(وَ الْمَنْدُوْبُ) مِنْ حَيْثُ وَصْفُهُ بِالْنَدْبِ (مَا يُثَابُ عَلَى فِعْلِهِ وَ لَا يُعَاقَبُ عَلَى تَرْكِهِ).
Mandūb (sunnah), dilihat dari sisi perkara itu dinamakan mandūb yaitu sesuatu yang dapat pahala jika dikerjakan dan tidak mendapat siksa bila ditinggalkan.
Istilah mandūb, mustaḥabb, tathawwu‘, dan sunnah merupakan kata-kata murādif (tiga lafazh satu pengertian), yakni:
مَا يُثَابُ عَلَى فِعْلِهِ وَ لَا يُعَاقَبُ عَلَى تَرْكِهِ
“Sesuatu yang dapat pahala jika dikerjakan dan tidak mendapat siksa bila ditinggalkan”
Sedangkan menurut Imām al-Qādhī Ḥusain dan ulama lain, istilah mustaḥabb, tathawwu‘, sunnah tidak sama pengertiannya (bukan murādif). Definisi masing-masing adalah sebagai berikut:
Sunnah adalah perbuatan yang dilakukan Nabi s.a.w. secara terus-menerus.
Mustaḥabb, adalah yang dilakukan Nabi s.a.w. satu atau dua kali dan tidak secara terus-menerus. Sedangkan,
Tathawwu‘ ialah yang sama sekali belum pernah dilakukan oleh Nabi s.a.w. Hanya saja perbuatan tersebut merupakan kebiasaan (wirid) yang dibuat oleh manusia.
Disebutkan di atas bahwa sunnah boleh ditinggalkan (tidak disiksa). Apakah boleh memutus di tengah-tengah setelah dikerjakan?
Jawab:
Menurut Imām asy-Syāfi‘ī r.a. diperbolehkan, sedangkan menurut Imām Mālik r.a. dan Abū Ḥanīfah, tidak diperbolehkan dan wajib disempurnakan.
Referensi:
ثُمَّ إِنَّهُ لَا يَجِبُ إِتْمَامُ الْمَنْدُوْبِ بِالشُّرُوْعِ فِيْهِ عِنْدَ الشَّافِعِيِّ (ر) لِأَنَّهُ جَائِزُ التَّرْكِ خِلَافًا لِأَبِيْ حَنِيْفَةَ وَ مَالِكِ (ر) فِيْ قُوْلِهِمَا بِوُجُوْبِ إِتْمَامِهِ مُسْتَدِلَّيْنَ بِقُوْلِهِ تَعَالَى (وَ لَا تُبْطَلُوْا أَعْمَالَكُمْ) فَيَجِبُ عَنْدَهُمَا بِتَرْكِ إِتْمَامِ الْمَنْدُوْبِ قَضَاءُهُ وَ أُجِيْبَ عَنِ الْآيَةَ بِأَنَّهَا مُخَصَّصَةٌ بِمَا صَحَّحَهُ الْحَاكِمُ مِنْ رَوَايَةِ التِّرْمِذِيِّ (الصَّائِمُ الْمُتَطَوِّعُ أَمِيْرُ نَفْسِهِ إِنْ شَاءَ صَامَ وَ إِنْ شَاءَ أَفْطَرَ) وَ يُقَاسُ عَلَى الصَّوْمِ غَيْرُهُ مِنَ الْمَنْدُوْبَاتِ وَ إِنَّمَا وَجَبَ إِتَمَامُ النُّسُكِ الْمَنْدُوْبِ مِنْ حَجٍّ أَوْ عُمْرَةٍ لِأَنَّ نَفْلَهُ كَفَرْضِهِ فِيْ كَثِيْرٍ مِنَ الْأَحْكَامِ كَالنِّيَّةِ فَإِنَّهَا فِيْ كُلٍّ مِنْ فَرْضِهِ وَ نَفْلِهِ قَصْدُ الدُّخُوْلِ فِي الْحَجِّ وَ الْعُمْرَةِ وَ كَالْكَفَّارَةِ فَإِنَّهَا تَجِبُ فِيْ كُلٍّ مِنْهُمَا بِالْجِمَاعِ الْمُفْسِدِ لَهُ وَ كَعَدَمِ الْخُرُوْجِ بِالْفَسَادِ فَإِنَّ كُلًّا مِنْهُمَا يَجِبُ الْمُضِيِّ فِيْ فَاسَدِهِ وَ لَيْسَ نَفْلُ غَيْرِهِمَا وَ فَرْضُهُ سَوَاءٌ فِيْمَا ذُكِرَ كَمَا هُوَ مَعْلُوْمٌ (لَطَائِفُ الْإِشَارَاتِ صـــ 11).
“Kemudian sesungguhnya tidak wajib hukumnya menyempurnakan ritual ibadah sunnah setelah mulai dikerjakan menurut Imām Syāfi‘ī r.a. Karena ibadah sunnah itu hukumnya boleh untuk ditinggalkan. Lain halnya dengan Imām Ḥanafī r.a. dan Imām Mālik r.a., beliau berdua berpendapat bahwasanya wajib hukumnya menyempurnakan ritual ibadah sunnah tersebut, dengan berlandaskan pada ayat: “Dan janganlah kamu sekalian membatalkan ‘amal kamu sekalian.” Maka menurut beliau berdua, tidak disempurnakannya sunnah, mewajibkan qadha’. Dalil ayat di atas ditanggapi bahwasanya ayat tersebut telah ditakhshish dengan hadits yang di-shaḥīḥ-kan oleh Imām Ḥākim dari riwayat Imām at-Tirmidzī: “orang yang berpuasa sunnah itu berhak memerintah dirinya, jika dia berkehendak maka dia berpuasa dan jika dia berkehendak dia boleh membatalkannya (berbuka).” Ibadah sunnah lain diqiyaskan dengan puasa ini. Sedangkan mengenai wajibnya menyempurnakan ritual ibadah haji dan ‘umrah sunnah, hal ini disebabkan karena sunnah dan fardhunya ibadah tersebut memiliki banyak kesamaan hukum. Semisal dalam niat, karena niat baik dalam haji dan ‘umrah wajib, atau haji dan ‘umrah sunnah adalah sama, yaitu menyengaja untuk masuk dalam ritual haji atau ‘umrah. Juga dalam kaffarat, karena kaffarat diwajibkan baik dalam wajib maupun sunnah, akibat melakukan persetubuhan yang merusak ibadah tersebut. Serta dalam hukum tidak bisa keluar (masih berstatus ihram) karena rusaknya ibadah tersebut. Karena baik wajib atau sunnah, haji dan ‘umrah yang rusak tetap diwajibkan untuk melanjutkannya sampai selesai. Dan tidak ada ibadah-ibadah sunnah selain keduanya memiliki kesamaan dengan ibadah fardhunya, dalam permasalahan yang telah disebutkan, sebagaimana sudah dimaklumi.”