Ikhlash – Kitab-ush-Shidq

JALAN CINTA MENUJU ALLAH
 
Dari naskah ath-Tharīqu ilā Allāh atau Kitāb ash-Shidq
 
Oleh: Abū Sa‘īd al-Kharrāz
Penerbit: Pustaka Shufi

BAGIAN SATU

IKHLAS

 

Adapun kewajiban yang harus kamu tunaikan adalah beriman kepada Allah s.w.t., mengetahui, mengakui dan bersaksi bahwa tiada tuhan melainkan Dia, Yang Esa dan tiada sekutu bagi-Nya. Dialah Yang Pertama (al-Awwal), Yang Penghabisan (al-Ākhir), Yang Tampak (azh-Zhāhir), Yang Tersembunyi (al-Bāthin), Sang Pencipta (al-Khāliq), Yang Menghidupkan (al-Mushawwir), Yang Pemberi rezeki (ar-Razzāq), Yang Menghidupkan (al-Muḥyī), Yang Mematikan (al-Mumīt), dan yang kepada-Nya kembali segala sesuatu. Selain itu, kamu pun harus meyakini bahwa Nabi Muḥammad s.a.w. adalah hamba Allah dan utusan-Nya yang membawa risalah kebenaran dari Allah yang Maha Benar (al-Ḥaqq), dan begitu juga para nabi. Dengan kebenaran pula, mereka menyampaikan misi kenabian dan berusaha semaksimal mungkin menasihati umat manusia. Di samping itu, kamu pun harus meyakini bahwa Surga adalah benar, kebangkitan (ba‘ts) juga benar, dan segala perkara bergantung kepada kehendak Allah s.w.t. Dialah yang mengampuni dan menyiksa siapa pun yang dikehendaki-Nya.

Oleh karena itu, semua hal yang telah disebutkan harus menjadi keyakinanmu dan mesti diikatkan dengan lisan tanpa ada keraguan lagi, sehingga hatimu bisa menerima dengan tenang serta mantap segala hal yang kamu percayai dengan bāthin dan yang kamu akui dengan ucapan. Selain itu, kamu pun tidak boleh menentang segala ajaran yang diturunkan oleh Allah s.w.t. melalui Nabi Muḥammad s.a.w. (11), baik dengan cara meragukan apa-apa yang dibawa oleh beliau, mau pun menyimpang dari tradisi Nabi dan para sahabatnya yang telah memperoleh petunjuk dari beliau. Sebab para sahabat adalah cermin beliau, dan juga sekaligus tauladan bagi orang-orang yang datang sesudahnya. Mereka adalah orang-orang yang menerima petunjuk Allah s.w.t. Kemudian, kamu pun harus patuh kepada para tābi‘īn dan ulama, dan menggabungkan diri dengan kelompok terbesar dari umat Islam, serta berlaku ikhlas hanya demi Allah s.w.t., guna memperoleh kadar keislaman, keimanan, dan ketauhidan yang sempurna, sebagaimana yang disinyalir oleh firman Allah s.w.t. berikut ini:

فَمَنْ كَانَ يَرْجُوْ لِقَاءَ رَبِّهِ فَلْيَعْمَلْ عَمَلًا صَالِحًا وَ لَا يُشْرِكْ بِعِبَادَةِ رَبِّهِ أَحَدًا

Barang siapa yang berharap bisa bertemu Tuhannya, maka hendaklah beramal saleh dan tidak menjadikan siapa pun sebagai sekutu dalam menyembah Tuhanmu.” (al-Kahf: 110)

Menurut sebagian ahli tafsir (al-mufassirūn), maksud ayat di atas menunjukkan adanya keharusan bagi seorang hamba untuk memfokuskan perhatiannya hanya pada Allah s.w.t. dalam segala perbuatan dan tingkah lakunya, baik lahir maupun bāthin. Dia tidak boleh mengharapkan apa pun, kecuali karena dan kepada Allah s.w.t. Dia harus mengendalikan diri dan hatinya dengan ‘ilmu, memelihara kehendaknya dengan baik, menyerahkan segala urusannya hanya kepada Allah, tidak menginginkan penghargaan dari orang lain, dan tidak merasa bangga dengan perbuatannya jika diketahui oleh orang lain. Dan jika salah satu keinginan negatif tersebut tiba-tiba terlintas dalam hatinya, maka ia segera menghentikannya dengan penuh perasaan menyesal.

Selain itu, ia pun tidak pernah merasa tenang dan gembira apabila mendapat pujian dari orang lain, bahkan ia akan segera memuji Allah s.w.t. yang telah menutup pintu kejahatan dengan memberi dirinya taufīq dan berkenan memperlihatkan kebaikannya kepada orang lain. Di samping itu, ia pun harus selalu merasa khawatir atas perbuatan salahnya atau kelakuan buruknya yang ditutupi Allah s.w.t. dari pandangan orang lain, meski pun semua itu tidak akan terlepas dari pengetahuan-Nya. Dengan demikian, pada saat itu, ia akan senantiasa introspeksi diri, karena khawatir kalau batinnya ternyata jauh lebih buruk daripada lahirnya. Sebab ia menyadari betul adanya sebuah hadits yang menyatakan: “Jika hati manusia lebih buruk dari lahirnya, maka itulah kezhaliman. Namun, jika hati dan lahirnya seimbang, maka itulah keadilan. Akan tetapi, jika hatinya lebih baik daripada lahirnya, maka itu adalah kondisi manusia yang paling utama.”

Lebih dari itu, seorang hamba harus berusaha semaksimal mungkin merahasiakan segala perbuatan baiknya, (22) sehingga tidak ada seorang pun yang mengetahuinya, kecuali Allah s.w.t. Sebab yang demikian itu akan lebih memperoleh keridaan Allah s.w.t., dan lebih utama memperoleh pahala yang berlipat ganda. Di samping juga, karena perbuatan yang dirahasiakan akan lebih dekat kepada keselamatan, lebih gampang menghindari tipuan musuh, dan lebih jauh dari tertimpa segala bencana. Oleh karena itu, Sufyān ats-Tsaurī r.a. berkata: “Aku tidak perduli dengan semua perbuatanku yang terlihat oleh orang lain?” Keharusan ini dikuatkan pula oleh sabda Nabi Muḥammad s.a.w.:

إِنَّ عَمَلَ السِّرِّ يَفْضُلُ عَلَى عَمَلِ الْعَلَانِيَةِ سَبْعِيْنَ ضَعِيْفًا

Sesungguhnya perbuatan yang rahasia lebih utama daripada perbuatan yang terlihat sebanyak tujuh puluh kali lipat.” (33)

Hadits lain menyatakan: “Tatkala seorang hamba melakukan suatu ‘amal baik secara rahasia, maka Setan akan menjauhinya selama dua puluh tahun. Setelah itu, ia akan datang lagi merayu si hamba agar memperlihatkan perbuatan tersebut dan menyebut-nyebutkannya di hadapan orang lain. Jika tergoda, maka ia akan dipindahkan dari daftar orang-orang yang ber‘amal secara rahasia dan dimasukkan ke dalam orang-orang yang ber‘amal secara terang-terangan, sehingga pahala dan keutamaan ‘amalnya akan berkurang. Dan jika si hamba terus-menerus menyebutkan ‘amal perbuatannya, hingga diketahui oleh orang banyak dan disebut-sebut oleh mereka, dan dirinya merasa puas serta senang terhadap pujian tersebut, maka amalannya menjadi riyā’ dan tidak akan diterima oleh Allah s.w.t., sebab perbuatan tersebut bertentangan dengan sikap ikhlas.” Oleh karena itu, ikhlas dalam ber‘amal adalah pokok utama yang harus diketahui setiap orang dan tidak boleh diabaikan. Sebab seorang hamba akan semakin bertambah rasa ikhlasnya dalam ber‘amal, apabila ia telah mengetahui tiga hal pokok yang telah disebutkan sebelumnya.

T: “Adakah yang selainnya?”

J: “Lebih dari itu, seorang hamba seyogianya tidak mengharapkan apa pun, kecuali dari Allah s.w.t. Tidak takut, kecuali kepada-Nya. Tidak berhias diri, kecuali karena-Nya. Tidak memperdulikan celaan orang lain ketika melakukan perbuatan yang diridai Allah s.w.t., atau ketika menjalankan perintah dan anjuran yang diberikan oleh kekasih-Nya, yaitu Nabi Muḥammad s.a.w. Dan kalau semua cabang ikhlas disebutkan, tentu akan banyak sekali, tetapi yang telah dipaparkan di atas telah mencukupi untuk menjadi pegangan para murīd yang menuju ke jalan Allah.”

Catatan:

  1. 1). Hal ini sesuai dengan firman Allah s.w.t.: “Demi Tuhanmu! Mereka belum dianggap beriman, sebelum meminta keputusanmu atas perkara-perkara yang mereka perselisihkan, kemudian hati mereka tidak berkeberatan tehadap keputusan yang engkau berikan dan mereka mematahuinya dengan sungguh-sungguh.” (an-Nisā’: 65)
  2. 2). Yaitu perbuatan yang tidak diwajibkan untuk diperlihatkan oleh Syara‘. Adapun ‘ibādah-‘ibādah seperti melaksanakan haji, ‘umrah, salat berjamaah, dan lain sebagainya, diwajibkan untuk ditampakkan oleh Syara‘. Sedangkan yang selian itu, seperti memberi sedekah dan mengerjakan kebaikan lainnya, maka jika ia adalah seorang pemimpin dan bermaksud mendorong masyarakat untuk melakukan perbuatan baik, wajib baginya memperlihatkan ‘amalan tersebut sebagai sugesti bagi masyarakatnya. Hal ini sebagaimana yang disabdakan oleh Nabi Muḥammad s.a.w.: “Barang siapa memberikan tauladan yang baik, ia akan memperoleh pahalanya dan pahala orang-orang yang mengikutinya hingga Hari Kiamat. Dan barang siapa memberikan tauladan yang buruk, ia akan memperoleh dosanya dan dosa orang-orang yang mengikutinya hingga Hari Kiamat.” Dengan demikian, mempertontonkan kebaikan dengan maksud mendorong orang lain agar mau mengikutinya adalah diwajibkan. Dengan syarat, hatinya tetap terfokus hanya kepada Allah s.w.t. dan tidak merasa diragukan oleh kehendak nafsunya. Indikasinya, manakala si hamba di saat sendirian masih bisa menikmati dan merasa senang dengan segala perbuatan baik yang biasa dilakukannya dengan cara terang-terangan.
  3. 3). Yaitu perbuatan-perbuatan yang tidak diwajibkan untuk ditampakkan oleh Syara‘.

Komentar

Belum ada komentar. Mengapa Anda tidak memulai diskusi?

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *