Keluarga Nabi s.a.w. – Ar-Rahiq-ul-Makhtum – al-Mubarakfuri

Rangkaian Pos: Nasab & Keluarga Nabi s.a.w. - Ar-Rahiq-ul-Makhtum - al-Mubarakfuri

Keluarga Nabi s.a.w.

Keluarga Nabi s.a.w. dikenal dengan sebutan keluarga Hāsyimiyyah. Nama ini dinisbatkan kepada kakeknya, Hāsyim bin ‘Abdu Manāf. Oleh karena itu, ada baiknya jika menyebutkan sekilas tentang keadaan Hāsyim dan keturunan sesudahnya.

 

  1. Hāsyim.

Seperti telah kami sebutkan sebelumnya, Hāsyim adalah orang yang memegang urusan air minum dan makanan Bani ‘Abdu Manāf. Hāsyim sendiri adalah orang yang kaya raya dan terhormat. Dialah orang yang pertama kali memberikan remukan roti bercampur kuah kepada orang-orang yang menunaikan ibadah haji di Makkah. Dia juga orang yang pertama kali membuka jalur perjalanan dagang dua kali dalam satu tahun bagi orang-orang Quraisy, yaitu sekali pada musim dingin dan sekali pada musim kemarau.

Di antara momen kehidupannya, dia pernah pergi ke Syam untuk berdagang. Setiba di Madīnah, dia menikah dengan Salmā binti ‘Amru dari Bani ‘Adī bin an-Najjār dan menetap di sana bersama istrinya. Lalu dia melanjutkan perjalanannya ke Syam, sementara istrinya tetap bersama keluarganya, yang saat itu sedang mengandung anaknya, yaitu ‘Abd-ul-Muththalib. Namun, Hāsyim meninggal dunia setelah menginjakkan kaki di Palestina. Kemudian Salmā binti ‘Amru melahirkan ‘Abd-ul-Muththalib pada tahun 497 M. dengan nama Syaibah, karena ada rambut putih (uban) di kepalanya. (41)

Hāsyim mempunyai empat putra, yaitu Asad, Abū Shaifī, Nadhlah, dan ‘Abd-ul-Muththalib. Juga mempunyai lima putri, yaitu asy-Syifā’, Khālidah, Dha‘īfah, Ruqayyah, dan Jannah. (52).

 

  1. ‘Abd-ul-Muththalib

Sebagimana yang telah kita singgung pada bagian terdahulu bahwa penanganan air minum dan makanan sepeninggal Hāsyim ada di tangan saudaranya, yaitu al-Muththalib bin ‘Abdu Manāf, seorang laki-laki yang terpandang, dipatuhi dan dihormati di tengah kaumnya, yang dijuluki orang-orang Quraisy dengan sebutan al-Fayyadh (Sang Dermawan), karena memang dia adalah seorang yang dermawan.

Tatkala al-Muththalib mendengar bahwa Syaibah (‘Abd-ul-Muththalib) sudah tumbuh menjadi seorang pemuda, maka dia mencarinya. Setelah keduanya saling berhadapan, kedua mata al-Muththalib meneteskan air mata haru, lalu dia pun memeluknya dan dia bermaksud membawanya. Namun, ‘Abd-ul-Muththalib menolak ajakan itu, kecuali jika ibunya mengizinkannya. Kemudian al-Muththalib memohon kepada ibu ‘Abd-ul-Muththalib, tetapi permohonannya itu juga ditolak.

Al-Muththalib berkata: “Sesungguhnya dia akan pergi ke tengah kerajaan bapaknya dan Tanah Suci Allah ta‘ālā.”

Akhirnya ibunya mengizinkan. ‘Abd-ul-Muththalib pun dibawa ke Makkah dengan dibonceng di atas untanya. Sesampai di Makkah, orang-orang berkata: “Inilah dia ‘Abd-ul-Muththalib.”

Al-Muththalib berkata: “Celaka kalian. Dia adalah anak saudaraku, Hāsyim.”

