Kembali ke Pangkuan Ibunda Tercinta – Ar-Rahiq-ul-Makhtum – al-Mubarakfuri

Rangkaian Pos: Kelahiran Dan Empat Puluh Tahun Sebelum Kenabian

Kembali ke Pangkuan Ibunda Tercinta

Dengan adanya peristiwa pembelahan dada itu, maka Ḥalīmah as-Sa‘diyyah merasa khawatir terhadap keselamatan beliau, sehingga dia mengembalikan beliau kepada ibunya. Kemudian beliau hidup bersama ibunda tercinta hingga berumur enam tahun. (131) (142).

Beberapa waktu kemudian Āminah binti Wahb merasa perlu mengenang suaminya yang telah meninggal dunia dengan cara mengunjungi kuburannya di Yatsrib Madīnah. Maka dia pergi dari Makkah menempuh perjalanan sejauh 500 km, bersama putranya yang yatim, yaitu Rasūlullāh s.a.w., disertai pembantu wanitanya, yaitu Ummu Aiman. Setelah menetap selama satu bulan di Madīnah, maka Āminah binti Wahb dan rombongannya siap-siap untuk kembali ke Makkah. Dalam perjalanan pulang itu dia jatuh sakit dan akhirnya meninggal dunia di Abwā’, yang terletak di antara Makkah dan Madīnah. (153) (164).

 

Catatan:

  1. 13). Talqīhu Fuhūmi Ahlil Ātsār, hal. 7 dan Ibnu Hisyām, I/168.
  2. 14). Komentar: Dr. Akram al-‘Umarī dalam as-Sīrat-un-Nabawiyyat-ush-Shaḥīḥah, (I/105) mengatakan: “Hadits ini diriwayatkan oleh Aḥmad, ad-Dārimī, dan al-Ḥākim. Poros sanadnya adalah Baqiyyah bin al-Walīd. Ia seorang mudallis dan tidak pernah secara tegas menyatakan periwayatan dengan cara mendengar dalam seluruh tingkatan sanadnya. Bahkan, ia meriwayatkan secara ‘an‘anah di seluruhnya antara Bukhair bin Sa‘ad dan Khālid bin Ma‘dān. Seandainya ia melakukan tentu sanadnya baik, dan ini dikuatkan sebagai mursal oleh az-Zuhrī di dalam Mushannafu ‘Abd-ir-Razzāq.” (al-Malaḥ).
  3. 15). Ibnu Hisyām, I/168; Talqīhu Fuhūmi Ahlil Ātsār, hal. 7; Muḥādharatu Tārīkh-il-Umam-il-Islāmiyyah, al-Khudharī, hal. I/63; dan Fiqh-us-Sīrah, al-Ghazālī, hal. 50.
  4. 16). Komentar: Kisah ini tidak terbukti. Dr. Akram al-‘Umarī dalam as-Sīrat-un-Nabawiyyat-ush-Shaḥīḥah, (I/105) mengatakan: “Berita ini tidak terbukti dengan riwayat yang shaḥīḥ benar, tetapi biasanya karena faktor mempermudah.”

    Saya ingin mengomentari ungkapan penulis: “Sebagai bukti untuk mengenang suaminya yang telah wafat?” Manakah bukti yang menunjukkan tanggal kepergiannya untuk mengunjungi makam suaminya? Dan bahwa itu dilakukan pada hari yang sama saat suaminya meninggal? Di samping itu, apakah kebiasaan mengenang suami itu merupakan tradisi yang sudah dikenal di kalangan mereka?! (al-Malaḥ).

Komentar

Belum ada komentar. Mengapa Anda tidak memulai diskusi?

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *