Hati Senang

Kekalahan Pasukan Ahzab – Nurul Yaqin

NŪR-UL-YAQĪN   Judul Asli: Nūr-ul-Yaqīn fī Sīrati Sayyid-il-Mursalīn Penulis: Muhammad al-Khudhari Bek   Alih Bahasa: Muhammad Faisal Fadhil Penerbit: UMMUL QURA   (Diketik oleh: Zulfa)

Kekalahan Pasukan Aḥzāb

Kekhawatiran mereka dapat digambarkan melalui apa yang dikatakan oleh pemimpin mereka, Abū Sufyān. Ia mengatakan: “Hendaknya setiap orang di antara kalian mengenal baik-baik temannya, dan hendaknya ia berpegangan tangan dengan temannya karena saya khawatir musuh akan menyusup di antara kalian.” Abū Sufyān telah melepaskan pengikat tambatan kendaraannya dengan maksud akan berangkat, tetapi Shafwān bin Umayyah berkata kepadanya: “Sesungguhnya engkau adalah pemimpin pasukan maka jangan tinggalkan mereka lalu pergi sendiri.” Lalu Abū Sufyān turun dari kendaraannya dan menyerukan kepada semuanya untuk segera berangkat. Tak lupa ia menugaskan Khālid bin Walīd dengan pasukannya supaya menjaga bagian belakang orang-orang yang berangkat agar kaum Muslimīn tidak menyerang mereka dari belakang.

Allah s.w.t. telah melenyapkan kesusahan ini dari kaum Muslimīn, yang mana banyak golongan dari kaum bangsa ‘Arab dan Yahūdī berkoalisi untuk menyerang kaum Muslimīn. Andai bukan karena kasih sayang Allah dan pertolongan-Nya sebagai anugerah dan kemurahan dari-Nya kepada kaum Muslimīn, niscaya keadaan itu akan berakibat buruk terhadap kaum Muslimīn.

Terusirnya pasukan aḥzāb itu terjadi pada bulan Dzū-l-Qa‘dah, dan memang tepat sekali bila Allah s.w.t. menyebutnya sebagai nikmat, sebagaimana disebutkan dalam surah al-Aḥzāb:

يَا أَيُّهَا الَّذِيْنَ آمَنُوا اذْكُرُوْا نِعْمَةَ اللهِ عَلَيْكُمْ إِذْ جَاءَتْكُمْ جُنُودٌ فَأَرْسَلْنَا عَلَيْهِمْ رِيْحًا وَ جُنُوْدًا لَّمْ تَرَوْهَا وَ كَانَ اللهُ بِمَا تَعْمَلُوْنَ بَصِيْرًا. إِذْ جَاؤُوْكُمْ مِّنْ فَوْقِكُمْ وَ مِنْ أَسْفَلَ مِنْكُمْ وَ إِذْ زَاغَتْ الْأَبْصَارُ وَ بَلَغَتِ الْقُلُوْبُ الْحَنَاجِرَ وَ تَظُنُّوْنَ بِاللهِ الظُّنُوْنَا. هُنَالِكَ ابْتُلِيَ الْمُؤْمِنُوْنَ وَ زُلْزِلُوْا زِلْزَالًا شَدِيْدًا. وَ إِذْ يَقُوْلُ الْمُنَافِقُوْنَ وَ الَّذِيْنَ فِيْ قُلُوْبِهِمْ مَّرَضٌ مَّا وَعَدَنَا اللهُ وَ رَسُوْلُهُ إِلَّا غُرُوْرًا. وَ إِذْ قَالَتْ طَّائِفَةٌ مِّنْهُمْ يَا أَهْلَ يَثْرِبَ لَا مُقَامَ لَكُمْ فَارْجِعُوْا وَ يَسْتَأْذِنُ فَرِيْقٌ مِّنْهُمُ النَّبِيَّ يَقُوْلُوْنَ إِنَّ بُيُوْتَنَا عَوْرَةٌ وَ مَا هِيَ بِعَوْرَةٍ إِنْ يُرِيْدُوْنَ إِلَّا فِرَارًا

Hai orang-orang yang beriman, ingatlah akan nikmat Allah (yang telah dikaruniakan) kepada kalian datang kepada kalian tentara-tentara, lalu Kami kirimkan kepada mereka angin topan dan tentara yang tidak dapat kalian melihatnya. Dan Allah Maha Melihat akan apa yang kalian kerjakan. (Yaitu) ketika mereka datang kepada kalian dari atas dan dari bawah kalian, dan ketika tidak tetap lagi penglihatan (kalian), dan hati kalian naik menyesak sampai ke tenggorokan, dan kalian menyangka terhadap Allah dengan bermacam-macam purbasangka.

Disitulah diuji orang-orang mukmin dan diguncangkan (hatinya) dengan guncangan yang hebat. Dan (ingatlah) ketika orang-orang munafik dan orang-orang yang berpenyakit dalam hatinya berkata: ‘Allah dan Rasūl-Nya tidak menjanjikan kepada kami selain tipu daya.’ Dan (ingatlah) ketika segolongan di antara mereka berkata: ‘Hai penduduk Yatsrib (Madīnah), tidak ada tempat bagi kalian maka kembalilah kalian.’ Dan sebagian dari mereka meminta idzin kepada Nabi (untuk kembali pulang) dengan berkata: ‘Sesungguhnya rumah-rumah kami terbuka (tidak ada penjaga).’ Dan rumah-rumah itu sekali-kali tidak terbuka, mereka tidak lain hanyalah hendak lari.” (QS. al-Aḥzāb [33]: 9-13)

Perang Bani Quraizhah

Ketika Rasūlullāh s.a.w. kembali bersama para shahabat dan hendak menanggalkan baju perangnya, Allah s.w.t. memerintahkan kepada Beliau untuk mengejar Bani Quraizhah. Maksudnya supaya tanah tempat tinggal Rasūlullāh s.a.w. bersih dari kaum yang tidak ada manfaatnya mengadakan perjanjian dengan mereka dan mereka juga tidak terikat perjanjian. Selain itu, kaum Muslimīn selalu tidak aman hidup berdampingan dengan mereka, terlebih lagi pada saat-saat kritis. Rasūlullāh s.a.w. berkata kepada para shahabat: “Janganlah seseorang di antara kalian melakukan shalat ‘Ashar selain di tempat Bani Quraizhah.” (911) Lalu mereka berjalan dengan cepat yang diikuti Rasūlullāh s.a.w. seraya menunggang keledainya. Panji peperangan pada waktu itu dipegang oleh shahabat ‘Alī bin Abī Thālib r.a., dan shahabat yang ditunjuk untuk memimpin Madīnah adalah ‘Abdullāh bin Ummi Maktūm. Jumlah pasukan kaum Muslimīn pada saat itu tiga ribu orang.

Sekelompok shahabat ada yang mendapati waktu shalat ‘Ashar ketika masih di perjalanan lalu menunaikan shalat ‘Ashar di tengah perjalanan, mereka melakukan demikian karena memahami perintah Rasūlullāh s.a.w. yang menyuruh mereka tidak melakukan shalat ‘Ashar sebagai perintah untuk berjalan cepat. Sementara para shahabat yang lain tidak melakukan shalat ‘Ashar sebelum sampai di Bani Quraizhah ketika waktu shalat ‘Ashar sudah lewat. Sekalipun demikian, Rasūlullāh s.a.w. tidak menyalahkan salah satu dari kedua kelompok tersebut.

Tatkala orang Bani Quraizhah melihat kedatangan pasukan kaum Muslimīn, Allah s.w.t. membuat hati mereka merasa ketakutan terhadap kaum Muslimīn. Di dalam hati mereka muncul keinginan untuk membersihkan diri mereka dari kelakuan yang buruk itu, yaitu berbuat khianat terhadap orang-orang yang terikat perjanjian dengan mereka.

Hal itu mereka lakukan sewaktu kaum Muslimīn sedang sibuk-sibuknya menghadapi musuh dari luar (pasukan Aḥzāb). Namun, mana mungkin hal tersebut dapat mereka lakukan karena kaum Muslimīn telah mempunyai bukti yang kuat tentang pengkhianatan mereka. Tatkala mereka melihat kenyataan itu, mereka berlindung di dalam benteng mereka, sedangkan kaum Muslimīn mengepung mereka selama 25 hari.

Ketika mereka tidak dapat mengelak lagi dari peperangan, dan apabila mereka terus dalam keadaan seperti itu maka mereka akan mati kelaparan. Mereka pun meminta kepada kaum Muslimīn, supaya mereka diperlakukan sebagaimana kaum Muslimin memperlakukan Bani Nadhīr, yaitu mengusirnya dengan hanya boleh membawa harta benda dan meninggalkan senjata mereka. Namun, usulan mereka itu ditolak oleh Rasūlullāh s.a.w. Kemudian mereka meminta kepada Rasūlullāh s.a.w. supaya memperbolehkan mereka meninggalkan tempat tersebut tanpa membawa harta benda dan senjata. Ternyata usulan itu juga ditolak, bahkan beliau mengatakan bahwa mereka harus menyerah dan harus rela menerima hukuman yang akan ditimpakan kepada mereka, apakah hukuman baik atau buruk. Lalu mereka berkata kepada Rasūlullāh s.a.w.: “Kalau demikian, kirimkanlah Abū Lubābah kepada kami. Kami akan meminta sarannya.” Abū Lubābah adalah orang dari kabilah Aus, sekutu Bani Quraizhah. Ia memiliki anak-anak dan harta benda yang berada di wilayah mereka.

