(lanjutan)
• Permadani pertama adalah permadani pencermatan: Apabila muncul kepadamu bisikan dari selain dari-Nya dan disingkapkan untukmu dari sifat-sifat-Nya, maka tetaplah di sana dengan sir-mu. Dan haram bagimu menyaksikan selain-Nya.
• Permadani kedua adalah permadani persimpuhan: Apabila datang kepadamu lintasan dari selain-Nya dan disingkapkan untukmu dari perbuatan-perbuatan-Nya, maka bersimpuhlah di sana dengan sir-mu. Dan haram bagimu menyaksikan selain sifat-sifat-Nya sebagai orang yang menyaksikan dan penyaksian. Dan pada yang pertama adalah kefanaan orang yang menyaksikan dan keabadian penyaksian.
. Permadani ketiga adalah permadani tawakal: Apabila muncul kepadamu lintasan dari selain-Nya, yakni seperti yang sudah disebutkan: dari yang dicintai atau yang dibenci, dan disingkapkan untukmu dari aib-aibnya, maka kamu duduk di atas permadani cinta kepada-Nya seraya tawakal dan ridha kepada-Nya dengan apa yang tampak bagimu dari atsar af’al – Nya di dalam cahaya-cahaya tirai tutupan-Nya.
• Permadani keempat adalah permadani doa: Apabila muncul kepadamu lintasan dari selain-Nya dan disingkapkan bagimu dari kefakiranmu terhadap-Nya, maka sungguh Dia telah menunjukkanmu kepada kekayaan-Nya.
Karena itu, jadikanlah kefakiran sebagai permadani. Dan waspadalah, jangan sampai kamu menurunkan derajat ini kepada selainNya sehingga kamu terjatuh ke dalam makar Allah tanpa kamu ketahui. Minimal yang terjadi darimu jika kamu turun darinya yaitu bahwa kamu kembali kepada egomu seraya memilih dan berpaling untuknya. Lalu, menjadi tegak keadaanmu-dan tidak ada hal (keadaan) bagimu-bahwa kamu membawanya dengan kesungguhan dan usaha keras, pada lahir atau pada batin, karena hasrat kuat kamu dapat menghindarkan dengan itu dari dirimu.1
Dan betapa buruk keadaanmu apabila kamu berusaha keras menolak apa yang Allah kehendaki menolaknya. Maka, bagaimana kamu menentang-Nya dalam apa yang Dia tidak ingin menolaknya darimu. Minimal apa yang terdapat dalam persoalan ini adalah dakwaan kesyirikan. Karena kamu sungguh telah menang, padahal kamu sama sekali tidak menang. Lalu, jika kamu menang, maka jadilah sebagaimana kehendakmu, padahal tidaklah terjadi sebagaimana kehendakmu selama-lamanya. Jadi, usaha kerasmu menunjukkan betapa besarnya kebodohanmu terhadap af’al Allah. Dan betapa busuk seorang pekerja yang bodoh atau seorang alim yang fasik.
Maka, aku tidak tahu dengan apa menyebutmu, apakah dengan kebodohan atau kefasikan atau keduanya sekalian. Kita berlindung kepada Allah dari pengabaian diri terhadap mujahadat dan kekosongan hati dari musyahadat. Karena pengabaian itu menafikan syariat dan kekosongan itu menafikan tauhid, sedangkan Penetap syariat telah menyampaikan keduanya sekalian.
Oleh karena itu, keluarlah dari penentangan terhadap Tuhan mu, maka kamu adalah orang yang bertauhid. Laksanakanlah rukun-rukun syariat, maka kamu adalah seorang pengikut sunnah. Dan gabungkanlah keduanya dengan perangkaian yang sebenarnya, maka kamu adalah muhaqqiq. Allah SWT berfirman, “Tiadakah cukup bahwa sesungguhnya Tuhanmu menjadi saksi atas segala sesuatu?” (QS. Fushshilat [41]:53)
Kemudian, jika terlintas bagimu dalam muraqabah-mu suatu bisikan dari sesuatu yang dibenci syariat atau dicintai pada apa yang telah kamu lakukan, maka pandanglah apa yang engkau ingat dengannya dan perhatikanlah. Jika kamu mengingat Allah dengannya, maka etikamu mengesakan-Nya di atas permadani penunggalannya. Lalu, jika (sebaliknya, yaitu:) tidak, (dimana) memberatkan dirimu dalam melihat karunia-Nya, dengan kelembutan-kelembutan rahmat-Nya yang Dia tampakkan kepadamu dan ketaatan kepada-Nya yang Dia hiaskan kepadamu dengan mengkhususkan cinta-Nya di atas permadani kasih-Nya, Maka, berarti kamu turun dari tingkatan ini dan kamu tidak berada di sana. Etikamu adalah melihat karunia-Nya apabila Dia menutupi dirimu dalam maksiat yang kamu lakukan dan Dia tidak menyingkapkan satir (tutupanmu) kepada seorang pun dari makhluk-Nya.
Lalu, apabila kamu berpaling dan ingat akan maksiatmu serta tidak mengingat tiga etika yang telah disebutkan, maka laksanakanlah etika doa dengan bertobat darinya atau seumpamanya dan dengan meminta ampunan baginya, sebagaimana permintaan pelaku pelanggaran yang telah mencampuradukkan perkara. Ini pada sisi yang dibenci dalam syariat.
Adapun jika bisikan datang menghampirimu dari ketaatan yang telah kamu lakukan dan kamu mengingat siapa yang menunjukkanmu kepadanya, maka janganlah kamu merasa senang dengannya, tetapi dengan Yang menciptakannya (Allah-ed.). Jika kamu merasa senang dengan selain-Nya, kamu sungguh telah terjatuh dari derajat tahqiq (perealisasian hakikat). Lalu, jika kamu tidak berada di dalam kedudukan ini, jadilah di dalam kedudukan setelahnya yaitu kamu menyaksikan besarnya karunia Allah terhadapmu, jika kamu termasuk ahlinya.
Pengaruhnya (adalah) bahwa kamu dianugerahkan ketaatan yang lebih baik darinya, bahkan ini termasuk tanda-tanda yang menunjukkan kesahihannya. Dan, jika kamu tidak mendudukinya dan di- dudukkan pada tingkatan di bawahnya, maka etikamu adalah mempercermat pandangan terhadap ketaatan itu; apakah memang benar ketaatan dan kamu bersih dari permintaannya atau justru sebaliknya, kamu dan ketaatanmu tertarik dengannya2. Kita berlindung kepada Allah dari kebaikan-kebaikan yang kembali menjadi keburukan-keburukan. Dan tampak bagi mereka dari Allah apa yang sama sekali tidak mereka kira.
Lalu, apabila kamu turun dari tingkatan ini kepada selainnya, maka etikamu adalah memohon keselamatan darinya dengan kebaikan dan keburukannya. Dan, jadilah pelarianmu dari kebaikan-kebaikanmu (yang seperti itu) lebih banyak daripada pelarianmu dari keburukan-keburukanmu, jika kamu ingin termasuk ke dalam golongan orang-orang yang saleh.
Hal ini dikarenakan guru mursyid (orang yang dekat dengan Allah) dapat mendeteksi atau membongkar motif dibalik kebaikan atau ketaatan orang-orang umum, apakah murni ketaatan atau ada hawa nafsu dibalik hal itu-ed.