6. Pandangan Kaum Sufi tentang Kewalian
Para sufi memberikan perhatian yang besar dalam membicarakan masalah kewalian. Salah satu bukti tentang hal ini adalah perkataan al-Hujwiri, “Ketahuilah bahwa kaidah dan fondasi jalan tasawuf dan makrifat adalah sekumpulan konsep yang berdiri di atas dasar kewalian dan penetapannya. Karena, seluruh syekh sepakat dalam hukum penetapannya. Hanya saja mereka berbeda-beda dalam hal cara pengungkapannya.”
Pernyataan dan pengumpamaan ini memberikan petunjuk bagi kita betapa pentingnya kewalian di kalangan para sufi. Kewalian bagi mereka merupakan fondasi tasawuf dan inti dasarnya. Sekaligus merupakan salah satu di antara tujuan tujuan besarnya, sehingga orang-orang saleh yang penuh keikhlasan berusaha untuk mencapainya dan berada di dalam kedudukannya. Sebagian peneliti memandang tasawuf sebagai sekolah untuk menghasilkan para wali.
Tidak sedikit para sufi yang berbicara tentang kewalian, definisi, syarat-syarat, jalan mencapainya, dan pemberian Allah SWT kepada orang-orang yang mendapatkannya. Salah satu definisi paling terkenal yang mereka bicarakan tentang wali adalah penjelasan yang dikemukakan oleh al-Qusyairi, “Kata wali mempunyai dua makna, pertama adalah bentuk fa’il dengan makna maf ul, yaitu orang yang Allah SWT lindungi. Allah SWT-lah yang secara langsung memperhatikan dan menangani urusan untuknya. Allah SWT berfirman, ‘Dia melindungi orang orang yang saleh.” (QS. Al-A’râf [7]: 196).
Maka, Allah SWT tidak menyerahkan kepada dirinya sesaat pun, tetapi Allah SWT yang mengurus langsung perlindungan dan pemeliharaannya. Kedua adalah fa’il bentuk mubalaghah dari kata fa’il, yaitu orang yang terus-menerus beribadah kepada Allah dan taat kepada-Nya. Ibadahnya terus berlangsung tanpa diselingi suatu maksiat. Dua sifat dalam kedua makna ini adalah mesti sehingga seseorang yang ‘dilindungi’ Allah tersebut benar-benar menjadi wali. Dia mesti melaksanakan hak-hak Allah SWT secara menyeluruh dan sempurna, terus-menerus mendapatkan pemeliharaan Allah, pada saat lapang dan kesusahan.”
Perkataan-perkataan para sufi tentang kewalian cukup beragam. Sebagian mereka memandang unsur-unsur permulaan, amal-amal, dan kegigihan-kegigihan dalam beribadah (mujahadah). Di antaranya adalah Abu Thalib al-Makki yang mengatakan, “Jalan kita adalah menjernihkan hati orang-orang yang beramal. Karena dengan kesucian hati dan hakikat iman, amal-amal itu akan menjadi bersih dan orang-orang yang beramal tersebut akan semakin dekat kepada Allah Yang MahaAgung.”
Sebagian mereka lebih memperhatikan hasil akhir, buah buah kegigihan, dan anugerah. Misalnya, perkataan Abu Ali al-Jurjani, “Wali adalah orang yang fana dalam kondisinya, abadi dalam penyaksian (musyahadah) kepada Allah al-Haqq. Allah SWT menuntun dan memeliharanya sehingga cahaya cahaya anugerah kewalian terus-menerus menghampirinya.” Begitu juga perkataan Yahya bin Mu’adz al-Râzi tentang para wali, bahwa mereka adalah hamba-hamba yang mengenakan pakaian kedekatan kepada Allah SWT setelah perjuangan keras dan memeluk jiwa setelah kegigihan ibadah (mujahadah) dengan pencapaian mereka kepada kedudukan kewalian.”
Seringkali pembicaraan mereka tentang kewalian adalah jawaban terhadap suatu pertanyaan, penjelasan atas suatu gagasan, atau bantahan terhadap kritikan, serta menghindarkan syubhat dan kesamaran. Dalam bentuk seperti ini, semakin banyak sumber pemikiran para sufi tentang kewalian, semakin sempurna pendapat-pendapat mereka tentangnya, dan menjadi jelas pula arah pandang mereka terhadapnya.
Sebagian dari masalah-masalah ini adalah masalah yang berkaitan dengan dasar kewalian dan fondasinya, dan apakah kewalian itu suatu pilihan Tuhan secara mutlak atau pilihan yang terkait dengan amal dan kegigihan ibadah. Ini adalah masalah yang berhubungan erat dengan langkah masuk ke jalan tasawuf dan melakukan pendakian tangga-tangga kedudukan dan derajatnya.