Ketika Abū Lubābah datang kepada mereka, lalu mereka meminta pertimbangan darinya perihal menyerahkan keputusan kepada Rasūlullāh s.a.w. Abū Lubābah berkata kepada mereka: “Tunduklah (pada keputusannya)!” seraya mengisyaratkan tangannya ke tenggorokan. Maksudnya bahwa hukumnya adalah disembelih.

Setelah kejadian itu, Abū Lubābah bercerita: “Sebelum aku meninggalkan tempatku, aku sadar bahwa diriku telah berbuat khianat kepada Allah dan Rasūl-Nya.” Kemudian Abū Lubābah mengundurkan diri dari hadapan mereka dan berangkat menuju Madīnah karena merasa sangat malu bila bertemu dengan Rasūlullāh s.a.w. Lalu ia mengikatkan dirinya pada salah satu tiang masjid hingga Allah s.w.t memutuskan perkaranya.

Ketika Rasūlullāh s.a.w. menanyakan Abū Lubābah, diberitahukan kepada Beliau apa yang telah diperbuatnya. Lalu Rasūlullāh s.a.w. berkata: “Andai ia menghadap kepadaku, niscaya aku akan memintakan ampunan untuknya. Namun, karena ia sudah melakukan apa yang telah ia lakukan maka kita biarkanlah dia sampai Allah menutuskan perkara untuknya.”

Setelah Bani Quraizhah mengetahui bahwa mereka mau tidak mau harus tunduk kepada keputusan Rasūlullāh s.a.w. maka mereka pun melakukan hal itu. Lalu Beliau memerintahkan agar kaum lelaki mereka diikat. Lalu datanglah beberapa tokoh dari Aus menghadap Beliau s.a.w. untuk memohon agar Beliau berkenan memperlakukan Bani Quraizhah sebagaimana Beliau dahulu memperlakukan Bani Qainuqā‘, sekutu saudara-saudara mereka, kabilah Khazraj. Lalu Nabi s.a.w. berkata kepada mereka: “Tidakkah kalian rela jika yang memutuskan hukuman untuk mereka adalah seseorang dari kalian?” Mereka menjawab: “Ya.” Akhirnya, mereka memilih pemimpin mereka, yaitu Sa‘ad bin Mu‘ādz, yang pada saat itu dalam keadaan terluka oleh panah yang mengenai tangannya. Ia berada di dalam sebuah kemah di dalam masjid yang telah disediakan untuk mengobati orang-orang yang terluka. Rasūlullāh s.a.w. mengutus orang-orang untuk menjemputnya, lalu mereka menaikkannya ke atas keledai.

Orang-orang dari kabilah Aus mengelilingi Sa‘ad bin Mu‘adz seraya berkata kepadanya: “Baik-baiklah terhadap teman temanmu. Ingat, tidakkah engkau melihat apa yang telah dilakukan Ibnu Ubay terhadap teman-temannya?”

Maka Sa‘ad berkata: “Sekarang sudah tiba saatnya bagi Sa‘ad untuk memutuskan perkara, demi Allah, tanpa menghiraukan celaan orang-orang yang mencela.”

Ketika Sa‘ad datang menghadap kepada Rasūlullāh s.a.w. yang pada waktu itu sedang duduk bersama para shahabat, Rasūlullāh s.a.w. berkata: “Berdirilah untuk menyambut pemimpin kalian, dan turunkanlah dia.”

Mereka segera melaksanakan perintah Rasūlullāh s.a.w. dan berkata: “Sesungguhnya Rasūlullāh s.a.w. telah mempercayakan kepadamu untuk memutuskan perkara teman-temanmu itu.”

Kemudian Rasūlullāh s.a.w. berkata kepadanya: “Hai Sa‘ad, berikanlah keputusan kepada mereka!”

Maka Sa‘ad menoleh ke arah yang tidak ada Rasūlullāh s.a.w., lalu berkata kepada mereka: “Kalian harus menepati janji Allah, bahwa keputusannya nanti adalah seperti yang kuputuskan.”

Mereka menjawab: “Ya.”

Setelah itu, Sa‘ad menoleh ke arah yang di situ ada Rasūlullāh s.a.w. seraya mengatakan: “Begitu pula bagi orang-orang yang berada di pihak ini.”

Ia mengatakannya seraya menundukkan pandangan mata karena menghormati Rasūlullāh s.a.w.

Mereka menjawab: “Ya.”

Selanjutnya, Sa‘ad berkata: “Sesungguhnya akan memutuskan supaya kalian membunuh kaum lelakinya dan menawan kaum perempuan dan anak-anak.”

Maka Rasūlullāh s.a.w. berkata: “Sesungguhnya engkau telah memutuskan hukuman mereka dengan hukum Allah, wahai Sa‘ad.” (922) karena ini memang balasannya bagi para pengkhianat dan tukang ingkar janji.

Kemudian Rasūlullāh s.a.w. memerintahkan agar keputusan tersebut dilaksanakan terhadap mereka. Akhirnya, kaum Muslimīn menang dan dapat mengumpulkan banyak ghanīmah. Jumlah ghanīmah yang berhasil diambil oleh kaum Muslimīn pada saat itu ialah 1500 pedang, 300 baju besi, 2000 tombak, serta 500 perisai dan senjata lainnya. Di samping itu, Rasūlullāh s.a.w. banyak memperoleh ghanīmah lainnya berupa perabotan dan wadah-wadah berharga, unta, nawādhiḥ (933), dan kambing. Rasūlullāh s.a.w. mengambil seperlima dari keseluruhannya berikut kurma dan tawanan. Pasukan pejalan kaki mendapat sepertiga bagian dari pasukan berkuda, dan Rasūlullāh s.a.w. juga memberikan bagian ghanīmah tersebut kepada kaum wanita yang merawat pasukan yang terluka. Rasūlullāh s.a.w. menemukan gentong-gentong yang berisi khamar di antara ghanīmah tersebut, lalu ditumpahkan semuanya.

Setelah urusan ini selesai, luka yang diderita Sa‘ad pecah sehingga ia meninggal, semoga Allah meridainya. Kedudukan Sa‘ad bin Mu‘ādz di kalangan Anshār adalah seperti kedudukan Abū Bakar dari kalangan Muhājirīn. Ia mempunyai tekad dan keteguhan yang tak tergoyahkan dalam semua peperangan sebelum Perang Khandaq. Rasūlullāh s.a.w. sangat mencintainya dan memberikan berita gembira kepadanya bahwa ia masuk surga sebagai imbalan atas ‘amal-‘amalnya yang agung itu.

Setelah kepulangan kaum Muslimīn ke Madīnah, Allah s.w.t. menerima tobat Abū Lubābah melalui firman-Nya:

وَ آخَرُوْنَ اعْتَرَفُوْا بِذُنُوْبِهِمْ خَلَطُوْا عَمَلًا صَالِحًا وَ آخَرَ سَيِّئًا عَسَى اللهُ أَنْ يَتُوْبَ عَلَيْهِمْ إِنَّ اللهَ غَفُوْرٌ رَّحِيْمٌ

Dan (ada pula) orang-orang lain yang mengakui dosa-dosa mereka; mereka mencampurbaurkan pekerjaan yang baik dengan pekerjaan lain yang buruk. Mudah-mudahan Allah menerima tobat mereka. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS. at-Taubah [9]: 102)

Abū Lubābah telah berjanji kepada Allah akan meninggalkan kampung Bani Quraizhah, tempat ia berbuat kesalahan.

Dengan berakhirnya peperangan ini, Allah s.w.t. telah membebaskan kaum Muslimīn dari kejahatan kaum Yahūdī yang hidup berdampingan dengan mereka karena mereka selalu berbuat licik dan khianat. Kini, yang tersisa dari mereka adalah beberapa tokoh yang hidup di Khaibar bersama keluarga mereka. Mereka inilah yang menjadi sebab terpengaruhnya pasukan aḥzāb. Para pembaca yang budiman akan segera mengetahui pembahasan tentang hari saat mereka mendapat pembalasan yang setimpal sebagai akibat perbuatan mereka.

Catatan:

  1. 91). HR. al-Bukhārī (4119), dan Muslim (1770)
  2. 92). HR. al-Bukhārī (4122) dan Muslim (1768).
  3. 93). Unta untuk mengangkut air.
Alamat Kami
Jl. Zawiyah, No. 121, Rumah Botol Majlis Dzikir Hati Senang,
RT 06 RW 04, Kp. Tajur, Desa Pamegarsari, Parung, Jawa Barat. 16330.