347. Keempat Imām madzhab (Mālik, Abū Ḥanīfah, Aḥmad bin Ḥanbal, dan asy-Syāfi‘ī) sepakat bahwa perempuan tidak boleh menjadi imām laki-laki dalam shalat fardhu. (5282).
348. Mereka berbeda pendapat tentang bolehnya perempuan menjadi Imam laki-laki dalam shalat Tarawih saja.
Aḥmad membolehkan dengan syarat dia berada di barisan paling belakang. Akan tetapi imam-imam lainnya tidak membolehkan. (5293).
349. Mereka berbeda pendapat, apakah orang yang Ummi boleh menjadi Imām orang yang bisa membaca al-Qur’ān? Ummi adalah orang yang tidak bisa membaca surah al-Fātiḥah dengan baik.
Abū Ḥanīfah berkata: “Shalat keduanya batal.”
Mālik dan Aḥmad berkata: “Yang batal hanya shalatnya orang yang pandai membaca al-Qur’ān.”
Asy-Syāfi‘ī berkata: “Shalatnya orang yang Ummi sah.”
Berkenaan dengan shalatnya orang yang pandai membaca al-Qur’ān, dalam hal ini ada dua pendapat Imām asy-Syāfi‘ī. Qaul Jadīd mengatakan seperti pendapat Mālik dan Aḥmad, sementara Qaul Qadīm mengatakan bahwa hukumnya sah.
Ada pula pendapat ketiga Imām asy-Syāfi‘ī bahwa hukumnya sah untuk shalat yang bacaannya lirih.”
Hal ini berdasarkan ucapannya: “Ma’mūm tidak wajib membaca ketika Imām membaca dengan suara keras.” Adapun orang yang tidak bisa membaca surah al-Fātiḥah dengan baik, bila dia bisa membaca surah lainnya dengan baik maka shalatnya sah.
Tentang orang yang tidak bisa membaca surah al-Fātiḥah dengan baik dan Imam juga tidak bisa membaca surah al-Fātiḥah, dalam hal ini Abū Ḥanīfah berkata: “Shalatnya sah meskipun dia Ummi. Hanya saja yang lebih utama adalah mendahulukan orang yang bisa membaca surah al-Fātiḥah dengan baik; bila tidak maka shalatnya tidak sah.” (5304).
350. Mereka berbeda pendapat tentang orang yang paling berhak menjadi imām, apakah yang paling paham fikih atau yang paling bagus bacaannya?
Abū Ḥanīfah, Mālik dan asy-Syāfi‘ī berkata: “Yang paling paham fikih (paling paham agamanya) dan bagus bacaan al-Fātiḥah-nya lebih layak menjadi imām.”
Aḥmad berkata: “Orang yang paling bagus bacaannya dan bisa membaca seluruh al-Qur’ān dengan baik serta mengetahui hukum-hukum shalat lebih berhak menjadi imām, meskipun yang lainnya lebih paham fikih daripada al-Qur’ān (bacaannya kurang bagus).” (5315).
351. Mereka berbeda pendapat bila orang fasik yang menjadi imām.
Abū Ḥanīfah dan asy-Syāfi‘ī berkata: “Shalatnya sah.”
Mālik berkata: “Jika kefasikannya bukan karena ta’wil maka shalatnya tidak sah, sedangkan bila kefasikannya karena ta’wil, bila waktu shalatnya masih ada maka harus diqadha’.”
Menurut Aḥmad, dalam hal ini ada dua riwayat. Yang paling masyhur adalah bahwa shalatnya tidak sah.” (5326).
352. Mereka sepakat bahwa orang yang shalat sunnah boleh ma’mūm kepada orang yang shalat fardhu. (5337).
353. Mereka berbeda pendapat, apakah orang yang shalat fardhu boleh ma’mum kepada orang yang shalat sunnah?
Abū Ḥanīfah, Mālik, dan Aḥmad berkata: “Tidak boleh.”
Mereka juga mengatakan: “Tidak sah orang yang shalat Zhuhur ma’mūm kepada orang yang shalat ‘Ashar. Juga tidak sah orang yang shalat Zhuhur kemarin ma’mūm kepada orang yang shalat Zhuhur hari ini. Juga tidak sah orang yang shalat fardhu tertentu ma’mūm kepada orang yang shalat fardhu lain.”
Asy-Syāfi‘ī berkata: “Hukumnya dibolehkan.” (5348).