Hijrah ke Habasyah yang Kedua – Nurul Yaqin (2/2)

NŪR-UL-YAQĪN
 
Judul Asli:
Nūr-ul-Yaqīn fī Sīrati Sayyid-il-Mursalīn
Penulis: Muhammad al-Khudhari Bek

 
Alih Bahasa: Muhammad Faisal Fadhil
Penerbit: UMMUL QURA
 
(Diketik oleh: Zulfa)

Rangkaian Pos: Hijrah-hijrah - Nurul Yaqin

Setelah Abū Thālib meninggal dunia, orang-orang musyrik Quraisy dapat melancarkan tekanan-tekanan terhadap diri Rasūlullāh s.a.w., sesuatu yang tidak bisa mereka lakukan sewaktu Abū Thālib masih hidup. Tekanan yang mereka lancarkan kepada Beliau semakin keras. Sampai-sampai mereka berani menabur tanah di atas kepala Beliau ketika Beliau berjalan, dan menaruh kotoran kambing di tubuh Rasūlullāh s.a.w. ketika sedang shalat. Pernah juga orang-orang Quraisy menarik-narik tubuh Rasūlullāh s.a.w., lalu mereka mengatakan: “Engkaukah orang yang hendak menjadikan tuhan-tuhan yang banyak menjadi satu tuhan?” Pada saat itu tidak ada seorang pun dari kaum Muslimīn berani maju untuk membebaskan Rasūlullāh s.a.w. karena masih lemah, kecuali Abū Bakar. Ia maju dan mengatakan kepada mereka: “Apakah kalian hendak membunuh seorang lelaki yang hanya mengatakan: ‘Rabb-ku Allah?”

Hijrah ke Thā’if

Tatkala Rasūlullāh s.a.w. melihat orang-orang Quraisy melakukan penghinaan, beliau berniat menemui Bani Tsaqīf di Thā’if (491) untuk meminta bantuan dan pertolongan dari mereka untuk menghadapi kaumnya hingga beliau dapat menunaikan perintah Rabb-nya. Sebab, mereka adalah orang-orang yang paling dekat dari Makkah dan beliau masih mempunyai hubungan kekerabatan dengan mereka karena ibu Hāsyim bin ‘Abdi Manāf, yaitu ‘Ātikah as-Sulāmiyyah berasal dari Bani Salīm bin Manshūr, sedangkan Bani Salīm ini adalah sekutu Bani Tsaqīf. Rasūlullāh s.a.w. berangkat ke Thā’if ditemani oleh maulā beliau, yaitu Zaid bin al-Ḥāritsah. Sesampainya di Thā’if, Rasūlullāh s.a.w. disambut oleh pemimpin-pemimpin Thā’if. Mereka bertiga yaitu ‘Abdu Yalīl, Mas‘ūd, dan Ḥabīb, semuanya adalah anak ‘Amr bin ‘Umair ats-Tsaqafī. Lalu Rasūlullāh s.a.w. mengutarakan maksud kedatangannya, yaitu meminta pertolongan dari mereka untuk membantunya sehingga ia dapat menunaikan dakwahnya. Namun, mereka menolak permintaan Rasūlullāh s.a.w. dengan tolakan yang buruk, dan Rasūlullāh s.a.w. tidak melihat adanya tanda-tanda kebaikan pada diri mereka. Pada saat itu juga Rasūlullāh s.a.w. meminta kepada mereka agar hal tersebut jangan mereka siarkan supaya orang-orang Quraisy tidak mengetahuinya. Pasalnya, jika orang-orang Quraisy mengetahui hal ini, niscaya tekanan mereka akan bertambah keras karena mereka mengetahui bahwa Rasūlullāh s.a.w. meminta bantuan dari orang-orang Thā’if untuk memusuhi mereka. (502)

Namun, orang-orang Tsaqīf tidak mau memenuhi apa yang diharapkan oleh Rasūlullāh s.a.w. Bahkan sebaliknya, mereka mengirimkan orang-orang bodoh dan anak-anak mereka untuk berbaris di sepanjang jalan, lalu melempari Rasūlullāh s.a.w. dengan batu. Akibat perlakuan tersebut Rasūlullāh s.a.w. mengalami luka-luka berdarah. Pada saat itu Zaid bin al-Ḥāritsah selalu melindungi Rasūlullāh s.a.w. dari lemparan batu hingga Beliau sampai di sebuah pohon anggur dan berteduh di bawahnya. Pohon anggur itu terletak di sebelah kebun milik ‘Utbah dan Syaibah. Keduanya anak Rabī‘ah, dan mereka merupakan musuh Rasūlullāh s.a.w. Pada waktu itu mereka berada di dalam kebun itu. Melihat keduanya itu, Rasūlullāh s.a.w. tidak suka, tetapi ia hanya bisa berdoa dengan kata-kata berikut ini:

“Ya Allah, sesungguhnya aku mengadu kepada-Mu tentang lemahnya kekuatan diriku dan remehnya aku di mata manusia. Wahai Dzāt yang Maha Penyayang di antara para penyayang, Engkau adalah Rabb orang-orang yang lemah, dan Engkau adalah Rabb-ku. Kepada siapa pun Engkau serahkan diriku selagi Engkau tidak murka kepadaku maka aku tidak peduli dengan hal itu.”

Tatkala kedua anak Rabī‘ah melihat Rasūlullāh s.a.w., keduanya merasa kasihan lalu mengirimkan buah anggur kepada Rasūlullāh s.a.w. melalui ‘Addās, bekas hamba sahaya mereka yang beragama Nashrānī. Ketika hendak memakannya, beliau membaca, “Bismillāh-ir-Raḥmān-ir-Raḥīm.” ‘Addās pun berkata: “Perkataan ini belum pernah diucapkan oleh penduduk negeri ini.”

Lalu Rasūlullāh s.a.w. bertanya: “Dari negeri manakah engkau dan apa agamamu?

‘Addās menjawab: “Aku pemeluk agama Nashrānī dari Nīnawā.” (513)

Rasūlullāh s.a.w. berkata: “Kalau begitu, engkau berasal dari kampungnya orang shāliḥ yaitu Yānus bin Mattā.

‘Addās bertanya keheranan: “Apa yang engkau tahu tentang Yūnus?”

Lalu Rasūlullāh s.a.w. membacakan kepadanya al-Qur’ān yang di dalamnya terdapat kisah tentang Nabi Yūnus. Tatkala ‘Addās mendengar hal tersebut, ia langsung masuk Islām. (524).

Setelah itu, datanglah malaikat Jibrīl membawa pesan dari Allah s.w.t. Lalu malaikat Jibrīl berkata: “Sesungguhnya Allah telah memerintahkan aku untuk menuruti apa yang kamu kehendaki terhadap kaumnya lantaran apa yang telah mereka perbuat terhadap dirimu.” Namun, Rasūlullāh s.a.w. hanya berdoa:

اللهُمَّ اهْدِ قَوْمِيْ فَإِنَّهُمْ لَا يَعْلَمُوْنَ.

Ya Allah, berikanlah petunjuk kepada kaumku karena sesungguhnya mereka tidak mengetahui.” (535)

Mendengar doa Rasūlullāh s.a.w. itu, Malaikat Jibrīl berkata: “Benarlah siapa yang menamakanmu sebagai orang yang berhati lembut dan penuh kasih sayang.”

Ketika Rasūlullāh s.a.w. berada di Nakhlah, datanglah kepadanya serombongan jin untuk mendengarkan bacaan al-Qur’ān. Mereka adalah kaum jinn yang berasal dari zaman Nabi Mūsā a.s. Saat mendengar bacaan al-Qur’ān dari Rasūlullāh s.a.w., mereka kembali kepada kaumnya untuk memberi peringatan. Mereka memberitahu kaumnya tentang Rasūlullāh s.a.w. Lalu Allah menurunkan firman-Nya berkenaan dengan mereka itu:

وَ إِذْ صَرَفْنَا إِلَيْكَ نَفَرًا مِّنَ الْجِنِّ يَسْتَمِعُوْنَ الْقُرْآنَ فَلَمَّا حَضَرُوْهُ قَالُوْا أَنْصِتُوْا فَلَمَّا قُضِيَ وَلَّوْا إِلَى قَوْمِهِمْ مُّنْذِرِيْنَ. قَالُوْا يَا قَوْمَنَا إِنَّا سَمِعْنَا كِتَابًا أُنْزِلَ مِنْ بَعْدِ مُوْسَى مُصَدِّقًا لِّمَا بَيْنَ يَدَيْهِ يَهْدِيْ إِلَى الْحَقِّ وَ إِلَى طَرِيْقٍ مُّسْتَقِيْمٍ. يَا قَوْمَنَا أَجِيْبُوْا دَاعِيَ اللهِ وَ آمِنُوْا بِهِ يَغْفِرْ لَكُمْ مِّنْ ذُنُوْبِكُمْ وَ يُجِرْكُمْ مِّنْ عَذَابٍ أَلِيْمٍ. وَ مَنْ لَّا يُجِبْ دَاعِيَ اللهِ فَلَيْسَ بِمُعْجِزٍ فِي الْأَرْضِ وَ لَيْسَ لَهُ مِنْ دُوْنِهِ أَوْلِيَاءُ أُولئِكَ فِيْ ضَلَالٍ مُّبِيْنٍ

Dan (ingatlah) ketika Kami hadapkan serombongan jin kepadamu yang mendengarkan al-Qur’ān maka tatkala mereka menghadiri pembacaan(nya) lalu mereka berkata: ‘Diamlah kamu (untuk mendengarkannya)’. Ketika pembacaan telah selesai mereka kembali kepada kaumnya (untuk) memberi peringatan. Mereka berkata: ‘Hai kaum kami, sesungguhnya kami telah mendengarkan kitab (al-Qur’ān) yang telah diturunkan sesudah Mūsā yang membenarkan kitab-kitab yang sebelumnya lagi mempimpin kepada kebenaran dan kepada jalan yang lurus. Hai kaum kami, terimalah (seruan) orang yang menyeru kepada Allah dan berimanlah kepada-Nya, niscaya Allah akan mengampuni dosa-dosa kamu dan melepaskan kamu dari ‘adzāb yang pedih. Dan orang yang tidak menerima (seruan) orang yang menyeru kepada Allah maka dia tidak akan melepaskan diri dari ‘adzāb Allah di muka bumi dan tidak ada baginya pelindung selain Allah. Mereka itu dalam kesesatan yang nyata’.” (QS. al-Aḥqāf [46]: 29-32).

Allah s.w.t. telah menceritakan kisah tentang jin ini dengan cukup panjang, yaitu dalam surah al-Qur’ān yang juga dinamai dengan nama mereka (al-Jinn), permulaan surah itu mengatakan:

Katakanlah (hai Muḥammad): “Telah diwahyukan kepadamu bahwasanya: telah mendengarkan sekumpulan jinn (akan al-Qur’ān), lalu mereka berkata: ‘Sesungguhnya kami telah mendengarkan al-Qur’ān yang menakjubkan, (yang) memberi petunjuk kepada jalan yang benar, lalu kami beriman kepadanya. Dan kami sekali-kali tidak akan mempersekutukan seseorang pun dengan Tuhan kami’.” (QS. al-Jīnn [72]: 1-2) (54)

Berlindung kepada al-Muth‘im bin ‘Adī

Ketika meninggalkan Thā’if, Rasūlullāh s.a.w. tidak dapat masuk begitu saja ke kota Makkah karena orang-orang Quraisy telah mengetahui bahwa ia berangkat ke Thā’if untuk meminta bantuan penduduknya guna menghadapi mereka. Rasūlullāh s.a.w. mengirimkan utusannya kepada al-Muth‘im mengabulkan permintaan tersebut, lalu ia bersama semua anaknya menyandang senjata untuk menyambut kedatangan Rasūlullāh s.a.w. Setelah Rasūlullāh s.a.w. tiba, al-Muth‘im mengajaknya berthawāf di Ka‘bah, memberitahukan kepada orang-orang bahwa Rasūlullāh s.a.w. berada dalam perlindungannya.

Di antara kaum musyrikīn ada yang berkata: “Hai Muth‘im, apakah engkau sebagai pemberi perlindungan atau sebagai pengikutnya?” al-Muth‘im menjawab: “Aku sebagai perlindungannya.” Mereka berkata: “Kalau memang demikian maka jaminanmu tidak akan dilanggar.” (556)

Utusan dari Daus

Ketika Rasūlullāh s.a.w. di Makkah datanglah ath-Thufail bin ‘Amr ad-Dausī, dari kabilah Daus, kerabat shahabat Abū Hurairah r.a. yang terkenal itu. Ath-Thufail adalah orang yang dihormati di kalangan kaumnya. Ia juga seorang penyair yang cerdas. Setelah Rasūlullāh s.a.w. membacakan al-Qur’ān kepadanya, ia pun masuk Islām. Lalu Rasūlullāh s.a.w. bersabda kepadanya: “Berangkatlah kepada kaummu lalu ajak mereka masuk Islām,” Rasūlullāh s.a.w. juga mendoakannya: “Ya Allah, berilah petunjuk kepada orang-orang Daus.” (567)

Kemudian ath-Thufail kembali kepada kaumnya dan mengajak mereka masuk Islām dan banyak dari mereka yang masuk Islām. Kelak akan datang pula utusan dari mereka kepada Rasūlullāh s.a.w. untuk yang kedua kalinya di Madīnah.

Catatan:

  1. 49). Sebuah daerah yang terletak di tenggara Makkah.
  2. 50). Belum pernah terjadi konflik antara Tsaqīf dan Quraisy.
  3. 51). Kota yang terletak di pinggiran sungai Dajlah, dan ia merupakan kota di ‘Irāq bagian pinggir, sampingnya ialah Mosul.
  4. 52). Shaḥīḥ-us-Sīrat-un-Nabawiyyah, hlm. 136-137.
  5. 53). HR. al-Bukhārī (3231, 7389), dan Muslim (1795).
  6. 55). Zād-ul-Ma‘ād (2/47).
  7. 56). HR. al-Bukhārī (2937, 4392) dan Muslim (2524).

Komentar

Belum ada komentar. Mengapa Anda tidak memulai diskusi?

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *