Ilmu Ladunni dan Nabi Khidhir – Tarekat dalam Timbangan Syariat

TAREKAT dalam Timbangan SYARIAT
Jawaban atas Kritik Salafi Wahabi

Penulis: Nur Hidayat Muhammad
 
Penerbit: Muara Progresif

ILMU LADUNNI DAN NABI KHIDHIR

 

Klaim Salafī Wahhābī bahwa ilmu ladunni hanya dimiliki oleh Nabi Khidhir adalah ucapan tanpa dalil, meski sebagian kalangan memastikan demikian. Bahkan, pernyataan tersebut secara pasti berseberangan dengan penjelasan ‘ulamā’-‘ulamā’ ahl-us-sunnah, bahwa ‘ilmu ladunnī (futūḥ atau ‘ilmu wahbī) bisa saja diperoleh seorang hamba yang shalih yang bersih jiwa dan hatinya. (301)

Klaim tersebut juga bertentangan dengan ucapan tokoh pujian Salafī Wahhābī, Nu‘mān al-Alūsī, dalam muqaddimah Jilā’-ul-‘Ainaini yang menyebut Ibnu Taimiyyah dengan sang pemilik ilmu ladunni.

Adapun dalil dan bukti bahwa ilmu tersebut bisa saja diperoleh oleh hamba yang taat dan bersih adalah ayat dan beberapa hadits berikut:

وَ اتَّقُوا اللهَ وَ يُعَلِّمُكُمُ اللهُ وَ اللهُ بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيْمٌ.

Bertaqwalah kepada Allah, dan Allah akan memberi (mengajarkan) kalian ilmu. Allah adalah Dzāt Yang Mengetahui segala sesuatu.” (QS. al-Baqarah: 282).

Hadits riwayat Muslim dalam Shaḥīḥ-nya:

عَنِ النَّبِيِّ (ص) أَنَّهُ كَانَ يَقُوْلُ قَدْ كَانَ يَكُوْنُ فِي الْأُمَمِ قَبْلَكُمْ مُحَدِّثُوْنَ فَإِنْ يَكُنْ فِيْ أُمَّتِيْ مِنْهُمْ أَحَدٌ فَإِنَّ عُمَرَ بْنَ الْخَطَّابِ مِنْهُمْ قَالَ ابْنُ وَهْبٍ تَفْسِيْرُ مُحَدِّثُوْنَ مُلْهَمُوْنَ.

Dari Nabi Muḥammad s.a.w., bahwa beliau bersabda: “Di dalam umat-umat sebelum kalian ada para muhaddatsūn, maka jika ada satu dari umatku yang termasuk di dalamnya, maka sesungguhnya ‘Umar bin Khaththāb adalah salah satu dari mereka.” Ibnu Wahb mengatakan “Tafsir Muhaddatsūn adalah orang-orang yang diberi ilham.”

Hadits di atas mengantarkan kepada satu pemahaman bahwa ilham bisa saja diperoleh oleh selain Nabi Khidhir, seperti Sayyidinā ‘Umar, dll.

Sabda Rasūlullāh s.a.w. dengan sanad shaḥīḥ:

اللهُمَّ إنِّيْ عَبْدُكَ وَ ابْنُ أَمَتِكَ نَاصِيَتِيْ بِيَدِكَ مَاضٍ فِيَّ حُكْمُكَ عَدْلٌ فِيَّ قَضَاؤُكَ أَسْأَلُكَ بِكُلِّ اسْمٍ هُوَ لَكَ سَمَّيْتَ بِهِ نَفْسَكَ أَوْ أَنْزَلْتَهُ فِيْ كِتَابِكَ أَوْ عَلَّمْتَهُ أَحَدًا مِنْ خَلْقِكَ أَوْ اسْتَأْثَرْتَ بِهِ فِيْ عِلْمِ الْغَيْبِ عِنْدَكَ أَنْ تَجْعَلَ الْقُرْآنَ رَبِيْعَ قَلْبِيْ وَ نُوْرَ صَدْرِيْ وَ جِلَاءَ حُزْنِيْ وَ ذِهَابَ هَمِّيْ. (رواه أحمد و ابن حبان و غيرهما)

Wahai Allah, sungguh aku adalah hamba-Mu dan anak dari hamba perempuan-Mu, ubun-ubunku berada di genggaman-Mu, hukum-Mu berlaku atas diriku, keputusan-Mu adil bagiku. Aku memohon kepada-Mu dengan semua nama yang Engkau buat nama untuk-Mu, atau Engkau turunkan di dalam kitab-Mu, atau Engkau ajarkan kepada salah seorang makhluk-Mu, atau Engkau sendiri yang mengetahui dalam ilmu ghaib-Mu, semoga Engkau menjadikan al-Qur’ān sebagai pelita hatiku, cahaya di jantungku penghilang kesusahan dan gundahku.” (HR. Aḥmad dan Ibnu Ḥibbān).

Hadits dha‘īf riwayat Abū Nu‘aim al-Ashfahānī dalam Ḥilyat-ul-Auliyā’ dari Anas: (312).

مَنْ عَمِلَ بِمَا عَلِمَ وَرَثَهُ اللهُ تَعَالَى عِلْمَ مَا لَمْ يَعْلَمْ.

Siapa yang mengamalkan apa yang dia ketahui, maka Allah akan memberinya ilmu yang dia tidak ketahui.” (HR. Abū Nu‘aim).

Ibnu Ḥajar al-Haitamī pernah ditanya tentang kandungan hadits di atas dan beliau menjawab: “Sesuai apa yang dikatakan oleh ‘Izz-ud-Dīn bin ‘Abd-is-Salām bahwa sesungguhnya orang yang mau mengamalkan apa yang dia ketahui baik wajib syar‘i, atau sunnah atau menjauhi makruh dan haram, maka Allah akan memberinya ilmu ilāhī yang sebelumnya dia tidak mengetahuinya.” (323).

Ucapan ‘Alī al-Kisā’ī: (334)

قَالَ الدَّمِيْرِيُّ: وَ هذِهِ الْمَسْأَلَةُ الَّتِيْ سَأَلَ عَنْهَا أَبُوْ يُوْسُفَ الْكِسَائِيُّ لَمَّا ادَّعَى أَنَّ مَنْ تَبَحَّرَ فِيْ عِلْمٍ اهْتَدَى بِهِ إِلَى سَائِرِ الْعُلُوْمِ، فَقَالَ لَهُ: أَنْتَ إِمَامٌ فِي النَّحْوِ وَ الْأَدَبِ فَهَلْ تَهْتَدِيْ إِلَى الْفِقْهِ؟ فَقَالَ: سَلْ مَا شِئْتَ، فَقَالَ: لَوْ سَجَدَ سُجُوْدَ السَّهْوِ ثَلَاثًا هَلْ يَلْزَمُهُ أَنْ يَسْجُدَ؟ قَالَ: لَا، لِأَنَّ الْمُصَغَّرَ لَا يُصَغَّرُ.

Ad-Damīrī berkata: “Masalah ini adalah masalah yang pernah ditanyakan oleh Abū Yūsuf (Ḥanafiyyah) kepada ‘Alī al-Kisā’ī ketika al-Kisā’ī pernah mendakwahkan bahwa siapa yang dalam satu ilmu luas layaknya samudra maka dia akan bisa pada ilmu-ilmu yang lain. Abū Yūsuf bertanya: “Anda adalah imam dalam bidang nahwu dan sastra, apakah anda bisa fiqh juga? al-Kisā’ī menjawab: “Tanyalah yang anda suka!” Kemudian Abū Yūsuf bertanya: “Andai ada orang yang sudah melakukan sujud sahwi tiga kali, apakah dia wajib bersujud untuk kedua kali?” al-Kisā’ī menjawab: “Tidak, karena sesuatu yang sudah diperkecil (tashghir) tidak boleh diperkecil lagi.”

Ucapan al-Kisā’ī tersebut menunjukkan bahwa siapa yang dalam satu disiplin ilmu agama luas bak samudra, maka dia akan mendapat ilmu ladunni dengan mampu mengarungi ilmu-ilmu yang lain.

Ada kisah yang diceritakan oleh al-Ḥabīb ‘Abdullāh ‘Alawī al-Ḥaddād tentang seseorang yang semula bodoh kemudian menjadi alim lewat ilmu wahbī dan ilmu ilāhī (ilmu ladunni) di bidang ushūl-ud-dīn dan cabang-cabangnya. Mereka adalah Sa‘īd bin ‘Īsā al-Āmudī, Aḥmad ash-Shayyād, ‘Alī al-Ahdal dan Abul-Ghaits. (345).

Catatan:

  1. 30). ‘Alī ash-Shabūnī, at-Tibyānu fī ‘Ulūm-il-Qur’ān (Surabaya: Dar Ihya al-Kutub, 1985), hal. 172.
  2. 31). Imām ash-Shāwī menisbatkan ucapan tersebut kepada Imām Mālik. Lihat: Ḥāsyiyatu Tafsīr-ul-Jalālain (Surabaya: Haramain, tth), juz I, hal. 182.
  3. 32). Aḥmad bin Ḥajar al-Haitamī, op.cit. hal. 203-204.
  4. 33). Disebutkan dalam kitab-kitab Fiqh Syāfi‘iyyah dalam bab sujud sahwi.
  5. 34). ‘Abdullāh bin ‘Alawī al-Ḥaddād, an-Nafā’is-ul-‘Ulwiyyah (Hadhramaut: Darun Nafa’is, tth), hal. 36.

Komentar

Belum ada komentar. Mengapa Anda tidak memulai diskusi?

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *