Ini Ciptaan Allah – Rahasia Allah Di Balik Hakikat Alam Semesta

Rahasia
اللهُ
Di Balik Hakikat Alam Semesta

Diterjemahkan dari: Nihāyat-ul-‘Alam
Karya DR. M. Mutawalli asy-Sya‘rawi

Penerjemah: Amir Hamzah Fachrudin
Penerbit: PUSTAKA HIDAYAH

Ini Ciptaan Allah.

Ketika manusia melihat perkembangan dan kemajuan, seharusnya ia berpikir dengan pemikiran keimanan tentang bagaimana bisa sampai ke situ. Dan seharusnya ia memandang dengan pandangan yang dapat melihat penundukan Allah terhadap apa-apa yang ada di alam ini.

Saya pernah berkunjung ke kota San Francisco di Amerika. Dalam kesempatan itu ada maksud orang untuk mengalahkan pendapat saya tentang apa yang dapat dihasilkan oleh ilmu pengetahuan. Mereka membawa saya ke suatu hotel yang paling megah dan mewah, yang semua fasilitasnya cukup dijalankan dengan tombol-tombolnya, semua pelayanan dijalankan dengan menggunakan peralatan yang canggih. Jika saya menginginkan sesuatu – di tempat tersebut – sementara saya berada di dalam kamar, maka cukuplah bagi saya untuk menekan tombol dan memesan kopi. Dalam waktu singkat akan datang secangkir kopi, begitu juga jika saya menginginkan teh atau makanan lain yang saya inginkan. Mereka bertanya: “Bagaimana pendapat anda? Atau apa komentar anda?” Saya katakan: “Jika manusia dapat membuat yang seperti ini, lalu bagaimana keadaan surga yang diciptakan oleh kekuasaan Allah s.w.t., tentunya sangat banyak sekali kenikmatan dan kemudahan yang jauh lebih baik dari ini yang telah dibuat oleh kemampuan manusia. Fasilitas di surga tidak mungkin dapat ditiru oleh manusia sekalipun manusia memiliki kemampuan dan kemajuan yang sangat tinggi.”

Lebih dari itu, harus kita akui bahwa dalam semua proses pembuatan ada orang-orang yang ikut berjasa sebelumnya. Ada orang yang menumbuk biji kopi, ada yang menyiapkan air panasnya, ada yang menyiapkan gulanya, dan ada pula yang mengawasinya agar tidak gagal. Jika rasanya kurang pas, maka akan ditambahkan olehnya kadar tertentu dari bahan yang dirasanya kurang itu.

Jadi sebenarnya semuanya itu dibuat oleh kemampuan manusia, dan bukan semata-mata dengan tombol yang ditekan. Sebab sebelumnya ada persiapan-persiapan yang cukup lama dan melibatkan banyak orang.

Jadi, masalahnya bukan berhenti pada penekanan tombol, lalu muncullah alat yang diinginkan, sebab itu hanya berupa proses yang tampak. Dan sebenarnya manusia – walaupun berilmu dan berkemampuan sangat tinggi – tidak dapat menghadirkan sesuatu hanya dengan terlintas dalam benak lalu muncul apa yang terlintas itu di hadapannya. Itu tentunya mustahil akan terjadi dan sama sekali tidak dapat digambarkan bagaimana prosesnya. Tetapi di surga, dengan kekuasaan Allah s.w.t., cukup dengan menggambarkan dalam benak saja sudah dapat kita lihat di hadapan kita. Hal yang seperti itu tidak mungkin diciptakan oleh kemampuan manusia, namun bagi Allah adalah mudah. Itulah titik keimanan yang harus kita pegang pada setiap perkembangan dan kemajuan ilmiah.

Misalnya, ada orang yang mengatakan bahwa manusia suatu saat dapat membuat pesawat yang dapat terbang dengan kecepatan yang sangat tinggi sehingga bisa terbang ke ujung bumi dalam waktu kurang dari satu jam – ini yang belum pernah terjadi. Tetapi jika memang terjadi, maka kita harus menyambutnya dengan mengucapkan “Subḥānallāh (Maha Suci Allah).” Kita katakan, ini terjadi dengan kemampuan manusia, bagaimanakah yang akan terjadi dengan kemampuan dan kekuasaan Allah s.w.t.?

Sebenarnya, semua kemajuan ilmiah adalah penemuan dari aturan-aturan Allah di bumi ini, kemudian manusia memanfaatkannya – setelah mengetahuinya – mengolahnya sedemikian rupa. Kita berpikir, nikmat yang seperti apakah jika kita berpindah dari kemampuan manusia kepada kemampuan Allah?

Kemajuan manusia ini sebenarnya mendekatkan ingatan kita kepada kemampuan yang telah diciptakan Allah dalam ciptaan-Nya agar kita mengetahui keagungan Yang Maha Pencipta dan agar kita mengetahui bahwa yang akan kita peroleh di akhirat adalah kenikmatan-kenikmatan yang tiada bandingnya, sehingga hal-hal itu tidak menjauhkan kita dari keimanan. Bahkan sebaliknya, seharusnya hal itu mendekatkan kita kepada keimanan. Jangan sampai kita terpedaya oleh diri dan akal kita sendiri, tetapi seharusnya ia dapat menambah ketundukan kita kepada Allah s.w.t. Sayangnya, banyak manusia yang tidak menyambut perkembangan dan kemajuan ilmiah dengan pemahaman keimanan, tetapi sebaliknya mereka beranggapan bahwa manusia telah mampu menciptakan dan menghadirkan segala sesuatu di atas segala kemampuan.

Ketika manusia sampai ke bulan dan dapat mendarat di permukaan bulan, apa yang mereka tafsirkan tentang ayat ini:

Hai sekalian jin dan manusia, jika kamu sanggup menembus (melintasi) penjuru langit dan bumi, maka lintasilah. Kamu tidak dapat menembusnya melainkan dengan kekuatan.” (ar-Raḥmān: 33).

Di antara mereka ada yang mengatakan, bahwa sebenarnya manusia sudah dapat menembus penjuru-penjuru langit dan bumi, walaupun sebenarnya Allah telah membatasi jin dan manusia untuk dapat melintasi penjuru-penjuru dan bumi. Ada beberapa ilmuwan yang hendak menyederhanakan permasalahan kepada Allah s.w.t. Mereka mengatakan bahwa yang dimaksud dengan sulthān (kekuatan) pada ayat tersebut adalah kekuatan ilmu. Kita katakan kepada mereka, bahwa sebenarnya yang dimaksud dengan ayat tersebut adalah “kekuatan Allah s.w.t.”. Janganlah anda menyepelekan masalah tersebut dan jangan memudahkan kekuasaan Allah.

Sebenarnya bulan yang pernah dicapai oleh manusia adalah salah satu daerah keliling bumi, yang merupakan planet terdekat ke bumi, lalu manakah bulan yang berada di penjuru-penjuru langit dan bumi? Sesungguhnya bulan tersebut hanya salah satu planet di antara sekian banyak planet langit dunia. Dan sesungguhnya langit-langit itu semuanya ada tujuh. Setiap langit mempunya cakrawala yang mahaluas, tidak ada yang mengetahuinya kecuali Penciptanya. Firman Allah menyatakan:

Sesungguhnya Kami telah menghias langit yang terdekat dengan hiasan, yaitu bintang-bintang.” (QS. ash-Shāffāt: 6).

Semua yang dapat kita saksikan dari atas bumi adalah hanya sebagian dari apa yang ada di langit bumi, langit yang paling dekat ke bumi. Dan sebenarnya masih banyak sekali bintang-bintang yang jaraknya jutaan tahun kecepatan cahaya. Seandainya manusia dapat terbang dengan kecepatan cahaya, kecepatan yang sangat cepat tentunya, barulah ia akan sampai ke bintang-bintang tersebut setelah beberapa juta tahun. Dan, tentunya, walaupun semua kekuatan yang ada di bumi ini dihimpun untuk menolakkan manusia atau seorang manusia ke angkasa dengan kecepatan cahaya, belumlah cukup, dan manusianya pun tidak akan tahan dengan kecepatan itu. Itulah yang kita ketahui.

