Hukum Mubah – Terjemah Syarah al-Waraqat

Ushul Fiqh
Terjemah Syarah al-Waraqat
 
Judul (Asli): Syarh al-Waraqat
(Penjelasan dan Tanya Jawab Ushul Fiqh)
 
 
Penyusun: Darul Azka, Nailul Huda, Munawwir Ridlwan
 
Penerbit: Santri salaf press.

Hukum Mubah:

(وَ الْمُبَاحُ) مِنْ حَيْثُ وَصْفُهُ بِالْإِبَاحَةِ (مَا لَا يُثَابُ عَلَى فِعْلِهِ) وَ تَرْكِهِ (وَ لَا يُعَاقَبُ عَلَى تَرْكِهِ) وَ فِعْلِهِ أَيْ مَا لَا يَتَعَلَّقُ بِكُلٍّ مِنْ فِعْلِهِ وَ تَرْكِهِ ثَوَابٌ وَ لَا عِقَابٌ.

Mubāḥ dipandang sebagai perkara itu dinamakan mubāḥ yaitu sesuatu yang tidak mendapat pahala ataupun siksa jika dikerjakan atau ditinggalkan. Artinya pahala ataupun siksa tidak ada keterkaitan dengan melakukan atau meninggalkannya.

Penjelasan:

Mubāḥ secara bahasa artinya dilapangkan atau diluaskan. Sedangkan secara istilah ialah:

(مَا لَا يُثَابُ عَلَى فِعْلِهِ وَ لَا يُعَاقَبُ عَلَى تَرْكِهِ)

Sesuatu yang melakukan dan meninggalkannya tidak mendapat pahala dan siksa

Mubāḥ juga dapat disebut jā’iz atau ḥalāl (8), contoh makan dan minum.

Petanyaan:

Dari definisi di atas, apakah tidak bertentangan dengan perkataan bahwa seorang yang makan dengan niat mengusahakan kekuatan beribadah, akan mendapatkan pahala?

Jawab:

Tidak bertentangan, karena ta‘rīf mubāḥ (sesuatu yang melakukan dan meninggalkannya tidak mendapat pahala dan siksa) di atas adalah dari sisi pandang sesuatu itu disifati mubāḥ. Sedangkan perkataan “seorang yang makan dengan niat mengusahakan kekuatan beribadah, akan mendapat pahala”, adalah memandang dari sisi yang berbeda, yakni dari aspek thā‘at (ketaatan).

Referensi:

(مِنْ حَيْثُ وَصْفُهُ) دَفَعَ بِهذَا أَنَّ الْمُبَاحَ قَدْ يُثَابُ عَلَى فِعْلِهِ إِذَا نَوَى بِهِ طَاعَةً كَمَا قَالَ ابْنُ رُسْلَانٍ:

لَكِنْ إِذَا نَوَى بِأَكْلِهِ الْقُوَى لِطَاعَةِ اللهِ لَهُ مَا قَدْ نَوَى

فَأَجَابَ بِأَنَّهُ لَا يُثَابُ عَلَى فِعْلِهِ مِنْ حَيْثُ وَصْفُهُ بِالْإِبَاحَةِ وَ لَا يُنَافِيْ أَنَّهُ يُثَابُ مِنْ حَيْثُ الطَّاعَةِ. (النَّفَحَاتُ صــــ 19).

(Dipandang dari sesuatu itu disifati mubāḥ), lafazh ini sebagai sangkalan atas ucapan yang mengatakan: “Sesuatu yang mubāḥ terkadang mendapat pahala jika dilakukan dengan niat thā‘at”, sebagaimana ucapan Ibnu Ruslān (dalam syair):

“Akan tetapi ketika makan disertai niat agar kuat,
Untuk thā‘at pada Allah s.w.t., maka baginya (pahala) dari niat itu.”

Maka pensyarah menjawab: bahwa mubāḥ itu tidak ada kaitannya dengan pahala memandang dari sisi sesuatu itu dihukumi mubāḥ. Tidak menutup kemungkinan hal yang mubāḥ mendapat pahala karena dari sisi thā‘at-nya.”

Komentar

Belum ada komentar. Mengapa Anda tidak memulai diskusi?

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *