Syaikh Ibrāhīm al-Laqqānī berkata:
وَ وَاجِبٌ إِيْمَانُنَا بِالْمَوْتِ | وَ يَقْبِضُ الرُّوْحَ رَسُوْلُ الْمَوْتِ. |
“Iman kita tentang kematian wajib adanya dan rasul-ul-maut lah yang akan menggenggam ruh itu.”
Lafazh (وَاجِبٌ) menjadi khabar muqaddam, sedangkan lafazh (إِيْمَانُنَا) menjadi mubdata’ mu’akhkhar.
Meyakini adanya kematian bagi jasad wajib hukumnya, dan yang mencabut ruh adalah malaikat pencabut nyawa, ya‘ni malaikat yang diberi tugas oleh Allah untuk mencabut nyawa.
Setiap mu’min wajib meyakini dan membenarkan adanya kematian jasmani pada setiap makhluq. Berbeda dengan keyakinan kafir Dahriyyah dan kafir Thaba‘iyyah yang berkeyakinan bahwa kematian disebabkan kesalahan tabiat, bukan karena qudrah Allah.
Matinya jasad karena ruhnya dicabut oleh malaikat pencabut nyawa. Sedangkan ruh tidak akan pernah mati dan tidak akan rusak sedikit pun hingga kelak bertemu dengan jasadnya kembali.
Ketika mencabut ruh orang-orang mu’min, malaikat pencabut nyawa menampakkan dirinya menjadi sosok yang menyenangkan hati. Sebaliknya, jika yang dicabut adalah ruh orang kafir, ia akan menampakkan diri menjadi sosok yang sangat buruk, menakutkan dan juga membawa kepedihan pada tiap hati orang kafir yang akan dicabut ruhnya.
Maksud perkataan Syaikh Ibrāhīm al-Laqqānī berupa lafazh (وَ يَقْبِضُ) adalah ruh itu jauhar. Sebab, jika bukan jauhar, tidak akan bisa dicabut dan dipegang. Adapun menurut madzhab Ahl-us-Sunnah wal-Jamā‘ah, ‘ulamā’ ahli hadits, ‘ulamā’ ahli fiqih, dan para Shūfī, rūḥ adalah jismin lathīfun (jisim lembut) yang bersemayam di dalam jasad, sebagaimana merasuk dan menyatunya air atau getah kayu di dalam kayu. Ini berbeda dengan kaum Mu‘tazilah yang berpendapat bahwa ruh bukanlah jisim juga bukan ‘ardh (sifat), tetapi hanyalah jauhar yang menempel pada tubuh, tidak di dalam ataupun di luarnya tubuh. Wallāhu a‘lam. Di bagian belakang in sya’ Allah akan dijelaskan tentang pembahasan rūḥ. (1531).
Kesimpulannya, malaikat maut diutus untuk mencabut semua rūḥ, baik rūḥ manusia, hewan maupun rūḥ malaikat yang lain, terakhir malaikat maut mencabut rūḥnya sendiri.
Karena kematian adalah sakit yang paling parah, puncak kesedihan dan kesusahan, maka hendaknya seorang mu’min bersungguh-sungguh dalam melakukan ‘amal kebaikan, agar bisa menemui ajalnya saat melakukan ‘amal kebaikan, sehingga rūḥnya bisa keluar dengan mudah tanpa mengalami kesakitan. Hendaknya juga istiqāmah melakukan shalat sunnah dua rakaat telah shalat Maghrib setiap malam Jum‘at; setelah membaca surah al-Fātiḥah, membaca surah az-Zalzalah sebanyak 17 kali, karena hal itu dapat memudahkan terlepasnya rūḥ dan meringankan sakarat-ul-maut. (1542).
Syaikh Ibrāhīm al-Laqqānī berkata:
وَ مَيِّتٌ بِعُمْرِهِ مَنْ يُقْتَلُ | وَ غَيْرُ هذَا بَاطِلٌ لَا يُقْبَلُ. |
“Orang yang terbunuh mati karena habis umurnya, pendapat selain ini dianggap batil juga tidak diterima.”
Lafazh (مَيِّتٌ) menjadi khabar muqaddam, lafazh (مَنْ يُقْتَلْ) menjadi mubtada’ mu’akhkhar.
Orang yang mati karena dibunuh oleh orang lain atau hewan, semuanya mati karena telah datang ajalnya dan habis batas usia hidupnya, adapun keyakinan selain ini tidak bisa diterima.
Wajib meyakini bahwa orang mati disebabkan sudah datang ajalnya dan habis batas usia hidupnya, walaupun kematiannya dibunuh, bukan berarti orang yang membunuh tersebut bisa memutus ajal seseorang, bukan seperti itu. Sebab, tidak ada seorang pun yang bisa mempercepat atau memperlambat ajal seseorang. Hal ini adalah i‘tiqad orang-orang Ahl-us-Sunnah wal-Jamā‘ah. Sedangkan kaum Mu’tazilah berpendapat bahwa orang yang dibunuh tidak mati karena telah datang ajalnya. Sebab, pembunuhan adalah perbuatan manusia sedangkan kematian adalah perbuatan Allah s.w.t. Oleh karena itu, pembunuhan yang memutus ajalnya. Inilah keyakinan kaum Mu’tazilah, suatu keyakinan yang sesat.