Sebenarnya, nun jauh di sana, masih banyak sekali bintang-bintang dan matahari-matahari yang tidak pernah kita ketahui. Bisa kita bayangkan, setelah, manusia mampu membuat teleskop untuk melihat ke luar angkasa dengan jarak yang seperti demikian di langit bumi, seperti apakah luas yang sebenarnya seluruh penjuru-penjuru langit itu? Seperti apakah jauhnya jarak antara bulan dengan bumi jika dibandingkan dengan luas seluruh cakrawala langit? Tentunya tidak ada apa-apanya. Dan sudah tentu tidak akan ada seorang pun, bahkan jin pun, yang mampu menembusnya kecuali dengan kekuatan Allah s.w.t.

Mengapa Allah menyebutkan dalam ayat tadi “Illā bisulthān” dan tidak mengakhiri ayat-Nya pada kata “fanfudzū” (Maka tembuslah!). Jawabnya, seandainya ayat yang mulia itu mengakhiri ayat-Nya pada pernyataan kemustahilan jin dan manusia untuk menembus penjuru-penjuru langit, akan menimbulkan keraguan pada mu‘jizat Rasūlullāh s.a.w., yaitu ketika naik ke langit dengan kekuatan Allah s.w.t. Hanya Rasūlullāh s.a.w. yang tidak disertai oleh satu pun di antara makhluk Allah, baik malaikat, jin, manusia maupun makhluk lainnya yang pernah mencapai Sidrat-ul-Muntahā, yaitu suatu tempat yang tidak diketahui oleh makhluk Allah, bahkan malaikat yang dekat sekalipun.

Firman Allah yang menyebutkan “Lā Tanfudzūna illā bisulthān” (“Kamu tidak dapat menembusnya kecuali dengan kekuatan”) menguatkan kebenaran mu‘jizat naiknya Rasūlullāh s.a.w. ke Sidrat-ul-Muntahā, yaitu bahwa beliau dapat menembusnya dengan kekuatan Allah s.w.t. Pada peristiwa itu, Rasūlullāh s.a.w. disertai oleh Jibrīl melintasi langit demi langit hingga mencapai Sidrat-ul-Muntahā, Jibrīl berkata kepada Rasūlullāh s.a.w.: “Sekiranya aku berangkat (sendiri) tentu akan terbakarlah aku, dan seandainya engkau, wahai Muḥammad, berangkat (sendiri) tentu akan terbakarlah engkau. Semua ini terjadi dengan kekuatan Allah s.w.t. dan hanya dengan kekuatan-Nya saja.” Karena itu, jasad Rasūlullāh s.a.w. berubah setiap kali naik dari satu langit ke langit berikutnya agar tahan terhadap cahaya Ilahi yang ada pada langit-langit tersebut.

Kita katakan kepada mereka yang mengatakan bahwa yang dimaksud pada ayat tadi adalah “kekuatan ilmu”: “Seperti apakah kekuatan ilmu dibanding kekuatan dan kekuasaan Allah s.w.t.?” Allah telah berfirman:

Dan tidaklah kamu diberi ilmu kecuali sedikit.” (QS. al-Isrā’: 85).

Apakah ilmu yang sedikit itu yang dapat menembuskan manusia ke langit? Tentu saja tidak. Karena itu, setiap orang yang menafsirkan ayat tersebut dengan “kekuatan ilmu” berarti telah melampaui batas, sebab yang sebenarnya adalah kekuatan Allah s.w.t. yang pernah mengantarkan Nabi kita Muḥammad s.a.w. sampai ke Sidrat-ul-Muntahā dan menembusnya.

Komentar

Belum ada komentar. Mengapa Anda tidak memulai diskusi?

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *