Jejak-Jejak Wali Allah | Pendahuluan | Beberapa Akhlak Sufi (2/5)

Jejak-Jejak Wali Allah - Melangkah Menuju Gerbang Kewalian Bersama Syekh Abu Hasan Al-Syadzili
Oleh: Muhammad Ibn Abi-Qasim Al-Humairi
Penerjemah : Saiful Rahman Barito (Mumtaz Arabia)
Penerbit : Erlangga

(lanjutan)

2. Berjalan Menuju Allah

Para sufi berkata, “Seandainya kamu mencintai Allah, tentu kamu memandang kepada-Nya. Dan, jika kamu memandang kepada-Nya, tentu kamu tidak akan memandang kepada selain-Nya. Jika kamu menghadap kepada-Nya, tentu kamu mendengarkan-Nya. Dan, jika kamu telah mendengarkan-Nya, tentu kamu tidak akan mendengarkan selain-Nya. Seandainya Dia mencintaimu, Dia akan menjadi pendengaranmu, penglihatanmu, hatimu, tanganmu, penolongmu, dan pendukungmu. Jika kamu menyeru-Nya, Dia akan menjawab seruanmu. Dan, jika kamu memohon kepada-Nya, Dia akan memberimu. Dia SWT adalah Yang Mahatinggi. Dan, para kekasih-Nya adalah yang paling tinggi, karena Yang Mahatinggi S.W.T. bersama mereka.”

Seorang dari mereka berkata:

Aku berjalan menuju Penciptaku, dan aku menghadap kepada-Nya

Perjalanan ini takkan kumungkiri

Wahai Yang Memiliki Rohku dan memberinya petunjuk

Lihatlah kepadaku, sebab Engkau adalah semulia-mulia Pemberi Maaf

 Bila ditanya siapa, kan kujawab akulah pejalan yang menuju Tuhannya

Inilah sesungguh-sungguhnya aku

Demi yang melimpahi hamba dengan karunia Nya

Takkan mulia aku jika menghadap selain daripada-Nya

3. Mendidik Hati dengan Takwa

Para sufi memberikan tugas besar kepada hati, dalam kapasitasnya sebagai tempat takwa. Mereka mengingatkan kita akan sabda Rasulullah SAW, “Takwa itu ada di sini,” sambil menunjuk dada beliau.

Akan apa yang disebutkan dalam khabar, “Apabila Allah menghendaki kebaikan bagi seorang hamba, maka Dia akan menjadikan baginya pencegah dari dalam dirinya, dan penasihat dari hatinya.

Dan, akan apa yang disebutkan dalam khabar lain, “Barang siapa memiliki penasihat dari hatinya, maka akan ada penjaga dari Sisi Allah yang akan menjaganya.

Tentang makna firman Allah SWT, “Ya Tuhan kami, sesungguhnya kami mendengar (seruan) yang menyeru kepada iman, (yaitu): ‘Berimanlah kamu kepada Tuhanmu, maka kami pun beriman,” (QS. Ali Imrân [3]:193) mereka mengatakan bahwa maknanya: “Kami mendengar dari hati kami.” Sebab, Allah SWT berfirman, “Sesungguhnya pada yang demikian itu benar benar terdapat peringatan bagi orang-orang yang mempunyai hati.” (QS. Qaf [50]: 37) Dan, sebaliknya, Allah SWT berfirman tentang musuh musuh-Nya, “Mereka itu adalah (seperti) yang dipanggil dari tempat yang jauh.” (QS. Fushshilat [41]: 44) Artinya: tempat yang jauh dari hati mereka. Sebagaimana Allah SWT berfirman tentang hakikat kebutaan hati, “Karena sesungguhnya bukanlah mata itu yang buta, tetapi yang buta ialah hati yang di dalam dada.” (QS. Al Hajj [22]: 46)

Para sufi meriwayatkan dari imam kita, Ali bin Abi Thalib r.a., “Di bumi-Nya, Allah memiliki bejana-bejana, yaitu hati. Hati yang paling dicintai-Nya adalah yang paling lembut, yang paling bersih, dan yang paling kokoh.” Kemudian, dia menafsirkan itu dengan berkata, “Yang paling kokoh dalam agama, yang paling bersih dalam keyakinan, dan yang paling lembut terhadap saudara.

Para sufi juga meriwayatkan hadis nabawi yang mulia: Dikatakan, “Wahai Rasulullah, siapakah sebaik-baik manusia?” Beliau menjawab, “Setiap mukmin yang berhati bersih.” Kemudian, Rasulullah SAW menafsirkannya dengan berkata, “Yaitu hati yang bertakwa dan bersih, yang di dalamnya tidak ada tipu daya, kezaliman, pengkhianatan, dan kedengkian.

Syekh Ali ‘Aql menunjukkan takwa ini dan keutamaannya dengan berkata:

Jika mereka menanam tanaman untuk menuai hasilnya

Takwa kepada Tuhan ‘Arasy di antara makhluk itu tanaman

Jika mereka menjadikan matahari sebagai penunjuk hari

Aku jadikan ridha dan ayat-Nya matahari

Jika manusia meminum susu dan menuangkannya

Maka sebaik-baik manusia adalah gelasnya

Beliau juga memperlihatkan kepada kita bahwa takwa tidak dapat tercapai kecuali dengan perjuangan yang berkesinambungan di jalan Allah. Beliau berkata:

Cinta bukanlah perkataan yang kita hiat-hiasi

Tapi, cinta adalah hati yang kita persembahkan kepada-Nya

Malam aku selalu terjaga, merindu dalam kobaran,

dengan air mata yang menenggelamkan,

Tujuanku cinta-Nya

Aku takkan berpaling dari cinta Nya walau sejenak

Mana mungkin, sedang hatiku dalam takwa kepada-Nya

Takkan Tuhan menampik hamba-Nya dari karunia

Mana mungkin Pujaan Hati menampik kekasih yang mendamba-Nya

Para sufi juga bersandar pada wasiat junjungan kita Rasulullah SAW kepada salah seorang sahabat bernama Washibah, ketika beliau berkata kepadanya, “Mintalah fatwa kepada hatimu, meskipun manusia telah memberimu fatwa.” Dengan ini, beliau memberitahukan kepada Washibah bahwa hatinya adalah fakih yang diterangi dengan iman, dan dengannya dia dapat melihat ilmu di atas ilmu zahir.

Dari hadis ini, para sufi menyimpulkan bahwa ilmu hati adalah hakikat fikih. Seandainya tidak demikian, niscaya Rasulullah SAW tidak akan memalingkan sahabat beliau dari fatwa ahli zahir kepada ilmu hati, dan tidak akan mengakui orang-orang yang memberi fatwa dengannya.

Para sufi menguatkan pemahaman mereka ini dengan firman Allah SWT, “Maka Kami telah memberikan pengertian kepada Sulaiman tentang hukum (yang lebih tepat).“(QS. Al-Anbiya’ [21]: 79) Artinya, Allah mengkhususkan bagi Nabi Sulaiman pemahaman dari-Nya yang Dia tambahkan di atas kekuasaan bapaknya.

Mereka mengatakan bahwa para ulama rabbani yang diberi ilham bukanlah orang-orang yang berhenti bersama hafalan, tapi orang-orang yang berdiri bersama penjaga (dari hatinya).

(bersambung)

Komentar

Belum ada komentar. Mengapa Anda tidak memulai diskusi?

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *