(lanjutan)
Beliau ra. berkata: “Aku sedang berada dalam perjalanan lalu menuju sebuah gua untuk bermalam. Kemudian, aku mendengar di dalamnya ada gerak-gerik seseorang sehingga aku berkata dalam hati, ‘Demi Allah, aku tidak akan mengganggunya malam ini. Dan, aku bermalam di mulut gua. Ketika waktu sahur (menjelang Subuh), aku mendengar dia berkata, “Ya Allah, orang-orang memohon kepada-Mu untuk menghadapkan dan menundukkan makhluk kepada mereka. Ya Allah, hamba memohon kepada-Mu untuk memalingkan dan membelokkan mereka dariku, sehingga tidak ada lagi tempat mengadu selain kepada-Mu. Kemudian, dia keluar dan ternyata dia adalah guruku.
Aku katakan kepadanya, Tuanku, malam tadi aku mendengarkan kamu mengatakan begini. Beliau berkata kepadaku, “Ali, mana yang lebih baik bagimu? Kamu mengucapkan, Jadilah untukku’ atau ‘Tundukkanlah hati hamba-hamba-Mu”? Apabila Dia untukmu, maka segala sesuatu bagimu.’
Beliau berangkat dari tempat gurunya menuju Afrika dan gurunya memerintahkan untuk menuju Syadzilah. Beliau tiba di Tunis di musala al-‘Idain. Di tempat itu beliau bertemu dengan seorang tukang kayu dari penduduk Syadzilah. Kemudian, beliau berangkat bersamanya menuju tempat yang diperintahkan oleh gurunya. Ternyata tukang kayu itu terlupa akan satu kebutuhannya di pasar sehingga dia permisi untuk kembali sebentar memenuhi kebutuhannya dan meninggalkan keledai tunggangan bersama Syekh. Kemudian, ketika sudah melangkah, dia berkata di dalam hatinya, ‘Ini laki-laki asing. Bisa saja membawa lari keledaiku dan aku tidak punya tunggangan apa-apa lagi.‘
Tiba-tiba Syekh memanggilnya. Dia berbalik langkah mendatanginya. Lalu, Syekh berkata kepadanya, ‘Anakku, bawa keledai bersamamu. Dan aku menunggumu sampai kamu kembali agar jangan sampai aku membawa lari keledaimu seperti yang kamu sangka dan kamu tidak kehilangannya.’ Tukang kayu itu menangis dan berkata, ‘Demi Allah, tidak ada yang bisa mengungkapkan hal ini kecuali Allah SWT.” Maka, dia sekarang sudah tahu tentang kewaliannya, dan langsung mencium kedua tangannya, memohon doa kepadanya. Kemudian, dia segera berjalan untuk menunaikan hajatnya dan kembali lagi. Dia bersumpah kepada beliau agar menunggang keledai dan dia membonceng di belakang. Dia berkata, ‘Demi Allah, keledai ini sebelumnya tidak mampu membawa tubuhku kecuali dengan susah payah karena lemah dan sedikit makanannya.”
Tukang kayu itu berkata: ‘Kemudian kami berjalan kira-kira satu mil, tiba-tiba Syekh berhenti dan turun di sebuah anak sungai di pinggiran Syadzilah.’ Aku sangat terkejut. Kemudian, Aku mencurahkan keluh kesahku kepada Syekh. Dia katakan kepada Syekh, Tuanku, aku ini mendapat cobaan dengan kefakiran. Aku hanya mencari kayu bakar kemudian menjualnya. Maka, aku tidak memperoleh makanan sehari-hari kecuali setelah bekerja dengan susah payah. Di bungkusanku itu ada gandum yang aku beli sekadar untuk makanan pokok keluarga dan untuk makan keledai.’ Syekh berkata kepadaku, ‘Ambil gandum itu dan ke sini.’ Aku segera membuka bungkusanku. Kemudian, Syekh memasukkan tangan ke dalamnya dan berkata, ‘Letakkan gandum ini di dalam keranjang jerami lalu tutuplah. Cukup masukkan tanganmu ke dalamnya dan makanlah darinya. Kamu tidak pernah lagi mengeluhkan kefakiran selama-lamanya. Aku memohon kepada Allah semoga menganugerahkan kekayaan kepadamu dan keturunanmu.’ Setelah itu, keturunan tukang kayu itu tidak lagi mengalami kefakiran hingga sekarang.”
Dia berkata: “Sejak itu aku memasukkan tanganku, mengeluarkannya, berangkat kerja, membajak sawah dengan keledai, dan menanam darinya. Aku mendapatkan kebaikan yang banyak darinya. Aku membuka dan menakarnya, dan aku mendapatkannya masih seperti sediakala. Kemudian aku berkunjung ke kediaman Syekh. Syekh berkata kepadaku, ‘Seandainya kamu tidak menakarnya, niscaya kamu dapat makan darinya selama masih ada pada kalian.’”
Orang yang pertama bersahabat dengan beliau di Syadzilah adalah Syekh Saleh, Wali yang diberikan anugerah kasyaf, Abu Muhammad Abdullah bin Salamah al-Habibi, dari penduduk Syadzilah. Awalnya dia berkunjung ke kota Tunis dan menghadiri majelis Syekh Saleh al-‘Arif al-Fadhil Abu Ja’far al-Jasus. Dia selalu berada di sekitar beliau. Lalu, Syekh berkata, “Orang-orang tinggi berada di tempat-tempat sunyi.”
Dia (Abu Muhammad-ed.) berkata: “Kemudian, pada suatu hari aku meraih tangan beliau (al-‘Arif al-Fadhil Abu Ja’far al-Jasus-ed.) dan aku katakan, ‘Tuanku, aku akan menjadikanmu Syekhku. Beliau berkata kepadaku, ‘Anakku, perhatikan dan awasi gurumu sampai dia tiba dari Maghrib (Maroko). Seorang Hasani (keturunan Hasan bin Ali ra.) dari golongan wali-wali besar. Dialah gurumu dan kepadanya kamu dinisbatkan.’”
Maka, dia terus mengawasinya dan orang-orang fakir dari penduduk Maroko menyertainya sampai Syekh (Abu Hasan al-Syadzili) tiba di Syadzilah. Lalu, dia segera berkumpul dengannya. Hal itu merupakan penghormatan dan kebaikan baginya. Sehingga dia berguru kepada beliau, terus menyertainya, ikut berangkat bersamanya ke Gunung Zaghwan, beribadah, dan berjihad bersamanya dalam waktu yang sangat lama.