Abū Ḥanīfah berkata: “Apabila harta tersebut ditemukan di padang pasir negeri musuh (negara kafir) maka tidak dipungut seperlima, dan ia menjadi milik orang yang menemukannya.” (7921).
Pendapat Abū Ḥanīfah sama dengan pendapatnya tentang zakat tentang tambang.
Asy-Syāfi‘ī berkata: “Penyalurannya adalah seperti penyaluran zakat barang tambang.”
Menurut Aḥmad, dalam hal ini ada dua riwayat.
Pertama, penyalurannya (pembagiannya) seperti penyaluran harta Fai.
Kedua, penyalurannya seperti penyaluran zakat.
Mālik berkata: “Harta terpendam, ghanīmah, Jizyah, pungutan yang diambil dari pedagang kafir Dzimmī, harta yang diambil ketika mengadakan perjanjian damai dengan orang-orang kafir dan harta yang merupakan hasil tanah, semuanya disalurkan sesuai kebijakan Imām (penguasa) sesuai jumlah yang dibutuhkan.” (7954).
Abū Ḥanīfah berkata: “Harta tersebut diambil seperlimanya lalu sisanya untuk pemilik tanah dan ahli warisnya setelahnya. Bila ahli warisnya tidak ada maka untuk Bait-ul-Māl.”
Menurut ‘ulamā’ Mālikiyyah, dalam hal ini ada beberapa riwayat yang berbeda dari mereka. Di antara mereka ada yang mengatakan: “Ia menjadi milik orang yang menemukannya setelah diambil seperlimanya.”
Ada pula yang mengatakan: “Ia menjadi milik pemilik tanah yang pertama.”
Ada pula yang mengatakan: “Harus dilihat dulu tanah tempat ditemukannya harta tersebut. Bila ia dimiliki secara paksa maka ia menjadi milik pasukan yang menaklukkannya. Sedangkan bila ia dimiliki tanpa dengan peperangan maka menjadi milik orang yang mengadakan perjanjian damai di tanah tersebut.”
Asy-Syāfi‘ī berkata: “Ia menjadi milik orang yang menemukannya bila dia mengklaimnya. Bila dia tidak mengklaimnya maka ia menjadi milik pemilik pertama.”
Menurut Aḥmad, dalam hal ini ada dua riwayat darinya.
Pertama, ia menjadi miliknya setelah diambil seperlimanya.
Kedua, seperti pendapat Imām asy-Syāfi‘ī. (7965)