(Diedit Oleh: Muhammad Abid)
BAB SATU
KEHIDUPAN, SIFAT, DAN KEUTAMAAN ‘UTSMĀN IBN ‘AFFĀN
Jumat, Zulhijjah, 35 H.
‘Utsman sedang membaca al-Qur’ān ketika beberapa orang merangsek ke dalam kamarnya. Mushḥaf al-Qur’ān yang suci tampak terbuka di hadapannya. Ia membaca ayat-ayat suci dengan khusyu‘ dan suara bergetar. Suaranya tak terdengar keras, pun tidak terlalu pelan. Para durjana itu memaksanya menghentikan qiraat. Tiba-tiba saja seorang dari mereka loncat ke hadapan ‘Utsmān dan berteriak: “Antara aku dan engkau ada Kitābullāh,” sambil menebaskan pedang. ‘Utsmān menangkis sabetan itu hingga tangannya terbabat putus. Ia berkata: “Demi Allah, itulah tangan yang pertama kali terpisah.” (11)
Darah mengucur dari tangan membasahi mushḥaf di hadapan ‘Utsmān, tepat mengenai firman Allah s.w.t.: Maka Allah akan memeliharamu dari mereka, dan Dialah Yang Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui. (22) Seorang durjana lain maju menyabetkan pedangnya. Nailah bint al-Farafashah yang berdiri di dekat ‘Utsmān menangkap sabetan pedang itu, namun orang itu menarik pedangnya hingga memutuskan jari-jari tangan Nailah. Orang itu kembali mengayunkan pedangnya, mengarah ke perut ‘Utsmān. Lalu Kinanah ibn Basyar maju dan memukul keningnya dengan sepotong besi. ‘Utsmān ibn ‘Affān jatuh tersungkur. Darah suci membasahi bumi. Giliran Sawdan ibn Ḥamran al-Maradī memukulnya, lalu membunuhnya. Terakhir, seorang bernama ‘Amr ibn al-Ḥamq lompat ke atas tubuh ‘Utsmān, lalu menduduki dadanya dan menghujamkan senjatanya sembilan kali, Ia berkata: “Tiga kali untuk Allah, sedangkan yang enam kali adalah pelampiasan dendam yang bergolak di rongga dadaku.” (33)
Wajah ‘Utsmān ibn ‘Affān tampak tersenyum bahagia. Kini rasa rindunya kepada junjungan terkasih, Rasulullah Muḥammad s.a.w., akan segera terobati. Sekian lama ia merindukan saat-saat perjumpaan dengan Rasulullah, juga dengan dua putrinya yang mulia, Ruqayyah r.a. dan Ummu Kultsum r.a. Kini, ia akan segera bertemu dengan mereka. Hari demi hari hasrat akan perjumpaan itu semakin mengkristal. Setiap saat ‘Utsmān merajut mimpi-mimpi untuk segera bertemu dengan para kekasihnya. Pagi ini, ia merasa bahwa harapannya akan segera menjadi nyata, karena tadi malam sang kekasih, mertua, dan junjungannya yang mulia, Rasulullah menemuinya dalam tidur. Rasulullah bersabda kepadanya: “Berbukalah bersama kami , wahai ‘Utsmān.” Saat bangun, keyakinannya semakin mantap bahwa ia akan segera menyusul Nabinya menghadap Yang Maha Kuasa. Keesokan harinya, ketika ketegangan meliputi Madinah, saat kebencian dan amarah berputar-putar di sekitar rumahnya, ketika dendam kesumat terpancar dari wajah para pemberontak, ‘Utsmān kembali tertidur sekejapan dan ia mimpi bertemu dengan junjungannya, Rasulullah. Kali ini, beliau bersabda kepadanya: “Kau akan shalat bersama kami, hari Jum’at ini.” (44)
Duh, betapa kebahagiaan yang sulit diungkapkan kata-kata. Jika ia ceritakan kepada para sahabat yang dengan setia menemaninya, mungkin di antara mereka akan mengatakan bahwa ia mengharapkan kematian. Karena itulah sebelum menceritakan mimpinya, ia berkata kepada para sahabat dan anggota keluarganya: “Seandainya orang-orang tidak akan mengatakan bahwa ‘Utsmān mengharap fitnah, tentu akan ku ceritakan (mimpiku) kepada kalian.”
Orang-orang yang hadir menjawab: “Semoga Allah memberimu yang terbaik. Ceritakanlah karena kami tidak akan berkata seperti itu.” (55).
Dalam riwayat Ibn ‘Umar diceritakan bahwa pagi hari itu ‘Utsmān ibn ‘Affān berkata: “Aku mimpi bertemu Rasulullah dan beliau berkata: “Berbukalah bersama kami, wahai ‘Utsmān.” Karena itulah ‘Utsmān berpuasa sunnah dan ia terbunuh pada hari itu. (66).
‘Utsmān telah menyadari bahwa akhir perjalanannya telah tiba dan ujung pengembaraannya telah mendekat sehingga ia mempersiapkan diri dengan sebaik-baiknya. Saat maut menjemput ia dalam keadaan berpuasa dan telah membebaskan dua puluh orang budak. Bahkan, ia meminta pakaian yang panjang, khawatir auratnya akan tersingkap ketika pada durjana yang haus darah itu membunuh dirinya.
Itulah hari terakhir dan perjumpaan terakhir antara ‘Utsmān dan keluarga serta para sahabatnya. Para perawi menuturkan bahwa hari itu adalah hari Jumat. Itulah Jumat kelabu dalam sejarah umat Islam. Di hari itulah pertama kalinya seorang pemimpin umat, Amirul Mu’minin, pemimpin kaum beriman, dibunuh karena tidak disukai oleh sebagian golongan. Inilah awal petaka yang kelak menghancurkan keutuhan dan kesatuan umat Islam. Sejak peristiwa ini, beberapa kelompok umat Islam mulai saling curiga, saling mengawasi, dan kelak, saling berperang.
Catatan: