Abū Ḥanīfah, Mālik, dan asy-Syāfi‘ī berkata: “Dia tidak kafir.”
Menurut Aḥmad, dalam hal ini ada beberapa riwayat yang berbeda darinya. Diriwayatkan darinya (Pertama) bahwa pelakunya kafir dan harus dibunuh setelah harta zakat tersebut diminta kembali dan setelah disuruh bertobat. Kedua, dia harus diperangi dan dibunuh bila tidak mau membayarnya, tapi tidak kafir.
Ibnu Ḥabīb, salah seorang ‘ulamā’ madzhab Mālikī berkata: “Bila dia tidak membayar zakat karena meremehkannya (melecehkannya) maka dia kafir. Begitu pula orang yang meninggalkan puasa, haji dan seluruh rukun Islam.
Mālik, dan asy-Syāfi‘ī berkata: “Dia tidak kafir dan tidak dibunuh.”
Abū Ḥanīfah, “Dia harus diminta membayarnya dan dipenjara sampai mau membayar.”
Asy-Syāfi‘ī dalam Qaul Qadīm-nya berkata: “Zakatnya harus diambil bersama separuh hartanya.” (8002).
Sedangkan dalam Qaul Jadīd-nya dia berkata: “Zakatnya harus diambil dan dia dimaafkan.” Pendapat yang sama juga dikatakan oleh Mālik.
Aḥmad berkata: “Penguasa harus menagihnya dan menyuruhnya bertobat selama 3 hari. Bila dia mau membayarnya maka dibiarkan, tapi bila tidak maka dia harus dibunuh, hanya saja dia tidak dihukumi kafir.”
“Setiap onta yang mencari rumput sendiri (dengan digembalakan), untuk setiap 40 ekor zakatnya seekor Binti Labūn. Tidak boleh dipisahkan anak onta itu untuk mengurangi perhitungan zakat. Barang siapa memberinya karena mengharap pahala, ia akan mendapat pahala. Barang siapa menolak untuk mengeluarkannya, kami akan mengambilnya beserta setengah hartanya karena ia merupakan perintah keras dari Tuhan kami. Keluarga Muḥammad tidak halal mengambil zakat sedikit pun.” (HR. an-Nasā’ī (2443), Abū Dāūd (1575).)