Setelah selesai membahas sifat wajib, mustahil, dan ja’iz bagi Allah dan para Rasūl, Syaikh Ibrāhīm al-Laqqānī membahas i‘tiqād yang ada dalam kalimat Thayyibah.
Syaikh Ibrāhīm al-Laqqānī berkata:
وَ جَامِعٌ مَعْنَى الَّذِيْ تَقَرّرَا | شَهَادَةَ الْإِسْلَامِ فَاطْرَحِ الْمِرَا. |
“Dan sesuatu yang mengumpulkan ma‘na dari yang telah ditetapkan adalah dua kalimat syahadat yang menunjukkan keislaman, maka lemparkanlah perbantahan.”
Lafazh (جَامِعٌ) menjadi mubtada’, dan lafazh (شَهَادَةَ الْإِسْلَامِ) menjadi fā’il-nya (جَامِعٌ) yang menjadi khabar mubtada’.
Kalimat yang bisa mengumpulkan beberapa ma‘na akidah iman adalah dua kalimat syahadat:
لَا إِلهَ إِلَّا اللهُ مُحَمَّدٌ رَسُوْلُ اللهِ (ص).
Dua kalimat syahadat menjadi tanda dan sebab keislaman seseorang. Tinggalkanlah perdebatan dalam masalah bisa atau tidaknya dua kalimat syahadat mencakup semua akidah keimanan. (1001).
Karena ma‘na dua kalimat syahadat bisa mengumpulkan beberapa ma‘na dalam masalah keimanan, yaitu berupa menetapkan ketuhanan dan menetapkan kerasulan, maka dua kalimat syahadat menjadi tanda keislaman. Ketika engkau sudah mengetahui hal itu, buang dan tinggalkanlah perdebatan dalam masalah bisa atau tidaknya dua kalimat syahadat mencakup ma‘na akidah keimanan.
Cara untuk menjelaskan bahwa kalimat syahadat bisa mengumpulkan dan mencakup akidah keimanan adalah bahwa lafazh (لَا إِلهَ إِلَّا اللهُ) berma‘na: “Tidak ada Tuhan yang ḥaqq selain Allah, Tuhan yang ḥaqq hanya Allah, tidak ada yang lain”. Ma‘na hakikat ulūhiyyah (ketuhanan) adalah dzāt yang wajib disembah dan ditaati dengan sungguh-sungguh. Dzāt yang seperti itu adalah:
اِسْتِغْنَاءُ الْإِلهِ عَنْ كُلِّ مَا سِوَاهُ وَ افْتَقَارُ مَا عَدَاهُ اللهَ.
“Tidak butuhnya Tuhan pada sesuatu selain-Nya dan butuhnya sesuatu selain-Nya pada Allah.”
Maksudnya, Allah sama sekali tidak butuh pada yang lain, sedangkan sesuatu selain Allah pasti butuh pada Allah dalam segala hal.
Hakikat Tuhan adalah Dzāt yang disembah dengan ḥaqq, mau atau tidak, semua pasti menyembah, berbakti, dan taat kepada Allah, dan tidak mungkin bisa lepas dari kekuasaan Allah.
Maka lafazh (لَا إِلهَ إِلَّا اللهُ) secara hakikat adalah:
لَا مَعْبُوْدَ بِحَقٍّ فِي الوَاقِعِ إِلَّا اللهُ.
“Tidak ada Dzāt yang berhak disembah dalam kenyataan kecuali Allah.”
Sedangkan ma‘na lafazh (لَا إِلهَ إِلَّا اللهُ) secara pasti adalah:
لَا مُسْتَغْنِيًا عَنْ كُلِّ مَا سِوَاهُ وَ مُفْتَقِرًا إِلَيْهِ كُلُّ مَا عَدَاهُ إِلَّا اللهُ.
“Tidak ada sesuatu yang tidak butuh pada yang lain, sesuatu yang lain butuh pada Allah, kecuali Allah Sendiri.”
Maksudnya, Allah tidak butuh pada yang lain, tetapi Allah dibutuhkan oleh yang lain, sesuatu selain Allah pasti butuh pada Allah, tidak ada satu pun yang tidak butuh pada Allah. Ini menetapkan 11 sifat bagi Allah, yaitu sifat wujūd, qidam, baqā’, mukhālafatu lil-ḥawāditsi, qayāmuhu bi nafsihi, sama‘, bashar, kalām, kaunuhu samī‘an, kaunuhu bashīran, kaunuhu mutakalliman. Ini merupakan 11 sifat yang wajib bagi Allah.
Ketika telah tetap 11 sifat bagi Allah, maka tetap pula kebalikannya, yaitu 11 sifat mustahil bagi Allah. 11 sifat wajib dan 11 sifat mustahil, jumlahnya 22 sifat.
Tidak butuhnya Allah pada yang lain juga menetapkan sifat ja’iz, yaitu Allah tidak wajib menciptakan atau meniadakan sesuatu yang mungkin. Tidak butuhnya Allah mencakup 23 sifat, dengan perincian: 11 sifat wajib, 11 sifat mustahil, dan 1 sifat ja’iz. Bila dijumlah menjadi 23 sifat. (1012).
Adapun iftiqār (butuhnya makhluk pada Allah) mencakup 9 sifat wajib, yaitu sifat ḥayāt, qudrah, irādah, ‘ilmu, kaunuhu ḥayyan, kaunuhu qādiran, kaunuhu murīdan, kaunuhu ‘āliman dan waḥdaniyat. Ketika telah tetap 9 sifat wajib, maka tetap pula kebalikannya, yaitu 9 sifat mustahil, maka jumlahnya menjadi 18 sifat, terdiri dari 9 sifat wajib dan 9 sifat mustahil. Kemudian jumlahkan 18 sifat ini dengan 23 sifat tadi, maka jumlahnya menjadi 41 kaidah. Adapun perinciannya: 20 sifat wajib, 20 sifat mustahil, dan 1 sifat ja’iz. Hukum ‘aqlī yang ada 3 macam (wajib, mustahil dan ja’iz) masuk dalam lafazh (لَا إِلهَ إِلَّا اللهُ). (1023).
Tidak boleh membagi 20 sifat dalam huruf-huruf kalimah musyarrafah (syahadat), karena tidak butuhnya Allah yang mencakup 11 sifat, dan iftiqār (butuhnya makhluk pada Allah) yang mencakup 9 sifat, semuanya masuk dalam ma‘na lafazh jalālah, bukan masuk pada (لَا) dan (إِلهَ) sebagaimana pemahaman orang-orang bodoh.
Kemudian ketahuilah bahwa dalam kalimat:
مُحَمَّدٌ رَسُوْلُ اللهِ (ص).
Mengandung 4 sifat yang wajib bagi para Rasūl, yaitu shiddīq, amānah, tablīgh, dan fathānah, juga mengandung kebalikan dari 4 sifat tersebut, dan mengandung sifat ja’iz para Rasūl yang ada satu, yaitu memiliki sifat-sifat manusia. Semuanya berjumlah 9 sifat. Lalu jumlahkan dengan 41 sifat yang terdahulu, maka jumlahnya adalah 50 sifat, semuanya tercakup dalam dua kalimat syahadat.
Seorang mukallaf wajib mengetahui 50 sifat ini, adapun perinciannya sebagai berikut:
Kalimat (مُحَمَّدٌ رَسُوْلُ اللهِ) juga mencakup keimanan pada:
Dengan tambahan 10 sifat ini, ditambah 50 sifat yang telah lalu, maka berjumlah 10 sifat yang harus dilakukan (jika berupa amal anggota badan).
Kalimat (مُحَمَّدٌ رَسُوْلُ اللهِ) juga mencakup keimanan pada segala sesuatu yang dibawa oleh Rasūlullāh s.a.w. seperti kondisi dan fitnah di alam kubur, pertanyaan malaikat Munkar dan Nakir di dalam kubur sebanyak tiga kali, ada juga yang berpendapat 7 kali bagi orang mu’min dan 40 kali bagi orang-orang kafir.
Sebagian ‘ulama’ mengatakan: “Seorang mu’min wajib mengetahui ma‘na dua kalimat syahadat. Sebab, jika tidak mengerti ma‘na dan maksud kalimat syahadat, tidak akan memberi manfaat pada orang yang mengucapkannya.”
Bagi orang yang dzikir, yang lebih utama adalah menyengaja membaca al-Qur’ān ketika mengucapkan kalimat syahadat, dengan begitu akan mendapat pahala walaupun tidak mengerti ma‘nanya. Karenanya, di awal dzikir disunnahkan mengucapkan:
فَاعْلَمْ أَنَّهُ لَا إِلهَ إِلَّا اللهُ
“Maka ketahuilah, bahwa sesungguhnya tidak ada Ilāh (sesembahan, tuhan) selain Allah.” (QS. Muḥammad [47]: 19).
Agar tetap mendapat pahala walaupun tidak mengerti ma‘nanya karena niatnya adalah membaca al-Qur’ān. Berbeda apabila di awal dzikir mengucapkan:
أَفْضَلُ الذِّكْرِ لَا إِلهَ إِلَّا اللهُ
Maka, orang yang mengucapkan harus mengetahui ma‘nanya. Jika tidak, tidak mendapatkan pahala.
Orang yang mendekati ajal sebaiknya saat dzikir tidak memanjangkan alif pada lafazh (لَا) secara berlebihan, seperti lebih dari tiga alif, ada juga yang berpendapat enam alif. Bagi orang yang sehat, lebih utama memanjangkan alif sampai sekiranya bisa memasukkan semua pendapat, walaupun lebih dari tujuh alif, dan sebaiknya bersikap tenang dan penuh ta‘zhīm saat membaca lafazh jalālah.
Orang yang akan berdzikir sebaiknya mengetahui terlebih dahulu i‘rāb dua kalimat thayyibah, yaitu:
لَا إِلهَ إِلَّا اللهُ مُحَمَّدٌ رَسُوْلُ اللهِ
Adapun kalimat yang kedua, yaitu (مُحَمَّدٌ رَسُوْلُ اللهِ) i‘rāb-nya sudah ma‘lūm, lafazh (مُحَمَّدٌ) menjadi mubtada’, i‘rāb-nya rafa‘, tandanya tanwīn. Wajib meng-idghām-kan huruf rā’ lafazh (رَسُوْلُ اللهِ). Lafazh (رَسُوْلُ اللهِ) menjadi khabar mubtada’, di-rafa‘-kan oleh mubtada’, lafazh (رَسُوْلُ) itu mudhāf, sedangkan lafazh jalālah mudhāf ilaih, i‘rāb-nya jarr. Jumlah yang terdiri dari mubtada’ dan khabar ini berupa kalām insyā’ (kalimat yang tidak mengandung kebenaran dan kedustaan bagi dzātnya) bagi orang yang masuk Islam, dan berupa kalam khabar (kalimat yang mengandung kebenaran dan kedustaan bagi dzāt-nya) bagi orang mu’min. Tidak sah keislaman orang kafir yang baru masuk Islam jika tidak mengucapkan:
مُحَمَّدٌ رَسُوْلُ اللهِ (ص)