I‘tiqad yang Ada dalam Kalimat Thayyibah – Terjemah Tauhid Sabilul Abid KH. Sholeh Darat (3/3)

TERJEMAH TAUHID

سَبِيْلُ الْعَبِيْدِ عَلَى جَوْهَرَةِ التَّوْحِيْدِ
Oleh: Kiyai Haji Sholeh Darat
Mahaguru Para Ulama Besar Nusantara
(1820-1903 M.)

Penerjemah: Miftahul Ulum, Agustin Mufrohah
Penerbit: Sahifa Publishing

Rangkaian Pos: 003 Tentang Kenabian (Nabawiyyat) - Terjemah Tauhid Sabilul Abid

Lafazh (إِلهَ) juga bisa diartikan dzāt yang tidak membutuhkan selain-Nya, tapi ia pasti dibutuhkan oleh selain-Nya, maksudnya semua makhluk pasti membutuhkan Allah. Jika diartikan seperti itu, makna kalimat musyarrafah adalah:

الْمُسْتَغْنِيْ عَنْ كُلِّ مَا سِوَاهُ وَ الْمُفْتَقِرُ إِلَيْهِ كُلُّ مَا عَدَاهُ.

Dzāt yang tidak butuh pada sesuatu yang lain, dan segala sesuatu butuh kepada-Nya.”

Ma‘na ini lebih jelas dibanding ma‘na yang awal, yakni istighnā’ dan iftiqār.

Setelah engkau mengetahui i‘rāb dan ma‘na dari kalimat musyarrafah, maka sebaiknya juga mengetahui fadhīlah (keutamaan)nya, agar orang-orang mu’min semakin mantap dalam keimanannya. (1061) Dengan meminta pertolongan pada Allah saya jelaskan:

“Ketahuilah bahwa kalimat musyarrafah ini sangat besar keutamaannya, sampai-sampai seseorang belum sah masuk Islam jika belum mengucapkan dua kalimat syahadat ini, juga selamatnya seorang mukallaf dari kekal di neraka itu disebabkan di akhir usianya mengucapkan dan meyakini akidah dan dua kalimat syahadat ini.”

Manusia ada yang kafir dan ada pula yang mu’min. Jika ia kafir maka ia wajib mengucapkan dua kalimat syahadat agar keimanannya sah, sebagaimana penjelasan yang telah lalu. Adapun bagi seorang mu’min minimal satu kali dalam seumur hidupnya, ia wajib membaca dzikir: (لَا إِلهَ إِلَّا اللهُ مُحَمَّدٌ رَسُوْلُ اللهِ (ص).) dengan niat dalam hati melakukan kewajiban mengucapkan dua kalimat syahadat, jika tidak mengucapkan dzikir atau mengucapkan tapi tanpa niat maka berdosa, tapi keimanannya tetap sah.

Setelah melakukan kewajiban, sebaiknya memperbanyak dzikir dengan membaca kalimat musyarrafah, agar di akhir usia mampu mengucapkan kalimat musyarrafah. Rasūlullāh s.a.w. bersabda:

مَنْ كَانَ آخِرُ كَلَامِهِ لَا إِلهَ إِلَّا اللهُ دَخَلَ الْجَنَّةَ.

Barang siapa yang akhir katanya adalah lā ilāha illallāh, maka dia akan masuk surga.”

مَنْ مَاتَ وَ هُوَ يَعْلَمُ أَنْ لَا إِلهَ إِلَّا اللهُ دَخَلَ الْجَنَّةَ.

Barang siapa yang mati dan ia mengetahui bahwa tiada sesembahan yang berhak disembah selain Allah, maka dia akan masuk surga.”

Kalimat musyarrafah juga mencukupi untuk menjawab pertanyaan malaikat Munkar dan Nakir di alam kubur. Rasūlullāh s.a.w. bersabda:

التَّسْبِيْحُ نِصْفُ الْمِيْزَانِ وَ الْحَمْدُ للهِ يَمْلَؤُهُ وَ لَا إلهَ إِلَّا اللهُ لَيْسَ لَهَا دُوْنَ اللهِ حِجَابٌ حَتَّى تَخْلُصَ إِلَيْهِ.

(Pahala) bertasbīḥ, setengah timbangan. (Pahala membaca) al-Ḥamdulillāh memenuhi timbangan. (Ucapan) Lā ilāha illallāh, menembus hijab Allah, hingga sampai pada Allah.”

Nabi s.a.w. bersabda: “Tidaklah seseorang mengucapkan kalimat “Lā ilāha illallāh” dengan keikhlasan hati, tanpa ada tujuan dunia sama sekali, melainkan akan dibukakan baginya pintu dari tujuh langit sampai ke ‘Arsy selama dia menjauhi dosa besar.

Nabi s.a.w. bersabda: “Malaikat Jibrīl telah datang padaku membawa risalah dari Allah, kemudian menasihatiku: “Sesungguhnya orang yang mati dengan bersaksi bahwa tiada tuhan selain Allah dan tiada sekutu bagi-Nya, maka dia akan masuk surga”. Sahabat Nabi bernama Abū Dzarr bertanya: Wahai Rasūlullāh, walaupun orang tersebut melakukan zina dan juga mencuri?” Rasūlullāh menjawab: “Walaupun dia melakukan zina dan mencuri, tetap akan masuk surga.”

Nabi s.a.w. bersabda: “Orang yang paling beruntung akan mendapat syafaatku kelak di hari Kiamat adalah orang yang mengucapkan kalimat Lā ilāha illallāh dengan hati yang ikhlas.”

Adapun mengucapkan kalimat Lā ilāha illallāh dengan tujuan dunia, untuk mencari makan atau untuk kerja agar diberi upah, maka tidak akan ada manfaatnya, bahkan hukumnya haram karena menggunakan kalimat thayyibah untuk mencari dunia yang hina. Hal itu seperti mengucapkan kalimat thayyibah di dalam WC, akad kerjanya pun juga menjadi tidak sah. Misalnya membaca dzikir dengan upah makanan atau nasi tanpa ada batasan yang jelas, maka tidak sah.

Dalam kitab Tharīqat-ul-Muḥammadiyyah karya al-‘Allāmah an-Nasalbī al-Ḥanafī pada bab ‘Āfāt-ul-Lisān (bahaya-bahaya lisan) disebutkan: “Jika seseorang membaca al-Qur’ān, dzikir, atau doa dengan tujuan agar mendapatkan upah atau manfaat yang bersifat duniawi, misalnya, diberi suguhan makanan setelah melakukan dzikir, atau membaca al-Qur’ān, sebagaimana kebiasaan penghafal al-Qur’ān dan orang shufi yang bodoh di masa sekarang ini, maka dzikir dan qirā’ah-nya haram, haram juga memakannya, karena upah tersebut adalah upah dari akad sewa yang rusak, batal karena akad sewanya tidak sah. Akan berbeda hukumnya jika dijelaskan, semisal: “Jika engkau berdzikir seratus kali atau membaca al-Qur’ān satu juz, maka akan aku beri upah sekian (ukuran yang jelas)”, maka sah akad sewannya dan halal upahnya. Dzikir dan baca al-Qur’ānnya pun juga diperbolehkan, tetapi tidak mendapat pahala akhirat.”

Allah s.w.t. berfirman:

وَ مَنْ يُرِدْ ثَوَابَ الدُّنْيَا نُؤْتِهِ مِنْهَا وَ مَنْ يُرِدْ ثَوَابَ الْآخِرَةِ نُؤْتِهِ مِنْهَا.

Barang siapa menghendaki pahala dunia, niscaya Kami berikan kepadanya pahala dunia itu, dan barang siapa menghendaki pahala akhirat, Kami berikan (pula) kepadanya pahala akhirat itu.” (QS. Āli ‘Imrān [3]: 145).

Oleh karena itu, bagi orang yang diundang acara tahlilan atau maulid Nabi Muḥammad s.a.w. sebaiknya melihat kehendak hatinya dulu, jika kehendak hatinya hanya ingin mendapat makanan dan harta dunia, sebaiknya tidak usah berangkat. Jika kehendak hatinya murni karena mengharap ridha Allah, sehingga misalnya saja setelah dzikir atau setelah membaca maulid dia langsung disuruh pulang, apaka dia ridha atau tidak? Jika tidak ridha, maka jangan berangkat, tapi jika ridha, berangkatlah!

Itu semua adalah maksud ikhlas, jika tidak ikhlas, amalnya tidak sah dan malah melakukan maksiat karena membohongi orang yang punya hajat. Sebab, tujuan orang yang mempunyai hajat (tahlilan atau maulidan) adalah agar mendapatkan manfaat, tapi karena tidak ikhlas maka tidak menghasilkan manfaat. Berdosa hukumnya seseorang yang membaca dzikir untuk menolak pencuri atau menipu manusia agar mau membeli barang dagangannya. Wallāhu a‘lam.

Diriwayatkan oleh Atbān bin Mālik bahwa Rasūlullāh s.a.w. bersabda:

لَنْ يُوَافِيَ عَبْدٌ يَوْمَ الْقِيَامَةِ بِقَوْلِ لَا إِلهَ إِلَّا اللهُ، يَبْتَغِيْ بِذلِكَ وَجْهُ اللهِ، إِلَّا حَرَّمَهُ اللهُ عَلَى النَّارِ.

Tidak datang seorang hamba di hari Kiamat dengan membawa ucapan “lā ilāha illallāh” karena mengharap ridha Allah (tanpa ada tujuan harta dunia sama sekali), melainkan Allah akan mengharamkan neraka baginya (haram masuk neraka).”

Rasūlullāh s.a.w. juga bersabda:

أَوْ جَاءَ قَائِلُ لَا إِلهَ إِلَّا اللهُ صَادِقًا بِقِرَاضِ الْأَرْضِ ذَنُوْبًا غُفِرَ لَهُ.

Jika orang yang mengucapkan “lā ilāha illallāh” dengan kesungguhan hati datang (pada hari Kiamat) dengan membawa dosa sebesar bumi seisinya, maka dosa-dosa tersebut akan diampuni.

لَيْسَ عَلَى أَهْلِ لَا إِلهَ إِلَّا اللهُ وَحْشَةٌ فِيْ قُبُوْرِهِمْ وَ فِيْ نُشُوْرِهِمْ، كَأَنِّيْ أَنْظُرُ إِلَيْهِمْ عِنْدَ الصِّحَّةِ رُؤُوْسُهُمْ مِنَ التُّرَابِ وَ يَقُوْلُوْنَ: الْحَمْدُ للهِ الَّذِيْ أَذْهَبَ عَنَّا الْحَزَنَ إِنَّ رَبَّنَا لَغَفُوْرٌ شَكُوْرٌ.

Ahli “lā ilāha illallāh” tidak akan merasa gelisah saat berada dalam kubur dan juga saat ditiupkannya sangkakala. Seakan-akan aku melihat mereka sedang membersihkan kepalanya dari kotoran debu seraya berkata: “Segala puji bagi Allah yang telah mengilangkan duka dari kami, sungguh tuhan kami Maha Pengampun dan Maha Mensyukuri.

Faedah kalimat thayyibah ini sangat banyak, di antaranya, mengucapkan lā ilāha illallāh sebanyak 70.000 kali bisa menjadi tebusan dari siksa api neraka. ‘Arsy bergoncang karena orang-orang mu’min membaca lā ilāha illallāh. Barang siapa membaca lā ilāha illallāh dengan keikhlasan hati dan huruf dipanjangkan, maka dosa besarnya akan diampuni selama 40 tahun.

Sebaiknya membaca dzikir di tempat yang sepi dan di waktu-waktu yang diutamakan, seperti setelah shalat Shubuḥ, shalat Maghrib, atau setelah shalat ‘Ashar. Kemudian membaca istighfar dilanjutkan dzikir minimal 100 kali agar hatinya menjadi bersih. Setelah berdzikir, jangan lupa membaca shalawat kepada Nabi s.a.w., minimal 300 atau 500 kali setiap hari agar hatimu bisa merasakan keagungan Nabi saat membaca shalawat.

Seyogyanya orang yang membaca shalawat memenuhi hatinya dengan rasa cinta kepada Rasūlullāh s.a.w., membayangkan wajah beliau, memohon syafaatnya, memohon wasilah (perantara) untuk mendekatkan diri pada Allah, bersyukur pada Allah karena bisa berdzikir dan membaca shalawat, dan meyakini bahwa itu semua merupakan anugerah dari Allah bagi hamba-Nya.

Dzikir kepada Allah tidak akan bermanfaat tanpa adanya ijazah dari guru yang memiliki silsilah yang sambung sampai Rasūlullāh s.a.w. secara jelas.

Catatan:

  1. 106). Lihat: Umm-ul-Barāhīn, hal. 226-230.

Komentar

Belum ada komentar. Mengapa Anda tidak memulai diskusi?

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *