Generasi terdahulu menghindari pendirian bangunan dan pembuatan tulisan di atas kuburan. Namun kemudian dipandang baik oleh generasi kemudian dengan maksud-maksud yang baik, di antaranya; agar mayit diketahui apakah sudah usang atau belum, karena yang masyhur di antara mereka mayit tidak akan usang kecuali setelah empat puluh tahun atau sekitarnya. Maksud lainnya adalah agar penghuni kuburan diketahui supaya dapat diziarahi dan digunakan untuk tabarruk, serta kerabat-kerabatnya dapat dimaqamkan di dekatnya, dan semacamnya.
Dalam at-Tuḥfah, Syaikh Ibnu Ḥajar mengatakan: “Dianjurkan menulis nama hanya supaya dapat dikenali dalam jangka waktu yang lama hingga bertahun-tahun, terlebih jika itu kuburan para nabi dan orang-orang shalih, karena itu merupakan cara pemberitahuan yang dianjurkan.”
Dalam Nihāyat-uz-Zain, Abū ‘Abd-il-Mu‘thī al-Jawī (Syaikah Nawawī Banten) berkata: “Hukum tulisan padanya adalah makruh, baik yang tertulis itu nama ahli kuburnya atau yang lainnya. Benar, jika yang tertulis adalah nama ahli kubur dan nasabnya dengan maksud agar dapat dikenali hingga diziarahi, tak makruh hukumnya. Lebih-lebih kuburan para nabi, ‘ulamā’, dan orang shalih. Sebab kuburan mereka tak dapat dikenali kecuali dengan cara itu seiring lamanya waktu yang berlalu.”