Keesaan Allah dalam Penciptaan – Terjemah Tauhid Sabilul Abid KH. Sholeh Darat

TERJEMAH TAUHID

سَبِيْلُ الْعَبِيْدِ عَلَى جَوْهَرَةِ التَّوْحِيْدِ
Oleh: Kiyai Haji Sholeh Darat
Mahaguru Para Ulama Besar Nusantara
(1820-1903 M.)

Penerjemah: Miftahul Ulum, Agustin Mufrohah
Penerbit: Sahifa Publishing

Rangkaian Pos: 002 Tentang Ketuhanan (Ilahiyyat) - Terjemah Tauhid Sabilul Abid KH. Sholeh Darat

Keesaan Allah dalam Penciptaan

 

Syaikh Ibrāhīm al-Laqqānī melanjutkan pembahasan tentang keesaan Allah dalam penciptaan, tidak ada selain Allah yang mampu menciptakan apapun. Beliau berkata:

فَخَالِقٌ لِعَبْدِهِ وَ مَا عَمِلْ مُوَفِّقٌ لِمَنْ أَرَادَ أَنْ يَصِلْ.

Maka Allah-lah yang menciptakan hamba-Nya dan apa-apa yang dia perbuat, serta memberikan taufiq kepada siapapun yang Dia kehendaki untuk sampai (kepada ridha-Nya).”

Allah s.w.t. adalah Dzāt yang menciptakan semua hambanya sekaligus perbuatan mereka, perbuatan baik maupun buruk. Allah jugalah Dzāt yang memberi pertolongan dalam melakukan ketaatan pada hamba yang dikehendaki mendapat kasih-sayangNya.

Penjelasan

Allah s.w.t. telah menciptakan semua makhluk sekaligus perbuatan mereka. Menurut para ‘ārifīn, hal ini disebut “waḥdat-ul-af‘āl”. Inilah maka firman Allah:

وَ اللهُ خَلَقَكُمْ وَ مَا تَعْمَلُوْنَ.

Padahal Allah-lah yang menciptakan engkau dan apa yang engkau perbuat itu.” (QS. ash-Shāffāt [37]: 95).

Ayat ini menunjukkan bahwa tidak ada satu pun makhluk, baik jinn, manusia, malaikat, hewan maupun benda mati seperti batu yang punya kemampuan melakukan sesuatu, sama sekali tidak bisa. Karenanya, barang siapa yang meyakini bahwa api mampu membakar, jinn dan syaithan bisa memberi madarat atau memberi keni‘matan berupa kesehatan dan kekayaan, maka orang tersebut dihukumi kafir secara ijma‘.

Jika muncul pemikiran di otak orang awam atau otak orang yang akan tersesat karena ingin menggugat Allah dengan ucapan: “Ya Allah, Tuhanku, mengapa Engkau menyiksaku karena melakukan maksiat? padahal semua perbuatanku adalah ciptaan-Mu”. Ucapan seperti ini tidak akan pernah ada di akhirat kelak, karena tidak ada satu pun makhluk yang bisa membuat aturan seperti itu. Allah s.w.t. telah berfirman:

لَا يُسْأَلُ عَمَّا يَفْعَلُ وَ هُمْ يُسْأَلُوْنَ.

Dia tidak ditanya tentang apa yang diperbuat-Nya dan merekalah yang akan ditanyai.” (QS. al-Anbiyā’ [21]: 23).

Dan juga bagaimana bisa ada manusia menuntut Allah, sedangkan Allah s.w.t. telah berfirman:

قُلْ فَلِلَّهِ الْحُجَّةُ الْبَالِغَةُ.

Katakanlah: “Allah mempunyai hujjah yang jelas lagi kuat”.” (QS. al-An‘ām [6]: 149).

Maksudnya, Allah memiliki hujjah yang jelas dan kuat sehingga mampu mengalahkan hujjah makhluk-Nya. Kesimpulannya, Allah tidak menghendaki jika manusia mengajukan hujjah. Sebab, Allah s.w.t. telah berfirman:

لَا يُسْأَلُ عَمَّا يَفْعَلُ وَ هُمْ يُسْأَلُوْنَ.

Dia tidak ditanya tentang apa yang diperbuat-Nya dan merekalah yang akan ditanyai.” (QS. al-Anbiyā’ [21]: 23).

Karenanya, jika Allah menghendaki mengasihi hamba-Nya, maka Allah akan memberinya taufiq, yakni memberi kekuatan melakukan ketaatan dan menjauhi kemaksiatan, dengan anugerah Allah.

Manusia tidak boleh pasrah kepada Allah dalam hal taufiq, dengan berkata: “Aku tidak melakukan ketaatan karena belum dikehendaki oleh Allah, aku pasrah kepada Allah. Jika aku ditaqdirkan menjadi orang yang bahagia, aku akan mendapat taufiq dan mau beramal baik. Jika aku ditaqdirkan menjadi orang yang celaka, aku tidak akan bisa melakukan amal shalih, juga tidak ada gunanya amal shalih jika aku telah ditaqdirkan menjadi orang yang celaka.” Orang yang mengatakan hal ini dihukumi kafir karena mengingkari Allah, kitab-Nya, dan rasūl-Nya. Ucapannya tersebut lebih besar dosanya dibanding meninggalkan melakukan amal shalih. Sebab, kitab-kitab Allah dan rasūl-rasūlNya menjelaskan dan memerintahkan untuk melakukan amal baik dan menjauhi kekufuran dan maksiat, bukan perintah untuk berpegang pada taqdir.

Sedangkan dalam hal rezeki dan musibah, kita wajib tawakkal dan berpegang pada qadhā’ dan qadar, bukan dalam hal amal. Karenanya, Rasūlullāh s.a.w. bersabda:

إِذَا ذُكِرَ الْقَدَرُ فَأَمْسِكُوْا.

