Dengan adanya peristiwa pembelahan dada itu, maka Ḥalīmah as-Sa‘diyyah merasa khawatir terhadap keselamatan beliau, sehingga dia mengembalikan beliau kepada ibunya. Kemudian beliau hidup bersama ibunda tercinta hingga berumur enam tahun. (131) (142).
Beberapa waktu kemudian Āminah binti Wahb merasa perlu mengenang suaminya yang telah meninggal dunia dengan cara mengunjungi kuburannya di Yatsrib Madīnah. Maka dia pergi dari Makkah menempuh perjalanan sejauh 500 km, bersama putranya yang yatim, yaitu Rasūlullāh s.a.w., disertai pembantu wanitanya, yaitu Ummu Aiman. Setelah menetap selama satu bulan di Madīnah, maka Āminah binti Wahb dan rombongannya siap-siap untuk kembali ke Makkah. Dalam perjalanan pulang itu dia jatuh sakit dan akhirnya meninggal dunia di Abwā’, yang terletak di antara Makkah dan Madīnah. (153) (164).
Saya ingin mengomentari ungkapan penulis: “Sebagai bukti untuk mengenang suaminya yang telah wafat?” Manakah bukti yang menunjukkan tanggal kepergiannya untuk mengunjungi makam suaminya? Dan bahwa itu dilakukan pada hari yang sama saat suaminya meninggal? Di samping itu, apakah kebiasaan mengenang suami itu merupakan tradisi yang sudah dikenal di kalangan mereka?! (al-Malaḥ).