‘Abd-ul-Muththalib menetap di rumah al-Muththalib hingga menjadi besar. Kemudian al-Muththalib meninggal dunia di Yaman maka ‘Abd-ul-Muththalib menggantikan kedudukannya. Dia hidup di tengah kaumnya dan memimpin mereka seperti yang dilakukan oleh bapak-bapaknya terdahulu. Dia mendapatkan kehormatan yang tinggi dan dicintai di tengah kaumnya, yang tidak pernah didapatkan oleh bapak-bapaknya.

Namun, Naufal – adik bapak ‘Abd-ul-Muththalib atau pamannya sendiri-merebut sebagian wilayah kekuasaannya, yang membuat ‘Abd-ul-Muththalib marah, sehingga dia meminta dukungan kepada beberapa pimpinan Quraisy untuk menghadapi pamannya. Namun, mereka berkata: “Kami tidak ingin mecampuri urusan antara dirimu dengan pamanmu.” Maka dia menulis surat yang ditujukan kepada paman-paman dari pihak ibunya, yaitu Bani an-Najjār yang berisikan beberapa bait syair yang intinya meminta pertolongan kepada mereka. Salah seorang pamannya, yaitu Abū Sa‘ad bin ‘Adī membawa delapan puluh pasukan berkuda, lalu singgah di pinggiran Makkah. Kemudian ‘Abd-ul-Muththalib menemui pamannya di sana dan berkata: “Mari singgah ke rumahku, wahai pamanku.”

Pamannya berkata: “Tidak, demi Allah, kecuali setelah aku bertemu Naufal.” Lalu Abū Sa‘ad mencari Naufal yang saat itu sedang duduk di Ḥijr bersama beberapa pemuka Quraisy. Abū Sa‘ad langsung menghunus pedang dan berkata: “Demi Rabbnya Ka‘bah, jika engkau tidak mengembalikan wilayah kekuasaan anak saudariku, maka aku akan menebaskan pedang ini ke batang lehermu.”

Naufal berkata: “Aku sudah mengembalikannya.” Pengembalian ini dipersaksikan oleh pemuka Quraisy, baru setelah itu Abū Sa‘ad bin ‘Adī mau singgah ke rumah ‘Abd-ul-Muththalib dan menetap di sana selama tiga hari. Setelah itu dia melaksanakan umrah lalu pulang ke Madīnah.

Melihat perkembangan ini, maka Naufal mengadakan perjanjian persahabatan dengan Bani ‘Abdu Syams bin ‘Abdu Manāf untuk menghadapi Bani Hāsyim. Bani Khuzā‘ah yang melihat dukungan Bani an-Najjār terhadap ‘Abd-ul-Muththalib berkata: “Kami juga melahirkannya sebagaimana kalian melahirkannya. Oleh karena itu, kami juga lebih berhak mendukungnya.”

Hal di atas bisa dimaklumi, karena ibu ‘Abdu Manāf berasal dari keturunan mereka, sehingga mereka memasuki Dār-un-Nadwah dan mengikat perjanjian persahabatan dengan Bani Hāsyim untuk menghadapi Bani ‘Abdu Syams yang sudah bersekutu dengan Naufal. Perjanjian persahabatan inilah yang kemudian menjadi sebab penaklukan Makkah. (63).

Di antara peristiwa penting yang terjadi di Bait-ul-Ḥaram semasa ‘Abd-ul-Muththalib adalah penggalian sumur Zamzam dan peristiwa Pasukan Gajah. (74).

 

  1. ‘Abdullāh

‘Abdullāh adalah bapak Nabi Muḥammad s.a.w. Ibunya adalah Fāthimah binti ‘Amru bin ‘Ā’idz bin ‘Imrān bin Makhzūm bin Yaqzhah bin Murrah. ‘Abdullāh adalah anak ‘Abd-ul-Muththalib yang paling bagus dan paling dicintainya. ‘Abdullāh inilah yang mendapat undian untuk disembelih dan dikorbankan sesuai dengan nazar ‘Abd-ul-Muththalib.

Ringkasnya, setelah anak-anaknya sudah berjumlah sepuluh orang dan tahu bahwa dia tidak lagi mempunyai anak, maka dia memberitahukan nazar yang pernah diucapkannya ketika menangani sumur Zamzam kepada anak-anaknya. Ternyata mereka semua patuh. Kemudian dia menulis nama-nama mereka di anak panah untuk diundi, lalu diserahkan kepada patung Hubal. Setelah anak-anak panah itu dikocok, maka keluarlah nama ‘Abdullāh, kemudian ‘Abd-ul-Muththalib menuntun ‘Abdullāh sambil membawa parang berjalan menuju Ka‘bah untuk menyembelih anaknya itu. Namun, orang-orang Quraisy mencegahnya, terutama paman-pamannya dari pihak ibu dari Bani Makhzūm dan saudaranya Abū Thālib.

‘Abd-ul-Muththalib yang kebingungan dan berkata: “Kalau begitu apa yang harus kulakukan sehubungan dengan nazarku ini?”

Mereka mengusulkan untuk menemui seorang dukun, maka dia pun menemui dukun perempuan itu. Sesampai di tempat dukun itu, dia diperintahkan untuk mengundi ‘Abdullāh dengan sepuluh ekor unta. Jika yang keluar nama ‘Abdullāh, maka dia harus menambahi lagi dengan sepuluh ekor unta, hingga Tuhan ridha. Jika yang keluar adalah nama unta, maka unta-unta itulah yang disembelih.

Kemudian dia keluar dari tempat dukun perempuan itu dan mengundi antara nama ‘Abdullāh dan sepuluh ekor unta. Ternyata yang keluar adalah nama ‘Abdullāh. Maka dia menambahi lagi dengan sepuluh unta. Setiap kali diadakan undian berikutnya, maka yang keluar adalah nama ‘Abdullāh, hingga jumlahnya mencapai seratus ekor unta, baru yang keluar nama unta. Daging-daging unta tersebut dibiarkan begitu saja, tidak boleh dijamah oleh manusia maupun binatang. Tebusan pembunuhan memang berlaku di kalangan Quraisy dan bangsa ‘Arab adalah sepuluh ekor unta. Namun, setelah kejadian ini, jumlahnya berubah menjadi seratus ekor unta, yang juga diakui Islam.

Diriwayatkan dari Nabi s.a.w., bahwa beliau bersabda: “Aku adalah anak dua orang yang disembelih.” Maksudnya adalah Ismā‘īl a.s. dan ‘Abdullāh. (85), (96).

Kemudian, ‘Abd-ul-Muththalib menikahkan anaknya, yaitu ‘Abdullāh dengan Āminah binti Wahb bin ‘Abdu Manāf bin Zurārah bin Kilāb, yang saat itu Āminah dianggap sebagai wanita yang paling terpandang di kalangan Quraisy dari segi keturunan maupun kedudukannya, karena bapaknya adalah pemuka Bani Zurārah. ‘Abdullāh hidup bersamanya di Makkah. Namun, tidak lama kemudian, ‘Abd-ul-Muththalib mengutusnya pergi ke Madīnah untuk mengurus kurma. Ternyata Allah menakdirkan dia meninggal di Madīnah dan dikuburkan di Dār-un-Nābighah al-Ja‘dī pada umur 25 tahun.

Menurut pendapat mayoritas pakar sejarah bahwa ‘Abdullāh meninggal dunia sebelum Rasūlullāh s.a.w. dilahirkan. Tetapi, ada pula yang berpendapat bahwa ‘Abdullāh meninggal dunia dua bulan setelah Rasūlullāh s.a.w. lahir.

Warisan yang ditinggalkan oleh ‘Abdullāh ada berupa lima ekor unta, sekumpulan domba, dan pembantu wanita Ḥabsy, yang namanya adalah Barakah, dan berjuluk Ummu Aiman. Dialah wanita pengasuh Rasūlullāh s.a.w. (107).

Catatan:

  1. 4). Ibnu Hisyām, 1/137 dan Raḥmatun lil ‘Ālamīn, I/26 dan II/24.
  2. 5). Ibnu Hisyām, 1/107
  3. 6). Lihat: Mukhtasharu Sīrat-ir-Rasūl, Muḥammad bin ‘Abd-il-Wahhāb an-Najdi, hal. 41-42.
  4. 7). Ibnu Hisyām, 1/142-147.
  5. 8). Ibnu Hisyām, 1/151-155; Raḥmatun lil ‘Ālamīn, II/89; dan Mukhtasharu Sīrat-ir-Rasūl, Syaikh ‘Abdullāh, hal. 12 dan 22-23.
  6. 9). Komentar: Hadits dengan lafal ini tidak jelas asal-usulnya. Al-Albānī berkomentar dalam as-Silsilat-udh-Dha‘īfah, hadits no. 331: “Tidak ada asal-usulnya hadits dengan redaksi ini.” Az-Zailā’ī di dalam al-Kasyf. 1/199; dan Ibnu Ḥajar dalam Takhrīj-ul-Kasysyāf mengatakan: “Kami tidak menemukannya dengan redaksi ini.”

    Saya katakan bahwa hadits ini terdapat dalam at-Takhrīj, IV/141 dan Ibnu Ḥajar menyatakan di dalamnya: “Saya katakan, menjiplak secara legal darinya – yakni az-Zailā’ī – dan dia telah men-takhrīj-nya.” Seperti itulah yang dikatakan dan tampaknya ia membiarkan jiplakan itu apa adanya setelah ungkapannya “dia men-takhrīj-nya,” karena untuk menuliskan setelah itu tidak mungkin. Ia seolah-olah berpikir bahwa hadits itu ada asal-usulnya, tetapi dia tidak menemukannya. Wallāhu a‘lam.

    Saya menemukan al-Ḥākim telah mengomentari hadits ini secara majzūm dengan menisbatkannya kepada Nabi s.a.w. Karena itu, ia berkata di dalam al-Mustadrak, II/559 setelah meriwayatkan dua atsar dari Ibnu ‘Abbās dan Ibnu Mas‘ūd – bahwa yang disembelih adalah Isḥāq, “Aku telah melihat guru-guru hadits yang kami temui dan di seluruh kota tempat kami menuntut ilmu di sana, dan mereka berbeda pendapat bahwa yang disembelih adalah Ismā‘īl. Mereka menyandarkannya kepada sabda Nabi s.a.w.: “Saya ini anak keturunan dua orang yang disembelih.” Tidak ada perbedaan pendapat bahwa beliau dari anak keturunan Ismā‘īl dan bahwa yang disembelih satunya lagi adalah ayah beliau yang berdarah al-‘Adnānī, yaitu ‘Abdullāh bin ‘Abd-il-Muththalib. Sekarang, saya telah menemukan kalau para penulis dalil-dalil ini yang memilih pendapat yang mengatakan bahwa yang disembelih satunya adalah Isḥāq.

    Saya katakan, mungkin al-Ḥākim dengan hadits tersebut mengacu kepada apa yang disebutkan sebelum hal. 551 di juz II dari jalur ‘Abdullāh bin Muḥammad al-Atabī, ‘Abdullāh bin Sa‘īd menceritakan kepada kami dari ash-Shanabihi yang berkata: “Kami menghadiri majelis Mu‘āwiyah bin Abī Sufyān dan orang-orang menyebut Ismā‘īl dan Isḥāq, dua putra Ibrāhīm a.s. Maka sebagian orang berkata: “Yang disembelih adalah Ismā‘īl.” Sebagian lain mengatakan: “Bukan, melainkan Isḥāq yang disembelih.” Mu‘āwiyah pun berkomentar: “Kalian benar. Kami dahulu bersama Rasūlullāh s.a.w. lalu tiba-tiba seorang ‘Arab Badui datang dan berkata: “Wahai Rasūlullāh, bumi telah kering, air telah habis, harta binasa, dan keluarga merana. Karena itu, berilah bekal kepada kami dengan apa yang telah dianugerahkan oleh Allah kepadamu, wahai putra dua insan yang disembelih.” Maka Rasūlullāh tersenyum dan tidak mengingkari ungkapan tersebut.

    Kami bertanya: “Wahai Amīr-ul-Mu’minīn, apakah yang dimaksud dua insan yang disembelih?” Ia menjawab: “‘Abd-ul-Muththalib ketika diperintah agar menggali sumur Zamzam bersumpah kepada Allah bahwa bila Dia memudahkan urusannya, ia akan menyembelih salah satu putranya. Maka ia mengeluarkan seluruh anaknya dan mengundi siapa yang harus disembelih dan keluarlah ‘Abdullāh. Ia pun ingin menyembelihnya lalu dilarang oleh paman-pamannya dari Bani Makhzūm. Mereka berkata: “Bumi Rabbmu sebagai tebusan anakmu.” Maka ia menebusnya dengan seratus unta. Itulah maksud insan yang disembelih, sedangkan satunya lagi adalah Ismā‘īl.”

    Ibnu Katsīr dalam tafsirnya (IV/18) – setelah menyebutkan hadits dengan redaksi tersebut dari riwayat Ibnu Jārir – mengatakan: “Hadits ini gharīb jiddan (aneh sekali).”

    Adapun yang disebutkan di dalam al-Kasyf yang dinukil dari Syarḥ-uz-Zarqanī ‘alal-Mawāhib: “Hadits ini ḥasan, bahkan dinyatakan shaḥīḥ oleh al-Ḥākim dan adz-Dzahabī karena dikuatkan oleh sejumlah jalur lain,” merupakan kesalahan yang buruk. Karena az-Zarqānī hanya mengatakan: “Inilah yang disebutkan dalam hadits “Yang disembelih adalah Isḥāq” dan meski demikian di dalamnya ada hal yang perlu diperhatikan, seperti yang akan dijelaskan mendatang, in syā’ Allāh.

    Kemudian, penulis al-Kasyf merevisi yang sebelumnya dengan pernyataannya: “Saya katakan, ketika itu tidak bertentangan dengan apa yang dinukil oleh al-Ḥalabī dalam sirahnya, dari as-Suyūthī, bahwa hadits ini gharīb dan di rantai sanadnya ada yang tidak dikenal.”

    Saya katakan bahwa saya mengetahui bahwa jalur-jalur periwayatan yang mengarah ke hadits tersebut dalam ungkapan az-Zarqānī bukanlah untuk hadits ini. Karena pernyataan adz-Dzahabī dan as-Suyūthī telah menyepakati kelemahannya.

    Lihat Takhrīju Aḥādīts-il-Kasyf, az-Zailā’ī, III/177 (Dar Ibn Khuzaimah, Riyādh, hadits no. 1089, taḥqīq: Syaikh ‘Abdullāh as-Sa‘d), juga as-Silsilat-udh-Dha‘īfah, al-Albānī, hadits no. 1677, Kasyf-ul-Khafā wa Muzill-ul-iltibāsi ‘ammā Isytahara min-al-Aḥādītsi ‘alā Alsinat-in-Nās, hadits no. 606, karya Ismā‘īl bin Muḥammad al-Ajlūnī. (Cet. Dāru Iḥyā’-it-Turāts-il-‘Arabī). (al-Malaḥ).

  7. 10). Mukhtasharu Sīrat-ir-Rasūl, Syaikh ‘Abdullāh an-Najdī, hal. 12; Talqīhu Fuhūmi Ahlil Ātsār, hal. 4; dan Shaḥīḥ Muslim, II/96.