Ketika disebut-sebut perihal qadar, maka berhentilah, jangan kau lanjutkan.”

Kewajiban kita adalah melaksanakan perintah Allah dan menjauhi larangannya, bukan pasrah pada qadhā’ dan qadar.

 

Syaikh Ibrāhīm al-Laqqānī berkata:

وَ خَاذِلٌ لِمَنْ أَرَادَ بُعْدَهُ وَ مُنْجِزٌ لِمَنْ أَرَادَ وَعْدَهُ.

Dan Allah meninggalkan orang yang ingin menjauh dari-Nya dan meluluskan apa-apa yang telah Dia janjikan kepada orang yang dikehendaki-Nya.”

Allah adalah Dzāt yang menyesatkan hamba-Nya yang dikehendaki untuk dimurkai-Nya. Makna Khādzil adalah dimampukan dan dimudahkan dalam melakukan maksiat, ini kebalikan taufiq. Allah adalah Dzāt yang menepati janji-Nya dengan memberi pahala pada hamba-Nya yang dikehendaki baik. Maksudnya, Allah menepati janji-Nya dengan memasukkan ke surga hamba-Nya yang telah ditaqdirkan meninggal dalam keadaan iman.

Penjelasan

Allah tidak menghendaki memberi pertolongan dan memberi kekuatan melakukan ketaatan kepada orang yang dikehendaki jauh dan tidak dikasihi oleh Allah. Makna Khādzil adalah tidak berkehendaki memberi pertolongan untuk mampu melakukan ketaatan dan dimampukan melakukan kemaksiatan. Kesimpulannya, semua tindakan orang itu adalah maksiat karena dia tidak diberi kekuatan melakukan ketaatan, sedangkan orang yang diberi taufiq senantiasa melakukan ketaatan karena tidak diberi kekuatan melakukan maksiat, kalaupun dia melakukan maksiat, tidak akan terus-menerus dan segera bertaubat, berbeda dengan orang yang dikehendaki bermaksiat, jika dia melakukan maksiat, dia akan terus-menerus melakukannya dan tidak segera bertaubat.

Seseorang pernah bertanya pada Syaikh Junaid: “Apakah para waliyullāh (kekasih Allah) pernah melakukan maksiat?” Syaikh Junaid menundukkan kepalanya sejenak, kemudian membaca firman Allah:

وَ كَانَ أَمْرُ اللهِ قَدَرًا مَقْدُوْرًا.

Dan adalah ketetapan Allah itu suatu ketetapan yang pasti berlaku.” (QS. al-Aḥzāb [33]: 38).

Maksudnya, sah-sah saja para waliyullāh terpeleset melakukan dosa, tetapi mereka tidak melanjutkannya dan tidak ada kesengajaan melakukannya, itu bisa terjadi karena sifat Qahhār Allah (Maha Memaksa). Status mu’min tidak hilang karena melakuan maksiat. Oleh karena itu, jika engkau melakukan maksiat, segeralah bertaubat. Status sebagai orang yang bertaqwa juga tidak rusak karena melakukan maksiat, dengan syarat tidak dilanjutkan.

Syaikh Ibnu Faridh r.a. berkata:

مَنْ ذَا الَّذِيْ مَا سَاءَ قَطُّ وَ مَنْ لَهُ الْحُسْنَى فَقَطْ.

Siapakah yang tidak pernah melakukan maksiat sama sekali? Dan siapakah orang yang hanya memiliki kebaikan?.

Kemudian ada ḥātif (suara tanpa rupa) menjawab:

مُحَمَّدُ الْهَادِي الَّذِيْ عَلَيْهِ جِبْرِيْلُ هَبَطْ.

Yaitu Nabi Muḥammad s.a.w. yang memberi petunjuk kepada makhluk dan malaikat Jibrīl a.s. turun kepadanya.”

Allah menepati janji-Nya kepada orang-orang yang dikehendaki-Nya, yakni dengan memberi taufiq untuk melakukan amal shalih dan mati dalam keadaan ḥusn-ul-khātimah. Orang tersebut bisa masuk surga sesuai janji Allah:

إِنَّ اللهَ لَا يُخْلِفُ الْمِيْعَادَ.

Sesungguhnya Allah tidak menyalahi janji.” (QS. Āli ‘Imrān [3]: 9).

Rasūlullāh s.a.w. bersabda:

مَنْ وَعَدَهُ اللهُ عَلَى عَمَلٍ ثَوَابًا فَهُوَ مُنْجِزٌ لَهُ وَ مَنْ أَوْعَدَهُ عَلَى عَمَلٍ عِقَابًا، فَهُوَ بِالْخِيَارِ إِنْ شَاءَ عَذَّبَهُ وَ إِنْ شَاءَ غَفَرَ لَهُ.

Siapa saja yang dijanjikan pahala oleh Allah atas amal yang dia lakukan, pasti Allah akan menepatinya, dan siapapun yang diancam siksaan oleh Allah atas amal yang dia lakukan, Allah berhak memilih sesuai kehendak-Nya, menyiksanya atau mengampuninya.”

Kesimpulannya, janji tidak boleh berubah. Para ‘ulamā’ Ahl-us-Sunnah wal-Jamā‘ah sepakat dalam hal ini. Sedangkan ancaman boleh berubah, kecuali ancaman siksa yang kekal bagi orang kafir musyrik. Ini menurut Imām Abū Ḥasan al-Asy‘arī, sedangkan menurut Abū Manshūr al-Māturīdī, janji dan ancaman tidak boleh berubah.

Komentar

Belum ada komentar. Mengapa Anda tidak memulai diskusi?

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *