Syaikh Ibrāhīm al-Laqqānī melanjutkan pembahasan tentang ilmu kenabian. Beliau berkata:
وَ لَمْ تَكُنْ نُبُوَّةٌ مُكْتَسَبَهْ | وَ لَوْ رَقَى فِي الْخَيْرِ أَعْلَى عَقَبَهْ. |
بَلْ ذَاكَ فَضْلُ اللهِ يُؤْتِيْهِ لِمَنْ | يَشَاءُ جَلَّ اللهُ وَاهِبُ الْمِنَنْ. |
“Dan tidaklah pangkat kenabian adalah sesuatu yang diusahakan walaupun seseorang telah naik dalam kebaikan dengan seinggi-tinggi bukit yang terjal.
Melainkan itu (pangkat kenabian) adalah karunia Allah yang diberikannya kepada siapapun yang Dia kehendaki. Maha Besar Allah Dzāt yang menganugerahi segala pemberian.”
Ilmu Kenabian tidak bisa dicapai dengan cara belajar dan mujāhadah (memerangi hawa-nafsu) dengan bersungguh-sungguh dalam beribadah. Walaupun seorang hamba melakukan ibadah yang sangat berat, seperti berat dan sulitnya orang yang menaiki gunung yang sangat tinggi, tetapi tetap tidak bisa menjadikannya seorang Nabi. Ilmu kenabian murni anugerah Allah, maksudnya murni pemberian Allah, bukan sebagai imbalan amal kebaikan. Ilmu kenabian diberikan pada manusia yang dikehendaki oleh-Nya, tidak bisa diminta juga tidak bisa ditolak, Allah suci dari memberikan sesuatu tanpa kehendak-Nya, Allah adalah Dzāt yang memberikan sesuatu tanpa kehendak-Nya, Allah adalah Dzāt yang memberikan sesuatu bukan sebagai imbalan amal hamba-Nya.
Perkataan Syaikh Ibrāhīm al-Laqqānī dalam dua bait tersebut menolak pemahaman para filsuf yang meyakini bahwa ilmu kenabian bisa dihasilkan dengan usaha, seperti senantiasa menyendiri, beribadah, dan mujāhadah (memerangi hawa-nafsu), dengan begitu hatinya akan bersinar dan bersih, dan akan bisa menghasilkan ilmu kenabian. Seperti itulah pandangan para filsuf. (1071).
‘Ulamā’ Ahl-us-Sunnah wal-Jama‘ah dan seluruh orang muslim telah sepakat bahwa ilmu kenabian adalah kekhususan dari Allah, maksudnya kekhususan seorang hamba dengan menerima wahyu dari Allah, wahyu syariat dan taklīf (tuntutan) berupa perintah dan larangan, baik diperintahkan untuk menyampaikan kepada kaumnya atau tidak. Jika diperintahkan untuk menyampaikan kepada kaumnya maka dinamakan rasūl, jika tidak maka dinamakan nabi. (1082) Sebab, jika ilmu kenabian bisa diraih dengan usaha, maka akan muncul nabi setelah Nabi Muḥammad, jika seperti itu maka akan menetapkan kesalahan atau kebohongan al-Qur’ān, karena Allah telah berfirman:
مَّا كَانَ مُحَمَّدٌ أَبَا أَحَدٍ مِّنْ رِّجَالِكُمْ وَ لكِنْ رَّسُوْلَ اللهِ وَ خَاتَمَ النَّبِيِّيْنَ
“Muḥammad itu sekali-kali bukanlah bapak dari seorang laki-laki di antara kamu, tetapi dia adalah Rasūlullāh dan penutup nabi-nabi.” (QS. al-Aḥzāb [33]: 40).
Kesalahan atau kebohongan al-Qur’ān adalah sesuatu yang mustahil.
Adapun ilmu wilāyah, maka ada dua jalan, jika wilāyah berma‘na melakukan perintah dan menjauhi larangan, atau yang biasa dinamakan wilāyah ‘āmmah, artinya wali ‘awam, maka ilmunya bisa diusahakan dan setiap manusia bisa mendapatkannya.
Jika wilayah berma‘na ‘athāyā rabbānī (pemberian tuhan) seperti ilmu laduni, bisa melihat Lauḥ-ul-Maḥfūzh dan alam ghaib, maka tidak bisa diusahakan, sama seperti ilmu kenabian, tidak bisa dicapai dengan mujāhadah maupun riyādhah (1093). Wilāyah seperti ini dinamakan wali khawwāsh. (1104).
Ilmu kenabian dan ilmu wali khawwāsh merupakan anugerah dari Allah, tidak bisa dicapai dengan amal, murni anugerah Allah, bukan sebagai imbalan dari amal dan mujāhadah. Oleh karena itu, mustahil apabila ada suatu pemberian tidak berdasarkan kehendak-Nya. Allah adalah Dzāt yang memberi sesuatu bukan sebagai imbalan atas amal kebaikan.