Hubungan Kebalikan Amr dan Nahi – Terjemah Syarah al-Waraqat

Ushul Fiqh
Terjemah Syarah al-Waraqat
 
Judul (Asli): Syarh al-Waraqat
(Penjelasan dan Tanya Jawab Ushul Fiqh)
 
 
Penyusun: Darul Azka, Nailul Huda, Munawwir Ridlwan
 
Penerbit: Santri salaf press.

Hubungan Kebalikan Amr dan Nahi.

 

وَ الْأَمْرُ بِالشَّيْءِ نَهْيٌ عَنْ ضِدِّهِ وَ النَّهْيُ عَنِ الشَّيْءِ أَمْرٌ بِضِدِّهِ) فَإِذَا قَالَ لَهُ اُسْكُنْ كَانَ نَاهِيًا لَهُ عَنِ التَّحَرُّكِ أَوْ لَا تَتَحَرَّكْ كَانَ أَمْرًا لَهُ بِالسُّكُوْنِ.

Perintah melakukan suatu hal adalah merupakan larangan untuk melakukan sebaliknya. Ketika ada seseorang mengatakan pada orang lain: “diamlah, maka artinya orang tersebut melarangnya untuk bergerak. Atau mengatakan: “jangan bergerak!”, maka artinya orang tersebut memerintahkannya untuk diam.

Penjelasan:

Ketika seseorang memerintahkan orang lain supaya duduk, maka ada dua kebalikan yang terkandung:

  1. Kebalikan secara dzātiyyah, ya‘ni tidak duduk.
  2. Kebalikan secara kelaziman yang disebut (dhiddu), seperti berdiri atau tidur miring. Dengan batasan setiap ma‘na yang bertentangan dengan perbuatan yang diperintahkan.

Mengenai permasalah ini, terdapat tiga pendapat:

  1. Perintah melakukan sebuah perbuatan merupakan larangan melakukan perbuatan yang bertentangan (dhiddu).
  2. Perintah melakukan sebuah perbuatan bukanlah larangan melakukan perbuatan yang bertentangan (dhiddu). Dan hanya menunjukkan secara kelaziman. Pendapat ini adalah yang shaḥīḥ versi al-Imām dan pengikutnya, juga pendapat al-Amudī.
  3. Perintah melakukan sebuah perbuatan sama sekali tidak menunjukkan larangan melakukan perbuatan yang bertentangan (dhiddu). Disampaikan oleh Ibn al-Ḥājib.

Contoh: suami mengatakan pada istrinya: “jika kamu melanggar perintahku, maka kamu tertalak”. Berikutnya suami mengatakan: “Jangan kamu berbicara pada Zaid!” Namun istri tetap berbicara pada Zaid. Maka istri tidak tertalak, karena dia melanggar larangan suami, bukan perintahnya. Ini pendapat masyhur. Imām al-Ghazālī mengatakan: “Ahli ‘urf menganggap istri telah melanggar perintah.” (281).

Pertanyaan:

Apa kandungan hukum dari perbuatan yang dilarang sebagai kebalikan dari amr (perintah) wājib dan sunnah?

Jawab:

Amr wājib menyimpulkan larangan bersifat ḥarām atas kebalikannya. Dan amr sunnah menyimpulkan larangan bersifat makrūh dan tanzīh atas kebalikannya.

Referensi:

(فَائِدَةٌ) الْأَمْرُ إِنْ كَانَ لِلْوُجُوْبِ اقْتَضَى النَّهْيَ عَنْ ضِدِّهِ عَلَى سَبِيْلِ التَّحْرِيْمِ وَ إِنْ كَانَ لِلنَّدْبِ اقْتَضَى النَّهْيَ عَنْ ضِدِّهِ عَلَى سَبِيْلِ الْكَرَاهَةِ وَ التَّنْزِيْهِ (النَّفَحَاتُ صـــ 64).

(Fa’idah) amr apabila menunjukkan wājib, maka menyimpulkan larangan bersifat ḥarām atas kebalikannya. Dan amr apabila menunjukkan sunnah, maka menyimpulkan larangan bersifat makrūh dan tanzīh atas kebalikannya.” (an-Nafaḥāt, hal. 64).

Pertanyaan:

Apa tsamrat-ul-khilāf (ekses dari perbedaan ‘ulamā’) dalam dua kaidah:

(1) Perintah (amr) melakukan sebuah perbuatan merupakan larangan (nahi) melakukan perbuatan yang bertentangan (dhiddu), dan

(2) Larangan (nahi) melakukan sebuah perbuatan merupakan perintah (amr) melakukan perbuatan yang bertentangan (dhiddu)?

Jawab:

Tsamrat-ul-khilāf terlihat dalam masalah ketika seorang mukallaf menyalahi perintah atau larangan, apakah nantinya disiksa sebab meninggalkan perintah saja dalam amr, dan sebab melakukan larangan saja dalam nahi, atau sekaligus sebab melakukan kebalikan dan keduanya?

Menurut pendapat pertama (mu‘tamad), orang tersebut disiksa akibat melakukan larangan dan meninggalkan kebalikannya dalam nahi, dan akibat meninggalkan perintah dan melakukan kebalikannya dalam amr. Sedangkan dua pendapat berikutnya menyatakan, dia tidak disiksa kecuali akibat melakukan larangan saja dalam nahi, dan akibat meninggalkan perintah saja dalam amr.

Referensi:

ثَمْرَةُ الْخِلَافِ فِي الْمَسْأَلَةِ الْأُوْلَى وَ الثَّانِيْ أَعْنِيْ بِهِمَا الْأَمْرُ بِالشَّيْءِ نَهْيٌ عَنْ ضِدِّهِ وَ النَّهْيُ عَنِ الشَّيْءِأَمْرٌ بِضِدِّهِ أَنَّ الْمُكَلَّفَ إِذَا خَالَفَ هَلْ يَسْتَحِقُّ العِقَابَ بِتَرْكِ الْمَأْمُوْرِ بِهِ فَقَطْ فِي الْأَمْرِ وَ بِفِعْلِ الْمَنْهِيِّ عَنْهُ فَقَطْ فِي النَّهْيِ أَوْ بِارْتِكَابِ الضِّدِّ أَيْضًا فَعَلَى الْأَوَّلِ الْمُعْتَمَدِ يُعَاقَبُ عَلَى فِعْلِ الشَّيْءِ وَ تَرْكِ ضِدِّهِ فِي النَّهْيِ وَ عَلَى تَرْكِ الشَّيْءِ وَ فِعْلِ ضِدِّهِ فِي الْأَمْرِ وَ عَلَى الْقَوْلَيْنِ بَعْدَهُ لَا يُعَاقَبُ إِلَّا عَلَى الْفِعْلِ فَقَطْ فِي النَّهْيِ وَ عَلَى التَّرْكِ فَقَطْ فِي الْأَمْرِ (النَّفَحَاتُ صـــ 65-64).

Tsamrat-ul-khilāf (dampak perbedaan) pada masalah pertama dan kedua, ya‘ni perintah (amr) melakukan sebuah perbuatan merupakan larangan (nahi) melakukan sebaliknya dan kaidah larangan (nahi) melakukan sebuah perbuatan merupakan perintah (amr) melakukan perbuatan sebaliknya adalah dalam masalah ketika seorang mukallaf menyalahi perintah atau larangan, apakah nantinya disiksa sebab meninggalkan perintah saja dalam amr, dan sebab melakukan larangan saja dalam nahi, atau sekaligus sebab melakukan kebalikan dari keduanya? Menurut pendapat pertama (mu‘tamad), orang tersebut disiksa akibat meninggalkan perintah dan melakukan kebalikannya dalam amr. Sedangkan dua pendapat berikutnya menyatakan, dia tidak disiksa kecuali akibat melakukan larangan saja dalam nahi, dan akibat meninggalkan perintah saja dalam amr.” (an-Nafaḥāt, hal. 64-65).

Catatan:

  1. 28). AtTamhīd, hal. 94-97

Komentar

Belum ada komentar. Mengapa Anda tidak memulai diskusi?

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *