(lanjutan)
4. Etika Sufi dalam Shalat
Para sufi menekankan perhatian kepada keutamaan dan betapa pentingnya shalat. Mereka mengatakan bahwa ketika memberikan pujian kepada Rasulullah SAW dan para sahabat, Allah SWT menyebutkan mereka sebagai orang-orang yang selalu rukuk dan sujud. Allah SWT berfirman, “Muhammad itu adalah utusan Allah dan orang-orang yang bersama dia adalah keras terhadap orang-orang kafir, tetapi berkasih sayang sesama mereka. Kamu lihat mereka rukuk dan sujud mencari karunia Allah dan keridhaan-Nya, tanda-tanda mereka tampak pada muka mereka dari bekas sujud.” (QS. Al-Fath [48]: 29). Maka, ini jelas menunjukkan bahwa shalat adalah amal paling utama, karena para sahabat Rasulullah SAW adalah orang-orang yang paling utama dalam beramal.
Diriwayatkan bahwa Umar bin Khaththab r.a. berkata, “Apabila kamu melihat seseorang menjaga shalatnya, maka sangkalah padanya kebaikan. Dan, apabila kamu melihat dia menyia-nyiakan shalatnya, maka kepada selain itu dia lebih menyia-nyiakan lagi.” Hasan al-Bashri pernah berkata, “Hai manusia, apa yang sulit bagimu dari agamamu. Apabila kamu menyepelekan shalat, maka Allah akan lebih menyepelekanmu.”
Di dalam khabar disebutkan, “Barang siapa yang memelihara shalat lima waktu dengan menyempurnakan bersuci dan menjaga waktu-waktunya, maka shalatnya tersebut akan menjadi cahaya dan burhan (pendukung) baginya di hari Kiamat. Dan, barang siapa yang menyia-nyiakannya, maka Allah SWT akan mengumpulkannya bersama Fir’aun dan Haman.”
Di dalam hadis Abu Kahil dari Rasulullah SAW, “Siapa yang melaksanakan shalat selama empat puluh hari secara berjemaah, tidak pernah ketinggalan satu takbiratul ihram pun, maka akan ditulis baginya dua kebebasan; kebebasan dari kemunafikan dan kebebasan dari api neraka.”
Sebagian sufi mengatakan bahwa shalat mempunyai empat kefardhuan, yaitu: mengagungkan maqam (kedudukan), ikhlas tujuan, meyakini pencapaian, dan menyerahkan urusan. Mereka berpendapat tentang tafsir firman Allah SWT, “Berlomba-lombalah kamu untuk (mendapatkan) ampunan dari Tuhanmu…,” (QS. Al-Hadid [57]: 21) maksudnya adalah takbiratul ihram. Yakni, di belakang imam karena terdapat di dalam hadis yang mulia, “Shalat berjamaah lebih utama dari shalat sendirian dengan dua puluh tujuh derajat.”
Mereka mengatakan bahwa perbuatan itu dinamakan shalat karena ia merupakan media hubungan antara hamba dengan Allah SWT dan penghubungan dari Allah SWT kepada hamba Nya. Penghubungan dan pencapaian itu tidak terjadi kecuali bagi orang yang bertakwa. Allah SWT berfirman, “Daging-daging unta dan darahnya itu sekali kali tidak dapat mencapai (keridhaan) Allah, tetapi ketakwaan dari kamulah yang dapat mencapainya.” (QS. Al-Hajj 1221 37)
Dan, ketakwaan itu tidak tercapai kecuali dengan khusyuk. Karena ini, Allah SWT berfirman, “Sesungguhnya beruntunglah orang orang yang beriman, (yaitu) orang-orang yang khusyuk dalam sembahyang-nya” (QS. Al Mu’minin [23] 1-2). Dan, mereka juga mengatakan bahwa yang dimaksud dengan shalat bukan gerak-gerik anggota tubuh semata, tetapi menjauhkan diri dari perbuatan keji dan mungkar.
Para sufi meriwayatkan bahwa Rabi’ bin Khaitsam sering berkunjung ke rumah Ibnu Mas’ud ra. Dan, apabila memandang kepada Rabi’, Ibnu Mas’ud ra berkata, “Sampaikan berita gembira kepada orang-orang yang tunduk,” yakni orang-orang yang takut, selalu berzikir, bersabar, dan menegakkan shalat, “Ketahuilah, demi Allah, seandainya Rasulullah SAW melihatmu, niscaya beliau bergembira karenamu.” Dan, dalam ungkapan lain, “Niscaya belau mencintaimu.”
Mereka meriwayatkan bahwa Rabi’ sering bolak balik berkunjung ke rumah Ibnu Mas’ud r.a. selama 20 tahun. Budak perempuan Ibnu Mas’ud r.a. tidak mengira siapa sesungguhnya Rabi’ kecuali orang yang buta karena dia sangat menutup penglihatan dan selalu menundukkan kepalanya ke tanah. Apabila dia mengetuk pintu, budak perempuan tersebut yang membukakan pintu. Dan, apabila dia melihat Rabi’, dia berkata kepada Abdullah bin Mas’ud, “Temanmu, orang yang buta itu, berkunjung.” Sehingga Ibnu Mas’ud tertawa mendengarnya dan mengatakan, “Betapa malangnya kamu! Dia adalah Rabi’.” Dan Rabi’ ini pernah berkata, “Aku tidak masuk dalam suatu shalat pun lalu ada yang menyibukkan diriku padanya kecuali apa yang aku ucapkan dan apa yang diungkapkan kepadaku.”
Mereka juga meriwayatkan bahwa ‘Amir bin Abdullah r.a. adalah salah seorang yang khusyuk dalam shalatnya. Suatu hari, dia pernah ditanya, “Apakah kamu berbicara tentang sesuatu kepada dirimu sendiri dalam shalat?” Dia menjawab, “Ya, dengan berdirinya diriku di hadapan Allah SWT dan jalan akhirku hanya kepada salah satu dari dua tempat.” Dia ditanya lagi, “Lalu, apakah muncul dalam benakmu sesuatu seperti yang muncul dalam benak kami dari perkara perkara dunia?” Dia menjawab, “Bahwa berbeda-beda kepala tombak yang mengenaiku bertubi-tubi lebih aku cintai daripada aku terbayang sesuatu dalam shalat seperti yang muncul dalam benak kalian.”
Sebagian sufi mengatakan, “Shalat itu merupakan bagian akhirat. Apabila kamu telah masuk dalam pekerjaan shalat, maka sungguh kamu telah keluar dari dunia.” Salah seorang mereka mengungkapkan dalam puisi:
إن الصـلاة إذا لم تنه صاحبها . ليست صلاة ويقضى بها الطالب
Andai shalat tak mampu melenyapkan kemaksiatan
Bukanlah shalat yang bisa menghentikan segala tuntutan
صـلاتنا تمنع القاضى ليطلبنا ، وتحجب الجلد عنا وهو مقترب
Shalat akan menghalangi jaksa memberi dakwaan
Dan cambuk yang mendekat sebagai hukuman
لكنها لم تكن من حيث مظهرها ، معنى الصلاة إذا ما النقلب ينحجب
Karena shalat tak hanya bermakna sebatas gerakan
Yang jika usai, maknanya berterbangan
Dan, ini adalah tingkatan para wali Allah dalam shalat. Derajat ini tidak bisa tercapai secara sekaligus bagi seorang Mukmin, tetapi menuntut latihan-latihan dan peningkatan secara berangsur-angsur sampai hati nurani dan mata batinnya penuh dengan cahaya. Dengan demikian, yang melakukan shalat itu dapat meresapi seperti apa yang mereka resapi dari ‘sumber-sumber air’ itu.
Akan tetapi, wajib bagi kita untuk mengosongkan hati dari segala pikiran dan kesibukan duniawi dengan semampu kita ketika sedang berdiri di hadapan Allah SWT dalam shalat agar kita dapat meresapi dan merasakan kemanisan munajat. Karena shalat, sebagaimana dikatakan para sufi, adalah meja meja jamuan kepada orang-orang yang bertauhid. Perkataan perkataan yang terdapat di dalamnya laksana makanan-makanan dan gerak-gerik padanya laksana minuman. Dan, orang yang shalat tidak merasakan kecuali seukuran apa yang dapat ia mengerti darinya. Karena itu, sahabat yang mulia, Abu Darda r.a. mengatakan, “Sebagian dari kecermatan pemahaman seseorang bahwa dia segera menuntaskan hajat dan kebutuhannya sebelum mulai mengerjakan shalat, agar dia masuk ke dalam pelaksanaan shalat dengan hati yang kosong.”
Para sufi ketika membaca Al-Qur’an di dalam shalat, mereka memperhatikan bacaannya dengan perenungan yang dalam hingga jiwa-jiwa mereka merasakan manfaatnya. Mereka mengatakan bahwa kesempurnaan dalam bacaan adalah dengan merenungi makna batin dari kandungan-kandungan kalimat, karena ia merupakan sesuatu yang agung dari yang agung, halus dari yang halus, indah dari yang indah. Makna lahirnya mudah dan dekat, sedang makna batinnya adalah samudra yang sangat dalam. Orang yang mendengarkan dan menangkap kandungannya akan berkata, “Aku telah memahaminya sehingga menjadi jelas inti kandungannya.” Maka, apabila dia menyaksikannya dalam musyahadah, seakan akan dia tidak mendengarkannya karena kehalusan dan kecermatan maknanya.
(bersambung)