(وَ الْبَاطِلُ) مِنْ حَيْثُ وَصْفُهُ بِالْبُطْلَانِ (مَا لَا يَتَعَلَّقُ بِهِ الْنُفُوْذُ وَ لَا يُعْتَدُّ بِهِ) بِأَنْ لَمْ يَسْتَجْمِعْ مَا يُعْتَبَرُ فِيْهِ شَرْعًا، عَقْدًا كَانَ أَوْ عِبَادَةً.
وَ الْعَقْدُ يَتَّصِفُ بِالنُّفُوْذِ وَ الْاِعْتِدَادِ، وَ الْعِبَادَةُ تَتَّصِفُ بِالْاِعْتِدَادِ فَقَطِ اصْطِلَاحًا.
Bāthil ditinjau dari sesuatu itu disifati batal yaitu perkara yang tidak berkaitan dengan nufūdz dan i‘tidād. Yakni di saat perkara tersebut belum melengkapi hal-hal yang dipertimbangkan syara‘, baik berupa akad atau ibadah.
Akad disifati dengan nufūdz dan i‘tidād, sedangkan ibadah disifati hanya disifati dengan i‘tidād saja secara istilah.
Penjelasan:
Batal merupakan lawan kata dari shaḥīḥ (sah) dengan demikian batal ialah:
(مَا لَا يَتَعَلَّقُ بِهِ الْنُفُوْذُ وَ لَا يُعْتَدُّ بِهِ)
“Sesuatu yang belum berhubungan dengan nufūdz dan i‘tidād.”
Dari pengertian bāthil ini, ketika sebuah ibadah dinyatakan batal, maka artinya syarat dan rukun di dalamnya belum terpenuhi (dalam ibadah tidak ada istilah nufūdz). Dan ketika sebuah akad, seperti jual beli dinyatakan batal, maka artinya jual beli tersebut belum berkaitan dengan dua hal. Pertama, nufūdz, dengan pengertian pembeli tidak boleh menggunakan barang yang dibeli, begitu juga pihak penjual belum mendapat hak milik atas uang yang diterima. Kedua, i‘tidād, dengan pengertian si pembeli dan penjual belum melaksanakan rukun dan syarat dalam jual beli.
Apakah sama batal dengan fasad?
Jawab:
Menurut kalangan Syāfi‘iyyah sama, sedangkan menurut kalangan Ḥanafiyyah batal dengan fasad tidak sama.
Referensi:
(قوله و الباطِلُ) الخ…. وَ فِي التَّعْرِيْفُ بِالْبَاطِلِ إِشَارَةٌ إِلَى اتِّحَادِهِمَا إلَّا فِيْ صُوَرٍ مِنْهَا الْحَجُّ فِإنَّهُ يَبْطُلُ بِالرِّدَةِ وَ يَخْرُجُ مِنْهُ وَ يَفْسُدُ بِالْوَطْءِ وَ لَا يَخْرُجُ مِنْهُ وَ يَلْزَمُهُ إِتْمَامُهُ خِلَافًا لِأَبِيْ حَنِيْفَةَ فِيْ قَوْلِهِ بِتَخَالُفِهِمَا وَ فَرَّقَ بَيْنَهُمَا بِأَنْ مَا كَانَ النَّهْيُ رَاجِعًا لِأَصْلِهِ فَهُوَ الْبُطْلَانُ كَمَا فِي الصَّلَاةِ بِدُوْنِ بَعْضِ الشُّرُوْطِ أَوْ الْأَرْكَانِ أَوْ لِوَصْفِهِ فَهِيَ الْفَسَادُ كَمَا فِيْ صَوْمِ يَوْمِ النَّحْرِ لِلْإِعْرَاضِ بِصَوْمِهِ عَنْ ضِيَافَةِ اللهِ لِلنَّاسِ بِلُحُوْمِ الْأَضَاحِيِّ الَّتِيْ شَرَعَهَا فِيْهِ (النَّفَحَاتُ صــــ 22).
“(Ucapan pengarang: bāthil)….. dalam ta‘rīf menggunakan lafazh batal mengisyaratkan semaknanya batal dan fasid….. berbeda dengan Imām Abū Ḥanīfah dalam statemennya, bahwa keduanya berbeda. Beliau membedakan antara keduanya, bahwa hukum yang larangan di dalamnya mengarah pada asalnya (syarat atau rukun), maka dinamakan batal. Seperti melakukan shalat tanpa memenuhi sebagian rukun atau syaratnya. Atau mengarah pada sifatnya ibadah, maka dinamakan fasad, seperti puasa pada hari raya qurban, karena berpaling dari suguhan Allah bagi manusia berupa daging qurban yang telah disyariatkan di hari itu.”
Apakah khilāf di atas (bahwa batal apakah sama dengan fasad) tergolong lafzhī atau ma‘nawī?
Jawab:
Tergolong khilāf lafzhī.
Referensi:
ثُمَّ الْخِلَافُ بَيْنَهُمَا لَفْظِيٌّ لِأَنَّ حَاصِلَهُ أَنَّ مُخَالَفَةَ ذِي الْوَجْهَيْنِ الشَّرْعُ بِالنَّهْيِ عَنْهُ لِأَصْلِهِ كَمَا تُسَمَّى بُطْلَانًا هَلْ تُسَمَّى فَسَادًا أَوْ لِوَصْفِهِ كَمَا تُسَمَّى فَسَادًا هَلْ تُسَمَّى بُطْلَانًا فَعِنْدَ أَبِيْ حَنِيْفَةَ لَا تُسَمَّى وَ عِنْدَنَا نَعَمْ (النَّفَحَاتُ صـــــ 22).
“Kemudian perbedaan antara Syāfi‘iyyah dengan Ḥanafiyyah hanyalah seputar khilāf lafzhī. Karena secara kesimpulan tidak sesuainya dua perkara yang memiliki dua wajah terhadap syara‘ (definisi lain dari batal) dengan sebuah larangan yang mengarah pada asal (syarat dan rukun) selain dinamakan batal, apa juga bisa dinamakan fasad? Atau adanya larangan mengarah pada sifatnya, selain dinamakan fasad, apa juga dapat disebut batal? Menurut Imām Abū Ḥanīfah tidak bisa, menurut kita (Syāfi‘iyyah) bisa.”
Mengapa definisi sah dan batal dalam Waraqāt tidak sama dengan kebanyakan kitab ushul? Seperti dalam Jam‘-ul-Jawāmi‘ dan Lubb-ul-Ushūl definisi sah ialah:
وَ الصَّحَّةُ مَوَافَقَةُ الْفِعْلِ ذِي الْوَجْهَيْنِ وُقُوعًا الشَّرْعَ.
“Sah ialah kesesuaian perbuatan yang adanya memiliki dua wajah dan terjadi dengan syari‘at.”
Definisi batal ialah:
وَ يُقَابِلُهَا أَيِ الصِّحَّةَ الْبُطْلَانَ فَهُوَ الْفِعْلِ ذِي الْوَجْهَيْنِ وُقُوْعًا الشَّرْعُ
“Kebalikan dari sah adalah batal, yakni tidak sesuainya perbuatan yang adanya memiliki dua wajah dengan syari‘at”.
Jawab:
Karena definisi yang terdapat di al-Waraqāt termasuk ta‘rīf rasm, sedangkan ta‘rīf yang terdapat di kebanyakan kitab ushul, seperti dalam Jam‘-ul-Jawāmi‘ dan Lubb-ul-Ushūl di atas termasuk ta‘rīf ḥadd.
Referensi:
(مِنْ حَيْثُ وَصْفُهُ بِالْوُجُوْبِ) ثُمَّ إِنَّ هذِهِ التَّعَارِيْفَ الَّتِيْ ذَكَرَهَا الْمُصَنِّفُ تَعَرِيْفَاتُ بِالْأثَرِ الخ….. وَ هُوَ تَعْرِيْفٌ بِالرَّسْمِ وَ قَدْ يُعَرِّفُ بِالْحَدِّ…. بِأَنْ يُقَالَ الصَّحِيْحُ مَا وَافَقَ الشَّرْعَ مِمَّا يَقَعُ عَلَى وَجْهَيْن وَ الْبَاطِلُ مَا خَالَفَ الشَّرْعَ مِمَّا يَقَعُ عَلَى وَجْهَيْنِ (النَّفَحَاتُ صـــــ 18).
“(Ucapan pensyarah: ditinjau dari sesuatu itu disifati wajib) kemudian ta‘rīf-ta‘rīf ini yang telah disebutkan pengarang adalah ta‘rīf rasm…. dan kadang juga dita‘rifi dengan ḥadd…. dengan dikatakan sah ialah suatu perbuatan yang sesuai dengan syari‘at yang adanya perbuatan tersebut memiliki dua wajah. Batal ialah suatu perbuatan yang tidak sesuai dengan syara‘ yang adanya perbuatan tersebut memiliki dua wajah.”
Catatan:
Mulai dari pengertian wājib, sunnah, mubāḥ, ḥarām, makrūh, sah dan batal yang terdapat dalam al-Waraqāt semuanya menggunakan ta‘rīf rasm. Untuk lebih jelasnya, pengertian ta‘rīf ḥadd atau rasm dapat dilihat dalam kitab ilmu mantiq.