PASAL 4
Pada saat itu, kaum Muslimīn mulai mempersiapkan diri untuk keluar dari negeri mereka dan meninggalkan harta benda milik mereka untuk menyelamatkan agama mereka seperti yang telah ditunjukkan oleh Rasūlullāh s.a.w. Inilah hijrah pertama dari Makkah. Jumlah mereka dalam hijrah ini adalah sepuluh orang laki-laki dan lima orang perempuan. Mereka adalah ‘Utsmān bin ‘Affān beserta istrinya Ruqayyah binti Rasūlillāh s.a.w., Abū Salamah dan istrinya, Ummu Salamah serta saudara seibunya yang bernama Abū Sabrah bin Abī Raḥm dan istrinya Ummu Kultsūm, ‘Āmir bin Rabī‘ah dan istrinya Lailā, Abū Ḥudzaifah bin ‘Utbah bin Rabī‘ah beserta istrinya Sahlah binti Suhail, ‘Abd-ur-Raḥmān bin ‘Auf, ‘Utsmān bin Mazh‘ūn, Mush‘ab bin ‘Umair, Sahl bin al-Baidhā’ dan az-Zubair bin al-‘Awwām. Mereka semua dari Quraisy. Sementara yang menjadi pemimpin perjalanan menurut riwayat yang dikemukakan Ibnu Hisyām adalah ‘Utsmān bin Mazh‘ūn. Mereka berjalan menuju Ḥabasyah di bawah naungan keberkahan Allah s.w.t.
Ketika sampai di tepi pantai, mereka menyewa perahu untuk mengantarkan mereka ke tujuan. Mereka tiba di Ḥabasyah dengan selamat, dan tinggal di negeri tersebut dalam keadaan aman dan tenteram, bebas dari gangguan kaum musyirikīn, tapi kaum Muslimīn yang tinggal bersama Nabi s.a.w. hanya sedikit. (391)
Pada saat kaum Muslimīn hijrah pertama itu, masuk Islāmlah orang yang terkenal kuat lagi perkasa, yaitu ‘Umar bin al-Khaththāb al-‘Adawī al-Qurasyī. Sebelumnya, ia sangat benci terhadap kaum Muslimīn, dan sangat keras dalam menyakiti mereka.
Lailā, salah seorang yang turut hijrah ke Ḥabasyah bersama suaminya menceritakan: “Dahulu ‘Umar bin Khaththāb adalah orang yang paling keras kepada kami karena keislaman kami. Ketika aku menaiki kendaraanku hendak berangkat ke Ḥabasyah tiba-tiba aku bertemu ‘Umar.
Ia bertanya: “Hendak ke manakah engkau, wahai Ummu ‘Abdillāh?”
Aku jawab, ‘Kalian telah menyakiti kami karena agama kami maka kami akan pergi ke bumi Allah tempat di mana kami tidak disakiti’.
‘Umar berkata: “Semoga Allah menyertai kalian.”
Ketika suamiku, ‘Āmir datang, aku ceritakan kepadanya tentang kelemah-lembutan sikap ‘Umar itu.
Maka suamiku bertanya: “Apakah engkau mengharapkan ia masuk Islām? Demi Allah, ia tidak akan masuk Islām sebelum keledai milik al-Khaththāb masuk Islām – ‘Āmir mengatakan demikian berdasarkan pengetahuannya tentang sikap ‘Umar yang begitu kejam terhadap kaum Muslimīn!”
Namun, ‘Umar beruntung mendapatkan berkah dari doa Rasūlullāh s.a.w. Beliau pernah berdoa menjelang ia masuk Islām: “Ya Allah, perkuatlah Islām dengan ‘Umar.” (402)
‘Umar masuk Islām di rumah al-Arqam bin Abī-l-Arqam, tempat kaum Muslimīn berkumpul. Dengan masuk Islāmnya ‘Umar, Allah s.w.t. telah mewujudkan harapan Nabi s.a.w. ‘Abdullāh bin Mas‘ūd r.a. pernah berkata dari riwayat al-Bukhārī: “Kami tetap dalam keadaan kuat sejak ‘Umar masuk Islām.” ‘Umar pernah meminta kepada Rasūlullāh s.a.w. supaya menampakkan shalatnya di masjid, kemudian Rasūlullāh s.a.w. mengabulkan permintaannya itu.
Orang-orang Quraisy pun sangat bersedih ketika melihat ‘Umar masuk Islām. Kemudian mereka hendak membunuhnya sampai berkumpullah sekelompok orang di sekitar rumah ‘Umar untuk menunggu ia keluar. Lalu datanglah al-‘Āsh bin Wā’il as-Sahmī dari kalangan Bani Sahm, sekutu Bani ‘Addī kaumnya ‘Umar. Ia memakai pakaian katun dan gamis sutra, lalu bertanya kepada ‘Umar: “Apakah gerangan yang terjadi pada dirimu?”
‘Umar menjawab: “Kaummu hendak membunuhku jika aku masuk Islām.”
Al-‘Āsh berkata: “Mereka tidak akan menyakitimu karena aku melindungimu.”
Kemudian al-‘Āsh keluar rumah dan melihat banyak orang telah memenuhi lembah. Lalu ia bertanya: “Hendak ke mana kalian?”
Mereka menjawab: “Kami mau menangkap orang ini – Ibnu-l-Khaththāb – yang telah memeluk agama baru.”
Al-‘Āsh berkata: “Kalian tidak kuperkenankan menyentuhnya.” Akhirnya, mereka bubar dan kembali ke rumah masing-masing.
Selang tiga bulan sejak kaum Muslimīn hijrah ke Ḥabasyah, mereka kembali ke Makkah karena tidak mudah bagi mereka untuk tinggal di Ḥabasyah. Sebab, jumlah mereka sedikit. Selain itu, mereka adalah orang-orang terpandang dari kabilah Quraisy dan mereka juga mengajak istri-istri mereka. Mereka tidak kerasan tinggal di negeri asing dalam keadaan demikian.
Sebagian ahli sejarah suka meriwayatkan satu kisah yang mereka anggap sebagai penyebab kembalinya para Muhājirīn dari Ḥabasyah. Yaitu, mereka mendengar kabar bahwa kaumnya telah masuk Islām ketika Rasūlullāh s.a.w. membacakan Sūrat-un-Najm kepada mereka dan menyampaikan hal-hal yang baik tentang tuhan-tuhan (berhala) mereka, serta berkata setelah membaca ayat:
أَفَرَأَيْتُمُ اللَّاتَ وَ الْعُزَّى. وَ مَنَاةَ الثَّالِثَةَ الْأُخْرَى
“Maka apakah patut kalian (hai-hai orang musyrik) menganggap Lāta dan ‘Uzzā dan Manāt, yang ketiga, yang paling kemudian (sebagai anak perempuan Allah).” (an-Najm [53]: 19-20)
“itulah Gharānīq (413) yang mulia, dan syafaat mereka sangat diharapkan.” Lalu, kaum tersebut bersujud sebagai bentuk takzim dan kegembiraan.
Kisah seperti ini termasuk yang tidak diriwayatkan kecuali oleh orang yang sedikit pengetahuannya, yang menukilkan setiap riwayat yang ia dapatkan tanpa membuktikan ke-shaḥīḥ-annya. Di sini kami akan menyebutkan dalil-dalil naqlī (nash) dan ‘aqlī (akal) atas kebatilan kisah yang telah disebutkan di atas. Secara singkat, sanad dan matan kisah tersebut kacau dan lemah. Al-Qādhū al-‘Iyādh mengatakan dalam asy-Syifā’, “(Sanadnya) tidak dikeluarkan oleh seorang pun dari perawi (hadits) shaḥīḥ, dan tidak pernah diriwayatkan oleh seorang perawi yang tsiqah (terpercaya) dengan sanad yang benar.”
Adapun matan-nya, para shahabat Rasūlullāh s.a.w. dan orang-orang musyrik itu bukanlah orang-orang yang tidak punya akal, sehingga mereka mau mendengar pujian di tengah celaan dan membolehkannya untuk mereka. Sebab, setelah menyebutkan (nama-nama) berhala, Allah s.w.t. berfirman: “Itu tidak lain hanyalah nama-nama yang kalian dan bapak-bapak kalian itu mengada-adakannya; Allah tidak menurunkan sesuatu keterangan pun untuk (menyembah)-nya.” (an-Najm [53]: 23).
Jadi, perkataan tersebut (ya‘ni kisah di atas) kacau. Andai benar demikian, maka orang-orang kafir akan menjadikannya sebagai ḥujjah untuk berargumentasi ketika mereka berdebat dengan kaum Muslimīn. Sementara kaum musyrikīn itu kita kenal sebagai orang-orang yang keras kepala dalam persoalan yang tidak ada dalilnya sedikit pun, lantas bagaimana dengan hal ini? Perkataan ini tidak lebih ringan daripada persoalan pergantian arah qiblat (dari Bait-ul-Maqdis) ke Ka‘bah. Dalam persoalan (pergantian arah qiblat) ini mereka telah mengatakan apa yang telah mereka katakan hingga Allah menyebut mereka dengan sufahā’ (orang-orang yang kurang akalnya), dan Allah menurunkan ayat berkenaan dengan perbuatan mereka itu dalam surah al-Baqarah:
سَيَقُوْلُ السُّفَهَاءُ مِنَ النَّاسِ مَا وَلَّاهُمْ عَنْ قِبْلَتِهِمُ الَّتِيْ كَانُوْا عَلَيْهَا
“Orang-orang yang kurang akalnya di antara manusia akan berkata: ‘Apakah yang memalingkan mereka (umat Islām) dari qiblatnya (Bait-ul-Maqdis) yang dahulu mereka telah berqiblat kepadanya’.” (al-Baqarah [2]: 142)
Namun, tidak terdengar dari salah seorang di antara para tokoh mereka yang keras kepala mengatakan kepada Rasūlullāh s.a.w.: “Mengapa engkau mencaci tuhan-tuhan kami sesudah engkau memujinya?” Padahal persoalan ini lebih layak (sebagai alasan) bagi mereka untuk menghunuskan pedang dan mengorbankan banyak nyawa mereka.
Perlu diketahui bahwa ahli sejarah yang menukilkan ungkapan-ungkapan kisah tersebut dan menganggapnya sebagai penyebab kaum Muslimīn yang hijrah ke Ḥabasyah kembali (ke Makkkah), mereka mengatakan di sela pembicaraan mereka: “Sesungguhnya hijrah ke Ḥabasyah itu mereka lakukan pada bulan Rajab, kemudian mereka kembali (ke Makkah) pada bulan Syawwal, sedangkan Sūrat-un-Najm diturunkan pada bulan Ramadhān. Jadi, jangka waktu antara turunnya ayat dan kembalinya kaum Muhājirīn adalah satu bulan.”
Bagi orang yang mau sedikit saja memperhatikan perkataan mereka itu, niscaya dapat menyimpulkan bahwa jangka waktu satu bulan tidak cukup untuk melakukan perjalanan pulang-pergi dari Makkah ke Ḥabasyah. Sebab pada masa itu belum ada kapal bermesin yang dapat membawa seseorang melakukan perjalanan di laut dengan cepat. Dan belum ada juga telegram yang dapat dengan cepat menyampaikan berita tentang masuk Islāmnya orang-orang Quraisy kepada kaum Muslimīn yang berada di Ḥabasyah. Tidak aneh bilamana kita katakan, kisah itu hanyalah merupakan isapan jempol dan hanya karangan orang-orang yang ingin menghancurkan Islām. Alḥamdulillāh, Allah telah memberikan kepada kita anugerah berupa al-Qur’ān-ul-Karīm, yang memutuskan perkara di antara kita. Di dalam surah yang sama, Allah s.w.t .berfirman:
وَ مَا يَنْطِقُ عَنِ الْهَوَى
“Dan tiadalah yang diucapkannya itu (al-Qur’ān) menurut hawa nafsunya.” (an-Najm [53]: 3).
Apa yang disampaikan syaithān merupakan riwayat yang terburuk. Lantas bagaimana mungkin beliau saw mengucapkan atau menyampaikan hal-hal yang menunjukkan keluhan pada waḥyu? Sebuah persoalan yang diinginkan oleh orang-orang yang kurang akalnya, tetapi Allah s.w.t. mengembalikan tipu daya mereka itu kepada diri mereka sendiri.
Adapun hadits yang termaktub di dalam ash-Shaḥīḥ (424) berkaitan dengan masalah sujudnya (kaum) tersebut adalah seperti yang diriwayatkan oleh ‘Abdullāh bin Mas‘ūd r.a.: “Nabi saw membaca Sūrat-un-Najm, lalu beliau bersujud, dan bersujud pula orang-orang yang bersamanya kecuali satu orang laki-laki. Ia mengambil segenggam batu kerikil lalu meletakkannya pada jidatnya seraya mengatakan: ‘Ini sudah cukup bagiku.’ Kemudian aku (‘Abdullāh bin Mas‘ūd) melihatnya terbunuh dalam keadaan kafir (murtad).”
Pada hadits ini tidak ada ma‘na paling rendah sekalipun yang menunjukkan bahwa orang-orang yang bersujud bersama Nabi s.a.w. adalah orang-orang musyrik. Bahkan, kesimpulan dari perkataan ‘Abdullāh bin Mas‘ūd, “Maka kemudian aku melihatnya terbunuh dalam keadaan kafir,” adalah bahwa lelaki tersebut dahulunya Muslim, kemudian aku melihatnya murtad. Memang demikianlah yang terjadi pada sebagian orang yang hatinya lemah. Mereka tidak tahan menanggung siksaan, hingga akhirnya mereka kembali menjadi kafir. Di antara mereka yang berbuat demikian adalah ‘Alī bin Umayyah bin Khalaf.
Ketika kaum Muhājirīn Ḥabasyah kembali ke Makkah, ternyata mereka tidak mampu memasukinya kembali kecuali orang-orang yang mempunyai pelindung. Abū Salamah berlindung kepada pamannya dari pihak ibu, yaitu Abū Thālib, sedangkan ‘Utsmān bin Maz‘ūn berlindung kepada al-Walīd bin Mughīrah yang kini siap melindunginya kembali. Pada mulanya al-Walīd telah mencabut perlindungannya dari ‘Utsmān. Ketika ia melihat kaum musyrikīn menyakiti kaum Muslimīn, ia memberikan jaminannya. Ia tidak bisa hidup nyaman sementara saudara-saudaranya disiksa.
Setelah orang-orang Quraisy kehabisan akal membuat tipu muslihat, mereka menawarkan diyat berlipat ganda kepada Bani ‘Abdi Manāf – yang di antara anggota kabilah adalah Rasūlullāh s.a.w. – agar mereka bersedia menyerahkan Rasūlullāh s.a.w. kepada mereka. Namun, Bani ‘Abdi Manāf menolak tawaran tersebut. Lalu mereka menawarkan kepada Abū Thālib seorang pemuda yang terhormat dari kalangan mereka untuk dijadikan anak angkatnya, dengan syarat ia mau menyerahkan Rasūlullāh s.a.w. kepada mereka. Abū Thālib pun menjawab: “Aneh kalian ini! Kalian memberikan anak kalian supaya kuberi makan, sedangkan aku harus menyerahkan anakku untuk kalian bunuh.”
Ketika menemui jalan buntu, mereka sepakat untuk mengucilkan Bani Hāsyim dan Bani Muththalib, yang keduanya merupakan anak cucu ‘Abdu Manāf. Kemudian mereka mengusir Bani Hāsyim dan Bani Muththalib dari Makkah dan memutuskan hubungan ekonomi dengan mereka. Mereka tidak mengadakan hubungan jual beli dengan kedua kabilah tersebut kecuali jika mereka mau menyerahkan Muḥammad s.a.w. untuk dibunuh. Tindakan mereka tidak sampai disitu saja, bahkan mereka menuliskan hal itu pada shaḥīfah (lembaran kertas) dan meletakkannya di dalam Ka‘bah.
Oleh sebab itu, Bani Hāsyim bergabung dengan kelompok Abū Thālib, dan turut bergabung pula Bani al-Muththalib, baik yang mu’min maupun yang kafir kecuali Abū Lahab, karena ia berpihak kepada orang-orang kafir Quraisy. Mereka (Bani Hāsyim dan kubu Abū Thālib) ditinggalkan tanpa pertolongan dari dua saudara mereka, ya‘ni Bani ‘Abd-usy-Syams dan Naufal dari Bani ‘Abdi Manāf sehingga mereka mengalami kesulitan hidup dan terpaksa harus memakan dedaunan. Sementara musuh-musuh mereka melarang para pedagang berjual-beli dengan mereka. Orang terdepan yang melarang hal ini adalah Abū Lahab. (435)