Rasūlullāh s.a.w. dilahirkan di tengah keluarga Bani Hāsyim di Makkah pada Senin pagi, 9 Rabī‘-ul-Awwal, permulaan tahun dari Peristiwa Gajah, dan empat puluh tahun setelah kekuasaan Kisra Anūsyirwān, atau bertepatan dengan tanggal 20 atau 22 April tahun 571 M, berdasarkan penelitian ulama besar Muḥammad Sulaimān al-Manshūrfūrī dan peneliti astronomi Maḥmud Bāsyā. (11).
Ibnu Sa‘ad meriwayatkan bahwa ibunda Rasūlullāh s.a.w. berkata: “Setelah bayiku keluar, aku melihat ada cahaya yang keluar dari kemaluanku, menyinari istana-istana di Syam.” Imām Aḥmad juga meriwayatkannya dari al-Irbadh bin Sariyah, yang isinya mirip dengan riwayat tersebut. (22).
Diriwayatkan juga bahwa ada beberapa bukti pendukung kerasulan, bertepatan dengan saat kelahiran beliau s.a.w., yaitu runtuhnya empat belas balkon istana Kisra, padamnya api yang biasa disembah orang-orang Majūsī, serta runtuhnya beberapa gereja di sekitar Buhairah setelah gereja-gereja itu ambles ke tanah. Peristiwa-peristiwa tersebut diriwayatakan oleh al-Baihaqī (33), namun Muḥammad al-Ghazālī tidak mengakuinya. (44)
Peta Invasi Pasukan Gajah
Setelah Āminah melahirkan, dia mengirim utusan ke tempat kakeknya, ‘Abd-ul-Muththalib, untuk menyampaikan kabar gembira tentang kelahiran cucunya. ‘Abd-ul-Muththalib pun datang dengan perasaan suka cita, lalu membawa beliau ke dalam Ka‘bah, seraya berdoa kepada Allah dan bersyukur kepada-Nya. Dia memilih nama Muḥammad – nama ini belum dikenal di bangsa ‘Arab – bagi beliau. Beliau dikhitan pada hari ketujuh, seperti yang biasa dilakukan orang-orang ‘Arab. (55) (66).
Peta Kediaman Bani Saad
Wanita yang pertama kali menyusui beliau setelah ibundanya adalah Tsuwaibah – dia adalah seorang hamba sahaya Abū Lahab – yang kebetulan sedang menyusui anaknya yang bernama Masrūḥ. Sebelumnya, wanita ini juga menyusui Ḥamzah bin ‘Abd-il-Muththalib. Setelah itu dia menyusui Abū Salamah bin ‘Abd-il-Asad al-Makhzūmī. (77).
Saya katakan: al-Ḥāfizh mengatakan di at-Taqrīb: “Ia jujur dan ‘ārif namun banyak kesalahan ingatan.” Sementara di dalam at-Tahdzīb, ia mengatakan: “Disebutkan oleh Ibnu ‘Adī di antara hadits-hadits munkarnya dari Mu‘tamar dari ayahnya dari ‘Athā’, dari Abū Hurairah secara marfū‘: “Siapa yang ditanya tentang ilmu…..”
Adz-Dzahabī juga menyebutkan di al-Mīzān perkataannya sendiri dan al-Ḥāfizh berkomentar: “Ibnu ‘Adī mengatakan: “Ia banyak kerancuan”.”
Saya katakan: riwayat hidup dan ucapannya dalam persoalan ilmu Muḥammad bin Abis-Sirri ini tidak ditemukan dari naskah cetak dari kitabnya al-Kāmil. Saya telah menelitinya pada bagian yang ada nama Muḥammad, serta di indeks nama dan hadits, namun saya tidak menemukan satu pun yang menyebutkan. Silakan merujuk ke tulisan-tulisannya.
Selain itu, di dalam sanad hadits ini ada dua cacat lain:
Pertama, tadlis oleh al-Walīd bin Muslim, ini karena ia telah melakukan tadlīs taswiya.
Kedua, ‘Athā’ al-Khurāsānī – yaitu Ibnu Abī Muslim – dinyatakan oleh al-Ḥāfizh: “Ia jujur, tetapi banyak keliru, memursalkan dan men-tadlīs hadits.”
Berikut ini adalah pernyataan Ibn-ul-Qayyūm dalam kitabnya Tuḥfat-ul-Maudūd:
Pasal ketiga belas: persoalan khitan Nabi s.a.w. Dalam persoalan ini ada beberapa pendapat:
Pertama, beliau lahir disunat.
Kedua, bahwa Jibrīl mengkhitan beliau saat membelah dada beliau.
Ketiga, bahwa kakeknya, ‘Abd-ul-Muththalib mengkhitan beliau seperti yang biasa dilakukan bangsa ‘Arab dalam mengkhitan anak-anak mereka.
Kami di sini akan menyebutkan siapa saja yang berpendapat seperti itu beserta dalil masing-masing.
Mereka berpendapat bahwa beliau telah dikhitan ketika lahir berdalil sebagai berikut:
Pertama, hadits yang diriwayatkan oleh Abū ‘Umar bin ‘Abd-il-Barr yang mengatakan: “telah diriwayatkan bahwa Nabi s.a.w. dilahirkan dalam keadaan telah dikhitan dari penuturan ‘Abdullāh bin ‘Abbās dari ayahnya, al-‘Abbās bin ‘Abd-il-Muththalib yang berkata: “Rasūlullāh dilahirkan dalam keadaan dikhitan dan pusar yang telah terpotong. Maka kakeknya terkejut melihat itu dan berkata: “Anakku ini pasti akan mendapatkan urusan yang agung.”
Kemudian Ibnu ‘Abd-il-Barr mengatakan: “Sanad hadits al-‘Abbās ini tidak benar. Hadits ini juga diriwayatkan secara mauqūf pada Ibnu ‘Umar tetapi juga tidak terbukti.”
Saya katakan, hadits Ibnu ‘Umar kami riwayatkan dari jalur Abū Nu‘aim, Abul-Ḥasan Aḥmad bin Muḥammad bin Khālid al-Khathīb bercerita kepada kami, Muḥammad bin Muḥammad bin Sulaimān bercerita kepada kami, ‘Abd-ur-Raḥmān bin Ayyūb al-Hamshī bercerita kepada kami, Mūsā bin Abī Mūsā al-Maqdisī bercerita kepada kami, Khālid bin Salamah bercerita kepada kami dari Nāfi‘, dari Ibnu ‘Umar yang berkata: “Nabi s.a.w. dilahirkan dalam keadaan pusar telah dipotong dan telah dikhitan.” Namun, Muḥammad bin Sulaimān ini adalah al-Baghandī yang dinyatakan dha‘īf oleh para ulama’ hadits. Ad-Dāruquthnī mengatakan: “Ia banyak melakukan tadlīs, menceritakan apa yang tidak ia dengar, dan bahkan kemungkinan mencuri dengar.
Kedua, hadits yang diriwayatkan oleh al-Khathīb dengan sanadnya dari Sufyān bin Muḥammad al-Mushaishī, Husyaim bercerita kepada kami, dari Yūnus bin ‘Ubaid, dari al-Ḥasan, dari Anas bin Mālik yang berkata: “Rasūlullāh bersabda: “Di antara karunia Allah bagi diriku bahwa aku dilahirkan dalam keadaan telah dikhitan dan tidak ada seorang pun yang melihat kemaluanku.”
Al-Khathīb mengatakan: “Al-Azharī mengabarkan kepadaku: “Ad-Dāruquthnī ditanya dari Sufyān bin Muḥammad al-Mushaishī, Abuth-Thayyib ath-Thabarī mengabarkan kepadaku: “Ad-Dāruquthnī berkata kepada kami: “Guru penduduk al-Mushaishah yang disebut Sufyān bin Muḥammad al-Fazarī adalah dha‘īf, dan keadaannya buruk.” Shāliḥ bin Muḥammad al-Ḥāfizh mengatakan: “Sufyān bin Muḥammad al-Mushaishī tidak ada yang berarti.”
Hadits tersebut juga diriwayatkan oleh Abul-Qāsim bin ‘Asākir dari jalur al-Ḥasan bin ‘Arafah, Husyaim bercerita kepada kami, dari Yūnus, dari al-Ḥasan, dari Anas yang berkata: “Rasūlullāh s.a.w. bersabda: “Di antara kemuliaan yang diberikan oleh Rabbku kepadaku, bahwa aku dilahirkan dalam keadaan telah dikhitan dan tidak ada seorang pun yang melihat kemaluanku.” Dari sanadnya sampai ke al-Ḥasan bin ‘Arafah terdapat sejumlah perawi yang tidak diketahui.
Abul-Qāsim ‘Asakir mengatakan: “Ibn-ul-Kharūd telah mencuri dengar hadits itu dan ia seorang pendusta. Sehingga ia meriwayatkan dari al-Ḥasan bin ‘Arafah.”
Dalil lain yang digunakan oleh mereka yang berpendapat seperti ini adalah hadits yang disebutkan oleh Muḥammad bin ‘Alī at-Tirmidzī dalam mukjizat-mukjizat Nabi s.a.w. Ia mengatakan: “Di antaranya bahwa Shafiyyah binti ‘Abd-il-Muththalib berkata: “Aku ingin mengetahui apakah beliau (waktu lahir) laki-laki atau perempuan. Maka aku melihat beliau telah dikhitan.” Hadits ini tidak terbukti dan tidak memiliki sanad yang dikenal.
Ungkapan “Maka aku melihat beliau telah dikhitan” yang dikisahkan oleh Shafiyyah tersebut kontradiksi dengan hadits-hadits lain, yaitu sabda beliau: “Tidak ada seorang pun yang melihat kemaluanku.” Jadi, semua hadits dalam persoalan ini saling berbenturan dan tidak ada satu pun yang terbukti shaḥīḥ. Seandainya beliau dilahirkan dalam keadaan dikhitan, ini bukanlah termasuk keistimewaan beliau karena banyak orang yang dilahirkan tanpa perlu dikhitan lagi.
Abul-Ghanā’im an-Nasabah az-Zaidī menyebutkan bahwa ayahnya, Abū Muḥammad al-Ḥasan bin Muḥammad bin al-Ḥasan az-Zaidī dilahirkan tanpa perlu dikhitan lagi. Ia mengatakan: “Karena itu ia disebut orang yang disucikan.” Ibn-ul-Qayyūm mengatakan: “Ia juga mengatakan dari apa yang saya baca dari tulisannya: “Abū Muḥammad al-Ḥasan dilahirkan dalam keadaan suci dan tidak dikhitan. Ia meninggal sebagaimana keadaan ia dilahirkan.”
Dalam hadits yang diriwayatkan oleh Muḥammad bin Saif, anak saudara perempuan Sufyān ats-Tsaurī, dari Hisyām bin ‘Urwah dari ayahnya, dari ‘Ā’isyah, dari Nabi s.a.w. yang bersabda: “Ibnu Shayyād dilahirkan dalam keadaan pusar telah dipotong dan telah dikhitan.” Saif tercela dalam periwayatan haditsnya.
Ada yang mengatakan bahwa khitan itu merupakan bagian dari ketetapan yang diujikan oleh Allah bagi kekasih-Nya, sehingga Allah menyempurnakannya. Manusia yang paling besar ujiannya adalah para nabi lalu orang yang di bawah mereka dan seterusnya. Nabi s.a.w. pun memasukkan khitan bagian dari fitrah. Kita tahu bahwa siapa yang bersabar dengan ujian khitan akan menjadi pelipatan pahala bagi yang diuji. Keadaan Nabi s.a.w. mestinya tidak dihindarkan dari keutamaan ini. Allah mestinya memuliakan beliau dengannya sebagaimana memuliakan kekasih-Nya (Ibrāhīm). Sebab, beliau memiliki kekhususan yang lebih utama dan lebih tinggi daripada nabi-nabi lain.
Malaikat mengkhitan beliau – sebagaimana yang kami riwayatkan – itu lebih pantas untuk menjadi kekhususan beliau dan lebih utama daripada semua itu, ungkap Ibn-ul-Adīm. Maksud perkataannya adalah malaikat mengkhitan beliau seperti yang diriwayatkan dari jalur al-Khathīb dari Abū Barkah: “Bahwa Jibrīl mengkhitan Nabi s.a.w. ketika ia membersihkan hati beliau.” Namun, hadits ini selain mauqūf pada Abū Bakrah, ia tidak shaḥīḥ secara sanad. Karena, al-Khathīb mengatakan: “Abul-Qāsim ‘Abd-ul-Wāḥid bin ‘Utsmān bin Muḥammad al-Bajilī memberitakan kepada kami, Ja‘far bin Muḥammad bin Nushair memberitakan kepada kami, Muḥammad bin ‘Abdullāh bin Sulaimān menceritakan kepada kami, ‘Abd-ur-Raḥmān bin ‘Uyainah al-Bashrī menceritakan kepada kami, ‘Alī bin Muḥammad al-Madanī menceritakan kepada kami, Muslimah bin Muḥārib bin Sulaim bin Ziyād menceritakan kepada kami, dari ayahnya, dari Abū Bakrah. Sanad ini tidak bisa dijadikan hujjah.”
Hadits tentang Jibrīl membelah dada Nabi s.a.w. telah diriwayatkan dari beberapa jalur yang marfū‘ sampai ke beliau, namun tidak ada sama sekali yang menyebutkan bahwa Jibrīl mengkhitan beliau kecuali dalam hadits ini, sehingga ia disebut syadzdz gharīb (menyelisihi hadits lain yang shaḥīḥ dan aneh).
Ibn-ul-Adīm mengatakan: “Beberapa riwayat menunjukkan bahwa kakek beliau, ‘Abd-ul-Muththalib mengkhitan beliau pada hari ketujuh. (Ibn-ul-Qayyūm mengatakan), perkataan Ibn-ul-Adīm ini rasanya benar dan lebih dekat dengan kenyataan. Kemudian ia menyebutkan riwayat dari Ibnu ‘Abd-il-Barr, Abū ‘Amr Muḥammad bin Aḥmad bercerita kepada kami – bacaan dari saya atas dirinya – bahwa Muḥammad bin ‘Īsā bercerita kepadanya: Yaḥyā bin Ayyūb bin Ziyād al-Allaf bercerita kepada kami, Muḥammad bin Abus-Sirri al-Asqalānī bercerita kepada kami, al-Walīd bin Muslim bercerita kepada kami, dari Syu‘aib bin Abī Ḥamzah, dari ‘Athā’ al-Khurāsānī, dari ‘Ikrimah, dari Ibnu ‘Abbās: “Bahwa ‘Abd-ul-Muththalib mengkhitan Nabi pada hari ketujuh, membuat pesta makan malam dan menamai beliau, Muḥammad.” Yaḥyā bin Ayyūb berkata: “Kami tidak menemukan hadits ini kecuali pada Ibnu Abis-Sirri, yaitu Muḥammad bin al-Mutawakkil bin Abis-Sirri. Wallāhu a‘lam.”
Al-Albānī mengatakan: “Ini adalah pandangan al-Kamāl bin al-Adīm dan pendapat inilah yang menenangkan hati dan melegakan dada. Tampaknya Ibnu ‘Abd-il-Barr juga condong ke pendapat ini. Karena setelah hadits ini ditunjukkan kepadanya, ia mengomentari: “Dalam hadits Ibnu ‘Abbās dari Abū Sufyān tentang ceritanya dengan Heraklius – yang merupakan hadits yang terbukti dari sisi sanad – terdapat dalil bahwa bangsa ‘Arab itu mempunyai kebiasaan mengkhitan. Dan saya mengira itu dari aspek kedekatan mereka di Ḥijāz dengan Yahūdi.”
Catatan saya, hadits dari Abū Sufyān terdapat di permulaan Shaḥīḥ-ul-Bukhārī, hadits no. 7 di dalam Fatḥ-ul-Bārī. Di redaksinya Heraklius bertanya kepada Abū Sufyān tentang bangsa ‘Arab, maka ia menjawab: “Mereka memiliki kebiasaan mengkhitan.”
Lihat: As-Silsilat-udh-Dha‘īfah, al-Albānī, hadits no. 6270; as-Sīrat-un-Nabawiyyat-ush-Shaḥīḥah, al-‘Umarī, I/100; al-‘Ilal-ul-Mutanāhiyyatu fil-Aḥādīts-il-Waḥiyyah, ‘Abd-ur-Raḥmān bin ‘Alī bin al-Jauzī, I/171 (Cet. I Darul Kutubil ‘Ilmiyyah, Beirut, 1403 H. taḥqīq: Khalīl al-Mais); Subūl-ul-Hudā war-Rasyādi fī Sīrati Khair-ir-‘Ibādi wa Dzikru Fadhā’ilihi wa A‘lami Nubuwwatihi wa Af‘ālihi wa Aḥwālihi fil-Mabda’i wal-Ma‘ād, Muḥammad bin Yūsuf ash-Shāliḥī asy-Syāmī, I/347; dan Zād-ul-Ma‘ād, Ibn-ul-Qayyūm, I/80. (al-Malaḥ).