Karamah Para Wali – Terjemah Tauhid Sabilul Abid KH. Sholeh Darat

TERJEMAH TAUHID

سَبِيْلُ الْعَبِيْدِ عَلَى جَوْهَرَةِ التَّوْحِيْدِ
Oleh: Kiyai Haji Sholeh Darat
Mahaguru Para Ulama Besar Nusantara
(1820-1903 M.)

Penerjemah: Miftahul Ulum, Agustin Mufrohah
Penerbit: Sahifa Publishing

Rangkaian Pos: 003 Tentang Kenabian (Nabawiyyat) - Terjemah Tauhid Sabilul Abid

Karamah Para Wali

 

Syaikh Ibrāhīm al-Laqqānī berkata:

وَ أَثْبَتَنْ لِلْأَوْلِيَا الْكَرَامَهْ وَ مَنْ نَفَاهَا فَانْبِذَنْ كَلَامَهْ.

Dan tetapkanlah karamah bagi para wali. Barang siapa menafikannya maka lemparkanlah ucapannya.”

 

Yakinilah adanya karamah bagi para wali Allah yang mulia dalam kehidupan beliau maupun setelah wafat. Barang siapa menafikan karamah para wali, maksudnya tidak meyakini adanya karamah pada para wali Allah, maka buanglah keyakinan itu.

Penjelasan

Karamah bagi para wali benar adanya. Hal ini sudah disepakati oleh empat imam madzhab, baik sewaktu masih hidup maupun setelah wafat, bahkan setelah wafat, karamah para wali semakin tampak.

‘Ulamā’ ahli hakikat mengatakan: “Barang siapa yang karamahnya tidak tampak setelah wafatnya sebagaimana sewaktu hidupnya, maka kewaliannya itu tidak benar.” (1381).

Imām asy-Sya‘rānī berkata: “Sebagian Syaikh berkata kepadaku, Allah s.w.t. mewakilkan atau mengutus salah satu malaikat ke maqam para wali-Nya untuk mengabulkan semua hajat manusia. Terkadang wali tersebut keluar dari maqamnya untuk mengabulkan hajat orang-orang yang memohon. (1392) Seperti Sayyid al-Aidarusī al-Adnānī dan wali-wali dari daerah Tuhan dan lainnya seperti Sayyid ‘Abd-ul-Qādir al-Jailānī dan Sayyid Aḥmad al-Badawī.”

Waliyyullāh adalah seorang yang ma‘rifat kepada Allah s.w.t. dengan derajat yang berbeda-beda karena ketekunannya menjalankan ketaatan kepada Allah s.w.t. dan menjauhi segala perbuatan maksiat. Maksudnya, mereka tidak pernah melakukan kemaksiatan yang tidak disertai taubat, bukannya tidak pernah melakukan maksiat sama sekali. Sebab, waliyyullāh tidak ma‘shūm (terjaga dari melakukan dosa). (140).

Dinamakan waliyyullāh karena ia sudah memasrahkan semua perkara kepada Allah, sama sekali tidak memiliki keinginan bersandar atau percaya kepada selain-Nya, hatinya hanya condong kepada kehendak Allah dan hatinya hanya dihadapkan kepada Allah s.w.t. (1413).

Karamah adalah sesuatu di luar kebiasaan yang muncul dari seorang hamba yang memiliki kebaikan lahir batin, senantiasa mengikuti ajaran Rasūlullāh, segala perilakunya sesuai dengan syarī‘at Islam, serta ‘amal dan ‘aqīdahnya benar. (1424).

Sebagian ‘ulamā’ bertanya: “Mengapa di akhir zaman ini banyak wali yang memiliki karamah sedangkan di zaman sahabat dan tabi‘in tidak banyak yang menampakkan karamahnya?” Sebagian ‘ulamā’ menjawab: “Hal itu karena keyakinan orang-orang di zaman akhir sangat lemah, sehingga dikuatkan dengan karamah para wali agar mereka meyakini kebenaran ucapan dan perbuatan orang-orang shalih dan tidak menghinanya. Berbeda dengan zaman generasi pertama (sahabat dan tābi‘īn) yang keyakinan dan keimananya pada orang-orang shalih sudah kuat sehingga tidak membutuhkan adanya karamah.” Wallāhu a‘lam. (1435).

“Barang siapa menghendaki pahala dunia, niscaya Kami berikan kepadanya pahala di dunia itu. Dan barang siapa menghendaki pahala akhirat, Kami berikan pula kepadanya pahala akhirat itu.”(QS. Āli ‘Imrān [3]: 145).

Catatan:

  1. 138). Tuḥfat al-Murīd, hal. 252.
  2. 139). Ibid.
  3. 141). Ibid.
  4. 142). Ibid.
  5. 143). Ibid.

Komentar

Belum ada komentar. Mengapa Anda tidak memulai diskusi?

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *