَارَبَ الْقِيَامَ فِيْ صُوْرَةِ تَرْكِ التَّشَهُّدِ، أَوْ بَلَغَ حَدَّ الرُّكُوْعِ فِيْ صُوْرَةِ تَرْكِ الْقُنُوْتِ، وَ لَوْ تَعَمَّدَ غَيْرُ مَأْمُوْمٍ تَرْكَهُ فَعَادَ عَالِمًا عَامِدًا بَطَلَتْ صَلَاتُهُ إِنْ قَارَبَ أَوْ بَلَغَ مَا مَرَّ، بِخِلَافِ الْمَأْمُوْمِ.
Imām al-Qādhī mengatakan: Sebagian masalah yang tidak terjadi perbedaan pendapat di antara para ‘ulamā’ adalah pernyataan para ‘ulamā’: Jikalau ma’mum mengangkat kepalanya dari sujūd awal sebelum imamnya dengan menduga bahwa imam telah bangkit dari sujūd dan ma’mum tersebut melakukan sujūd kedua dengan menduga bahwa imam telah berada pada sujūd kedua, kemudian jelas setelah itu bahwa imam masih berada pada sujūd pertama, maka duduk dan sujūd kedua dari ma’mum tidaklah dianggap dan wajib bagi ma’mum untuk mengikuti imam. Maksudnya, jikalau ma’mum tidak mengerti hal itu kecuali imam sudah berada pada posisi berdiri atau duduk, maka ma’mum menambah satu raka‘at setelah salam imam. Dikecualikan dengan ucapanku: “Telah mengerjakan kefardhuan” adalah ketika selain ma’mum belum mengerjakan kefardhuan, (121) maka sunnah bagi orang yang lupa untuk kembali (132) sebelum berdiri tegak atau meletakkan keningnya dan melakukan sujūd sahwi jika posisinya lebih dekat dengan berdiri pada kasus meninggalkan tasyahhud atau telah sampai batasan rukū‘ dalam kasus meninggalkan qunut, jikalau selain ma’mum sengaja meninggalkan qunut, kemudian ia kembali besertaan mengetahui keharaman dan dengan sengaja, maka shalatnya batal jika posisinya lebih dekat atau telah sampai pada hal yang telah disebutkan, berbeda dengan kasus ma’mum.
(وَ لِنَقْلِ) مَطْلُوْبٍ (قَوْلِيٍّ غَيْرِ مُبْطِلٍ) نَقْلُهُ إِلٰى غَيْرِ مَحَلِّهِ، وَ لَوْ سَهْوًا، رُكْنًا كَانَ كَفَاتِحَةٍ وَ تَشَهُّدٍ أَوْ بَعْضِ اَحَدِهِمَا، أَوْ غَيْرَ رُكْنٍ كَسُوْرَةٍ إِلٰى غَيْرِ الْقِيَامٍ، وَ قُنُوْتٍ إِلٰى مَا قَبْلَ الرُّكُوْعِ أَوْ بَعْدَهُ فِي الْوِتْرِ فِيْ غَيْرِ نِصْفِ رَمَضَانَ الثَّانِيْ، فَيَسْجُدُ لَهُ. أَمَّا نَقْلُ الْفِعْلِيِّ فَيَبْطُلُ تَعَمُّدُهُ. وَ خَرَجَ بِقَوْلِيْ: غَيْرُ مُبْطِلٍ، مَا يُبْطِلُ، كَالسَّلَامِ وَ تَكْبِيْرِ التَّحَرُّمِ، بِأَنْ كَبَّرَ بِقَصْدِهِ. (وَ لِسَهْوِ مَا يُبْطِلُ عَمْدُهُ لَا هُوَ) أَيْ: اَلسَّهْوُ، كَتَطْوِيْلِ رُكْنٍ قَصِيْرٍ، وَ قَلِيْلِ كَلَامٍ وَ أَكْلٍ، وَ زِيَادَةِ رُكْنٍ فِعْلِيٍّ، لِأَنَّهُ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ صَلَّى الظُّهْرَ خَمْسًا وَ سَجَدَ لِلسَّهْوِ، وَ قِيْسَ بِهِ غَيْرُهُ. وَ خَرَجَ بِ”مَا يُبْطِلُ عَمْدُهُ” مَا يُبْطِلُ سَهْوُهُ أَيْضًا، كَكَلَامٍ كَثِيْرٍ، وَ مَا لَا يُبْطِلُ سَهْوُهُ وَ لَا عَمْدُهُ، كَالْفِعْلِ الْقَلِيْلِ وَ الْاِلْتِفَاتِ، فَلَا يُسْجَدُ لِسَهْوِهِ وَ لَا لِعَمْدِهِ.
(Disunnahkan pula sujūd sahwi sebab memindah bacaan yang diperintahkan yang tidak membatalkan ketika dipindah di selain tempatnya) (143) – walaupun dalam keadaan lupa – baik bacaan tersebut berupa rukun – seperti fātiḥah, tasyahhud dan sebagian dari salah satu dari keduanya – , atau bukan rukun seperti membaca surat di selain posisi berdiri dan doa qunut yang dikerjakan sebelum rukū‘ atau setelah rukū‘ dalam shalat witir di selain pertengahan kedua bulan Ramadhān, maka sujudlah karena hal itu. Sedangkan memindah perbuatan yang diperintahkan, maka kesengajaannya dapat membatalkan shalat. Dikecualikan dengan ucapanku: “Yang tidak membatalkan” adalah yang membatalkan seperti salam dan takbīrat-ul-iḥrām dengan niat takbīr tersebut. (Dan karena lupanya perkara yang membatalkan kesengajaannya rukun yang pendek, sedikit bicara, makan, dan menambah rukun fi‘lī sebab Nabi s.a.w. shalat zhuhur sebanyak lima kali (ya‘ni lima rakaat) dan sujūd sahwi. Disamakan dengan itu selainnya. Dikecualikan dengan “Hal yang membatalkan kesengajaannya” adalah yang membatalkan kelupaannya juga, seperti ucapan yang banyak, dan hal yang tidak membatalkan lupa dan sengajanya seperti pekerjaan sedikit dan menoleh, maka tidak sunnah sujūd sahwi sebab lupa dan sengajanya.
(وَ لِشَكٍّ فِيْمَا صَلَّاهُ وَ احْتَمَلَ زِيَادَةً)، لِأَنَّهُ إِنْ كَانَ زَائِدًا فَالسُّجُوْدُ لِلزِّيَادَةِ، وَ إِلَّا فَلِلتَّرَدُّدِ الْمُوْجِبِ لِضَعْفِ النِّيَّةِ. فَلَوْ شَكَّ أَصَلَّى ثَلَاثًا أَمْ أَرْبَعَا مَثَلًا أَتَى بِرَكْعَةٍ، لِأَنَّ الْأَصْلَ عَدَمُ فِعْلِهَا، وَ يَسْجُدُ لِلسَّهْوِ، وَ إِنْ زَالَ شَكُّهُ قَبْلَ سَلَامِهِ، بِأَنْ تَذَكَّرَ قَبْلَهُ أَنَّهَا رَابِعًا لِلتَّرَدُّدِ فِيْ زِيَادَتِهَا، وَ لَا يَرْجِعُ فِيْ فِعْلِهَا إِلَى ظَنِّهِ وَ لَا إِلَى قَوْلِ غَيْرِهِ أَوْ فِعْلِهِ، وَ إِنْ كَانُوْا جَمْعًا كَثِيْرًا مَا لَمْ يَبْلُغُوْا عَدَدَ التَّوَاتُرِ. وَ أَمَّا مَا لَا يَحْتَمِلُ زِيَادَةً، كَأَنْ شَكَّ فِيْ رَكْعَةٍ مِنْ رُبَاعِيَّةٍ أَهِيَ ثَالِثَةٌ أَمْ رَابِعَةٌ، فَتَذَكَّرَ قَبْلَ الْقِيَامِ لِلرَّابِعَةِ أَنَّهَا ثَالِثَةٌ، فَلَا يَسْجُدُ، لِأَنَّ مَا فَعَلَهُ مِنْهَا مَعَ التَّرَدُّدِ لَا بُدَّ مِنْهُ بِكُلِّ تَقْدِيْرٍ، فَإِنْ تَذَكَّرَ بَعْدَ الْقِيَامِ لَهَا سَجَدَ لِتَرَدُّدِهِ حَالَ الْقِيَامِ اِلَيْهَا فِيْ زِيَادَتِهَا.
(Sunnah sujūd sahwi sebab keraguan terhadap shalat yang dikerjakan dan berkemungkinan ada penambahan) (154) sebab jikalau shalatnya tambah, maka fungsi sujūd sahwi adalah untuk tambahan tersebut, dan jika tidak bertambah, maka untuk keraguan yang memastikan lemahnya niat. Jikalau seorang ragu; apakah telah shalat tiga raka‘at atau empat – sebagai contoh – maka kerjakanlah satu raka‘at lagi sebab hukum asalnya adalah belum mengerjakan dan melakukan sujūd sahwi, walaupun keraguan tersebut hilang sebelum salam dengan ingatnya hal itu sebelum salam bahwa dirinya telah mengerjakan empat raka‘at sebab untuk keraguan terjadinya penambahan. Orang yang bimbang tidak diperbolehkan untuk kembali mantap dengan pekerjaannya dengan sebuah praduga, ucapan orang lain atau pekerjaannya, walaupun mereka berjumlah banyak selama tidak mencapai jumlah yang mutawātir. (165) Sedangkan kasus yang tidak berkemungkinan ada tambahan seperti ragu di raka‘at shalat yang berjumlah empat; apakah telah mengerjakan tiga raka‘at atau empat?, lantas orang itu ingat sebelum berdiri menuju raka‘at yang ke-empat bahwa ia masih mendapat tiga raka‘at, maka tidak sunnah sujūd sahwi sebab apa yang telah dikerjakan besertaan adanya kebimbangan sudah pasti, mesti dikerjakan dengan segala bentuk menuju raka‘at keempat, maka sunnah untuk melakukan sujūd sahwi sebab kebimbangan dalam penambahan saat berdiri menuju raka‘at tersebut. (176)
(وَ) سُنَّ لِلْمَأْمُوْمِ سَجْدَتَانِ (لِسَهْوِ إِمَامِ) مُتَطَهِّرٍ وَ إِمَامِهِ، وَ لَوْ كَانَ سَهْوُهُ قَبْلَ قُدْوَتِهِ (وَ إِنْ فَارَقَهُ) أَوْ بَطَلَتْ صَلَاةُ الْإِمَامِ بَعْدَ وُقُوْعِ السَّهْوِ مِنْهُ، (أَوْ تَرَكَ) الْإِمَامُ السُّجُوْدَ جَبْرًا لِلْخَلَلِ الْحَاصِلِ فِيْ صَلَاتِهِ، فَيَسْجُدُ بَعْدَ سَلَامِ الْإِمَامِ، وَ عِنْدَ سُجُوْدِهِ يَلْزَمُ الْمَسْبُوْقُ وَ الْمُوَافِقُ مُتَابَعَتُهُ وَ إِنْ لَمْ يَعْرِفْ أَنَّهُ سَهَا، وَ إِلَّا بَطَلَتْ صَلَاتُهُ إِنْ عَلِمَ وَ تَعَمَّدَ، وَ يُعِيْدُ الْمَسْبُوْقُ نَدْبًا اۤخِرَ صَلَاةِ نَفْسِهِ. (لَا لِسَهْوِهِ)، أَيْ: سَهْوِ الْمَأْمُوْمِ (حَالَ الْقُدْوَةِ خَلْفَ إِمَامٍ)، فَيَتَحَمَّلُهُ عَنْهُ الْإِمَامُ الْمُتَطَهِّرُ لَا الْمُحْدِثُ، وَ لَا ذُوْ خَبَثٍ خَفِيٍّ، بِخِلَافِ سَهْوِهِ بَعْدَ سَلَامِ الْإِمَامِ، فَلَا يَتَحَمَّلُهُ لِانْقِضَاءِ الْقُدْوَةِ. وَ لَوْ ظَنَّ الْمَأْمُوْمُ سَلَامَ الْإِمَامِ فَسَلَّمَ، فَبَانَ خِلَافِ ظَنِّهِ، سَلَّمَ مَعَهُ، وَ لَا سُجُوْدَ، لِأَنَّهُ سَهْوٌ فِيْ حَالِ اْلقُدْوَةِ.
(Disunnahkan bagi seorang ma’mum) untuk melakukan dua sujūd sahwi (sebab kelupaan imam) yang suci dan imamnya imam walaupun kelupaan tersebut terjadi sebelum menjadi ma’mum (dan walaupun ma’mum memisahkan diri dengan imam) atau shalatnya imam batal setelah kelupaan terjadi (atau imam meninggalkan) sujūd sahwi. Hal itu dilakukan untuk menambahi kekurangan dari shalatnya imam, maka bagi ma’mum disunnahkan sujūd sahwi setelah salamnya imam. Ketika imam melakukan sujūd, maka wajib bagi seorang ma’mum masbūq dan muwāfiq untuk mengikutinya, walaupun mereka tidak tahu bahwa imam lupa. Jika tidak mengikuti, maka shalatnya batal bila mereka tahu keharamannya dan sengaja. Untuk ma’mum masbūq disunnahkan mengulangi sujūd sahwi di akhir shalatnya. (Tidak karena kelupaan) ma’mum (pada saat masih menjadi ma’mum di belakang imam), (187) maka kelupaan tersebut ditanggung oleh imam (198) yang suci, bukan yang hadats, dan yang terkena najis tersembunyi. Berbeda dengan kelupaan ma’mum setelah salamnya imam, maka imam tidak dapat menangungnya sebab hukum menjadi ma’mum telah berakhir. Jikalau seorang ma’mum menduga salamnya imam, lantas ma’mum salam, namun ternyata praduganya keliru maka ma’mum wajib salam besertaan dengan imam dan tidak sunnah melakukan sujūd sahwi sebab ma’mum lupa saat masih mengikut imam.