Peperangan tersebut berdampak pada terjadinya suatu perjanjian yang disebut dengan Hilf-ul-Fudhūl pada tahun Dzul-Qa‘dah, yang merupakan bulan haram. Hampir seluruh kabilah Quraisy berkumpul dan menghadirinya. Mereka terdiri dari Bani Hāsyim, Bani al-Muththalib, Asad bin ‘Abd-il-‘Uzza, Zahrah bin Kilāb, dan Taim bin Murrah. Mereka berkumpul di kediaman ‘Abdullāh bin Jud‘ān at-Taimī karena faktor usia dan kedudukannya. Isi dari perjanjian tersebut adalah, mereka
bersepakat dan berjanji untuk tidak membiarkan ada orang yang dizhalimi di Makkah, baik dia penduduk asli maupun pendatang, dan bila hal itu terjadi mereka akan bergerak menolongnya hingga dia meraih haknya kembali. Rasūlullāh s.a.w. menghadiri perjanjian tersebut.
Setelah beliau dimuliakan oleh Allah dengan risalah, beliau berkomentar: “Aku telah menghadiri suatu perjanjian di kediaman ‘Abdullāh bin Jud‘ān yang lebih aku sukai ketimbang aku memiliki unta merah (harta yang paling termahal dan menjadi kebanggaan bangsa ‘Arab). Andai pada masa Islam aku diundang untuk menghadirinya, niscaya aku akan memenuhinya.” (251).
Semangat perjanjian ini bertentangan dengan fanatisme jahiliyyah yang digembar-gemborkan ketika itu. Di antara hal yang disebutkan sebagai sebab terjadinya perjanjian tersebut adalah ada seorang dari Zabīd datang ke Makkah membawa barang dagangannya, kemudian barang tersebut dibeli oleh al-‘Ash bin Wail as-Sahmī. Akan tetapi, dia tidak memperlakukannya sesuai dengan haknya. Orang tersebut meminta bantuan kepada sekutu-sekutu al-‘Ash namun mereka mengacuhkannya. Akhirnya, dia menaiki Gunung Abū Qubais dan menyenandungkan syair-syair yang berisi kezhaliman yang tengah dialaminya dengan suara yang keras. Rupanya, az-Zubair bin ‘Abd-il-Muththalib mendengar hal itu dan bergerak menujunya lalu bertanya-tanya: “Mengapa orang ini diacuhkan?” Tak berapa lama kemudian berkumpullah kabilah-kabilah yang telah menyetujui perjanjian Hilf-ul-Fudhūl tersebut, lantas mereka mendatangi al-‘Ash bin Wail dan mendesaknya agar mengembalikan hak orang tersebut, mereka berhasil setelah membuat suatu perjanjian. (262).
Pada awal masa remaja Rasūlullāh s.a.w. tidak mempunyai pekerjaan tetap. Hanya saja beberapa riwayat menyebutkan bahwa beliau biasa menggembala kambing di kalangan Bani Sa‘ad bin Bakar (273) dan di Makkah dengan imbalan uang beberapa dinar. (284).
Ketika berusia dua pulah lima tahun, beliau pergi berdagang ke negeri Syam dengan modal yang diperoleh dari Khadījah r.a. Ibnu Isḥāq berkata: “Khadījah binti Khuwailid adalah salah seorang wanita pedagang yang memiliki banyak harta dan bernasab baik. Dia menyewa banyak kaum lelaki untuk memperdagangkan hartanya dengan sistem bagi hasil. Kabilah Quraisy dikenal sebagai pedagang handal. Maka tatkala sampai ke telinganya tentang kejujuran bicara, amanah, dan akhlak Rasūlullāh s.a.w. yang mulia, dia mengutus seseorang untuk menemuinya dan menawarkannya untuk memperdagangkan harta miliknya ke negeri Syam. Dia menyerahkan kepada beliau barang dagangan yang istimewa, yang tidak pernah dipercayakannya kepada pedagang-pedagang yang lainnya.
Beliau juga didampingi oleh seorang pembantunya bernama Maisarah. Beliau menerima tawaran tersebut dan berangkat dengan barang-barang dagangannya bersama pembantunya tersebut hingga sampai ke Syam. (295)