Murâqabah (Mawas Diri Dengan Pengawasan Allah)
Kemudian, sudah semestinya bagimu, wahai orang yang menempuh jalan akhirat, melaksanakan apa yang diperintahkan kepadamu pada pribadi lahiriahmu. Apabila kamu telah melakukan hal itu, duduklah di atas permadani murâqabah dan mulailah dengan membersihkan batinmu sampai tidak tersisa lagi di dalamnya sesuatu pun yang Dia larang dirimu dari-Nya. Berikanlah kepada al Haqq itu hak-Nya dan kurangi pandangan kepada lahirmu jika kamu menginginkan keterbukaan batinmu terhadap rahasia-rahasia malakút Tuhanmu.
Lalu, apa yang mengalir kepadamu dari lintasan-lintasan bisikan yang menghalangi dirimu dari tujuan? Maka, ketahuilah pertama-tama kedekatan Tuhanmu kepadamu sebagai pengetahuan yang langsung menyentuh hatimu dengan jalan terus-menerus memandang dalam perolehan manfaat-manfaat terhadapmu dan penolakan terhadap kemudaratan darimu. Dan, pandanglah, “Apakah ada pencipta selain Allah yang melimpahkan rezeki untukmu dari langit dan bumi?” Termasuk bumi adalah dirimu dan termasuk langit adalah hatimu. Maka, apabila turun sesuatu dari langit ke bumi, siapa yang menuntutmu selain Allah. “Dia mengetahui apa yang masuk ke dalam bumi dan apa yang keluar daripadanya dan apa yang turun dari langit dan apa yang naik kepada-Nya (antara lain amal-amal dan doa-doa hamba). Dan, Dia bersama kamu di mana saja kamu berada.” (QS. Al-Hadid [57]:4)
Oleh karena itu, berikanlah hak muraqabah dengan konsistensi kehambaan di dalam hukum-hukumNya. Dan, jauhkanlah dirimu dari menetapi rububiyah dalam perbuatan-perbuatanNya. Karena, siapa yang menentang-Nya, dia akan kalah. Dialah yang berkuasa atas sekalian hamba-hamba-Nya. Dan, Dialah yang Maha Bijaksana lagi Maha mengetahui.
Benar, kebenaran sejati adalah apa yang aku katakan untukmu. Tidak ada satu napas pun dari napas-napasmu kecuali bahwa Allah yang menguasai dan mengaturnya, apakah kamu menyerah pasrah atau menentang. Karena kamu ingin menyerah pada suatu waktu sedang Allah enggan kecuali pertentangan. Kamu ingin menentang pada waktu yang lain sedang Allah enggan kecuali pasrah menyerah. Dan, senantiasalah kamu dalam keadaan ini terhadap sifat rububiyah-Nya dalam seluruh perbuatan-Nya, terlebih lagi pada orang yang sibuk menjaga dan mengawasi hatinya untuk mencapai hakikat-hakikatnya.
Jika memang demikian halnya, berikanlah kepada etika akan haknya pada segala apa yang datang kepadamu, bahwa kamu tidak bersaksi dengan sesuatu pun darimu secara kepermulaan kecuali dengan kepermulaan-Nya, secara keakhiran kecuali keakhiran-Nya, secara zahir kecuali kezahiran-Nya, dan tidak secara ketersembunyian (batin) kecuali ketersembunyian-Nya. Apabila kamu tersamar terhadap apa ‘yang awal’ kembali kepadanya, maka kamu memandang kepada apa yang ditakwilkan tentang apa yang ia kembali kepadanya.
Apabila terlintas dalam benakmu sesuatu yang disukai dan sesuai dengan diri, atau yang dibenci yang tidak sesuai dengannya dari perkara yang tidak diharamkan oleh syariat, maka pandanglah apa yang Allah ciptakan di dalam hatimu dengan pengaruh apa yang melintas di hatimu. Lalu, apabila kamu menjumpai suatu peringatan, kamu mesti mencermati kepastiannya. Maka, itu adalah etika waktu atas dirimu dan jangan kembali kepada selain itu.
Lalu, apabila kamu tidak mendapatkan jalan untuk pencermatan, bersimpuhlah1 di hadapan-Nya. Maka, itu adalah etika waktumu. Dan, sekiranya kamu kembali kepada selain-Nya, maka telah keliru jalanmu. Dan, apabila hal itu bukan darimu, maka kamu mesti bertawakal, ridha, dan pasrah berserah. Dan, jika kamu tidak mendapatkan jalan kepada-Nya, maka kamu mesti berdoa dalam memperoleh manfaat dan menolak kemudaratan dengan syarat pasrah dan berserah sepenuhnya. Dan aku memperingatkanmu dari pilihan, karena itu adalah buruk bagi kalangan orang-orang yang memiliki matahati.
Dengan demikian, ada empat etika: etika pencermatan, etika bersimpuh, etika tawakal, dan etika doa. Maka, siapa yang telah mencermati kepastian-Nya, dia dipelihara darinya. Siapa yang bersimpuh di hadapan-Nya, dia dicukupkan dari selain-Nya. Siapa yang bertawakal kepada-Nya, maka dia dicukupkan dari pilihan diri dengan pilihan Tuhannya. Dan, siapa yang memohon kepada-Nya dengan syarat menghadap dan cinta. niscaya Dia memperkenankannya jika Dia menghendaki dalam kemaslahatannya, atau Dia menghalangi darinya jika Dia menghendaki apa yang bukan maslahatnya. Dan, setiap etika mempunyai “permadani”.
• Permadani pertama adalah …
(bersambung)