Ke Suria Membawa Dagangan & Perkawinannya Dengan Khadijah – Sejarah Hidup Muhammad – Haekal

حَيَاةُ مُحَمَّدٍ (ص)
SEJARAH HIDUP MUHAMMAD
Oleh: Muhammad Husain Haekal

 
Diterjemahkan dari bahasa ‘Arab oleh: Ali Audah
Penerbit: PUSTAKA JAYA

14. Ke Suria Membawa Dagangan Khadījah

Tatkala Abū Thālib mengetahui, bahwa Khadījah sedang menyiapkan perdagangan yang akan dibawa dengan kafilah ke Syām, ia memanggil kemenakannya – yang ketika itu sudah berumur duapuluh lima tahun.

“Anakku,” kata Abū Thālib, “aku bukan orang berpunya. Keadaan makin menekan kita juga. Aku mendengar, bahwa Khadījah mengupah orang dengan dua ekor anak unta. Tapi aku tidak setuju kalau akan mendapat upah semacam itu juga. Setujukah kau kalau hal ini kubicarakan dengan dia?”

“Terserah paman,” jawab Muḥammad.

Abū Thālib pun pergi mengunjungi Khadījah:

“Khadījah, setujukah kau mengupah Muḥammad?” tanya Abū Thālib. “Aku mendengar engkau mengupah orang dengan dua ekor anak unta Tapi buat Muḥammad aku tidak setuju kurang dari empat ekor.”

“Kalau permintaanmu itu buat orang yang jauh dan tidak kusukai, akan kukabulkan, apalagi buat orang yang dekat dan kusukai.” Demikian jawab Khadījah.

Kembalilah sang paman kepada kemenakannya dengan menceritakan peristiwa itu. “Ini adalah rejeki yang dilimpahkan Tuhan kepadamu,” katanya.

Setelah mendapat nasehat paman-pamannya Muḥammad pergi dengan Maisarah, budak Khadījah. Dengan mengambil jalan padang pasir kafilah itupun berangkat menuju Syām, dengan melalui Wādi-l-Qurā’, Madyan dan Diyār Tsamūd serta daerah-daerah yang dulu pernah dilalui Muḥammad dengan pamannya Abū Thālib tatkala umurnya baru duabelas tahun.

Perjalanan sekali ini telah menghidupkan kembali kenangannya tentang perjalanan yang pertama dulu itu. Hal ini menambah dia lebih banyak bermenung, lebih banyak berpikir tentang segala yang pernah dilihat, yang pernah didengar sebelumnya: tentang peribadatan dan kepercayaan-kepercayaan di Syām atau di pasar-pasar sekeliling Makkah.

Setelah sampai di Bushra ia bertemu dengan agama Nashrānī Syām. Ia bicara dengan rahib-rahib dan pendeta-pendeta agama itu, dan seorang rahib Nestoria juga mengajaknya bicara. Barangkali dia atau rahib-rahib lain pernah juga mengajak Muḥammad berdebat tentang agama ‘Īsā, agama yang waktu itu sudah berpecah-belah menjadi beberapa golongan dan sekta-sekta – seperti sudah kita uraikan di atas.

Dengan kejujuran dan kemampuannya ternyata Muḥammad mampu benar memperdagangkan barang-barang Khadījah, dengan cara perdagangan yang lebih banyak menguntungkan daripada yang dilakukan orang lain sebelumnya. Demikian juga dengan karakter yang manis dan perasaannya yang luhur ia dapat menarik kecintaan dan penghormatan Maisarah kepadanya. Setelah tiba waktunya mereka akan kembali, mereka membeli segala barang dagangan dari Syām yang kira-kira akan disukai oleh Khadījah.

Dalam perjalanan kembali kafilah itu singgah di Marr‘-uz-Zahrān. Ketika itu Maisara berkata: “Muḥammad, cepat-cepatlah kau menemui Khadījah dan ceritakan pengalamanmu. Dia akan mengerti hal itu.”

Muḥammad berangkat dan tengah hari sudah sampai di Makkah. Ketika itu Khadījah sedang berada di ruang atas. Bila dilihatnya Muḥammad di atas unta dan sudah memasuki halaman rumahnya. ia turun dan menyambutnya. Didengarnya Muḥammad bercerita dengan bahasa yang begitu fasih tentang perjalanannya serta laba yang diperolehnya, demikian juga mengenai barang-barang Syām yang dibawanya. Khadījah gembira dan tertarik sekali mendengarkan. Sesudah itu Maisarah pun datang pula yang lalu bercerita juga tentang Muḥammad, betapa halusnya wataknya, betapa tingginya budi-pekertinya. Hal ini menambah pengetahuan Khadījah di samping yang sudah diketahuinya sebagai pemuda Makkah yang besar jasanya.

Perkawinannya Dengan Khadījah

Dalam waktu singkat saja kegembiraan Khadījah ini telah berubah menjadi rasa cinta, sehingga dia – yang sudah berusia empatpuluh tahun, dan yang sebelum itu telah menolak lamaran pemuka-pemuka dan pembesar-pembesar Quraisy – tertarik juga hatinya mengawini pemuda ini, yang tutur kata dan pandangan matanya telah menembusi kalbunya. Pernah ia membicarakan hal itu kepada saudaranya yang perempuan – kata sebuah sumber, atau dengan sahabatnya, Nufaisah bint Munyā – kata sumber lain. Nufaisah pergi menjajagi Muḥammad seraya berkata: “Kenapa kau tidak mau kawin?”

“Aku tidak punya apa-apa sebagai persiapan perkawinan,” jawab Muḥammad.

“Kalau itu disediakan dan yang melamarmu itu cantik, berharta, terhormat dan memenuhi syarat, tidakkah akan kauterima?”

“Siapa itu?”

Nufaisah menjawab hanya dengan sepatah kata: “Khadījah.”

“Dengan cara bagaimana?” tanya Muḥammad. Sebenarnya ia sendiri berkenan kepada Khadījah sekalipun hati kecilnya belum lagi memikirkan soal perkawinan, mengingat Khadījah sudah menolak permintaan hartawan-hartawan dan bangsawan-bangsawan Quraisy.

Setelah atas pertanyaan itu Nufaisah mengatakan: “Serahkan hal itu kepadaku,” maka iapun menyatakan persetujuannya. Tak lama kemudian Khadījah menentukan waktunya yang kelak akan dihadiri oleh paman-paman Muḥammad supaya dapat bertemu dengan keluarga Khadījah guna menentukan hari perkawinan.

Kemudian perkawinan itu berlangsung dengan diwakili oleh paman Khadījah, ‘Umar bin Asad, sebab Khuwailid ayahnya sudah meninggal sebelum Perang Fijār. Hal ini dengan sendirinya telah membantah apa yang biasa dikatakan, bahwa ayahnya ada tapi tidak menyetujui perkawinan itu dan bahwa Khadījah telah memberikan minuman keras sehingga ia mabuk dan dengan begitu perkawinannya dengan Muḥammad kemudian dilangsungkan.

Di sinilah dimulainya lembaran baru dalam kehidupan Muḥammad. Dimulainya kehidupan itu sebagai suami-isteri dan ibu-bapa, suami-isteri yang harmonis dan sedap dari kedua belah pihak, dan sebagai ibu-bapa yang telah merasakan pedihnya kehilangan anak sebagaimana pernah dialami Muḥammad yang telah kehilangan ibu-bapa semasa ia masih kecil.

Komentar

Belum ada komentar. Mengapa Anda tidak memulai diskusi?

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *