Hamzah Masuk Islam – Dakwah Menuju Petunjuk – Nurul Yaqin (3/3)

NŪR-UL-YAQĪN
 
Judul Asli:
Nūr-ul-Yaqīn fī Sīrati Sayyid-il-Mursalīn
Penulis: Muhammad al-Khudhari Bek

 
Alih Bahasa: Muhammad Faisal Fadhil
Penerbit: UMMUL QURA
 
(Diketik oleh: Zulfa)

Rangkaian Pos: Dakwah Menuju Petunjuk - Nurul Yaqin

Kemudian ‘Utbah menutup mulut Rasūlullāh s.a.w. dengan tangannya seraya memohon supaya Rasūlullāh s.a.w. menghentikan bacaannya itu demi hubungan silaturahmi (kekerabatan) antara dirinya dan Rasūlullāh s.a.w. Setelah ‘Utbah kembali, orang-orang Quraisy bertanya kepadanya. Ia berkata: “Demi Allah, aku telah mendengar suatu kalām yang belum pernah aku dengar bandingannya. Demi Allah, ia bukan syair, bukan ramalan, dan bukan pula sihir. Hai orang Quraisy, taatlah kalian. Aku mohon kalian mau menjadikan dia di bawah perlindunganku. Biarkanlah dia (Muḥammad) dan apa yang sedang dilakukannya, dan jika kalian tidak suka janganlah kalian mempergaulinya. Demi Allah, sungguh dalam kalām yang baru aku dengar itu terkandung berita yang besar. Bila dia dikalahkan oleh orang-orang ‘Arab, berarti kalian tidak usah bersusah payah menghadapinya, cukup hanya dengan orang-orang selain kalian. Bilamana ternyata ia menang atas orang-orang ‘Arab yang lain maka kejayaannya berarti sama juga dengan kejayaan kalian (kaum Quraisy).”

Mereka menjawab: “Sungguh kamu ini telah terkena sihir Muḥammad.”

‘Utbah berkata: “Ini hanya pendapatku sendiri.” (351)

Setelah peristiwa itu kaum Quraisy mengajak Rasūlullāh s.a.w. sama-sama menyembah apa yang mereka sembah, dan mereka akan bersama-sama pula menyembah apa yang disembah Rasūlullāh s.a.w.. Lalu Allah s.w.t. menurunkan firman-Nya sehubungan dengan peristiwa ini, yaitu:

قُلْ يَا أَيُّهَا الْكَافِرُوْنَ. لَا أَعْبُدُ مَا تَعْبُدُوْنَ. وَ لَا أَنْتُمْ عَابِدُوْنَ مَا أَعْبُدُ. وَ لَا أَنَا عَابِدٌ مَّا عَبَدْتُّمْ. وَ لَا أَنْتُمْ عَابِدُوْنَ مَا أَعْبُدُ. لَكُمْ دِيْنُكُمْ وَ لِيَ دِيْنِ

Katakanlah: ‘Hai orang-orang kafir. Aku tidak akan menyembah apa yang kamu sembah. Dan kamu bukan penyembah Tuhan yang aku sembah. Dan aku tidak pernah menjadi penyembah apa yang kamu sembah. Dan kamu tidak pernah (pula) menjadi penyembah Tuhan yang aku sembah. Untukmu agamamu, dan untukkulah, agamaku’.” (QS. al-Kāfirūn [109]: 1-6)

Jangan kalian kira bahwa aku mau mengabulkan permintaan kalian untuk menyekutukan Allah s.w.t.. Mereka berputus asa untuk membujuk Rasūlullāh s.a.w. Setelah itu, mereka meminta supaya Rasūlullāh s.a.w. mencabut ayat-ayat al-Qur’ān yang membuat mereka marah, seperti celaan terhadap berhala-berhala dan ancaman-ancaman keras lalu mendatangkan al-Qur’ān selain itu atau menggantinya. Sebagai jawaban atas permintaan mereka, Allah s.w.t. menurunkan firman-Nya:

وَ إِذَا تُتْلى عَلَيْهِمْ آيَاتُنَا بَيِّنَاتٍ قَالَ الَّذِيْنَ لَا يَرْجُوْنَ لِقَاءَنَا ائْتِ بِقُرْآنٍ غَيْرِ هذَا أَوْ بَدِّلْهُ قُلْ مَا يَكُوْنُ لِيْ أَنْ أُبَدِّلَهُ مِنْ تِلْقَاءِ نَفْسِيْ إِنْ أَتَّبِعُ إِلَّا مَا يُوْحى إِلَيَّ إِنِّيْ أَخَافُ إِنْ عَصَيْتُ رَبِّيْ عَذَابَ يَوْمٍ عَظِيْمٍ

Dan apabila dibacakan kepada mereka ayat-ayat Kami yang nyata, orang-orang yang tidak mengharapkan pertemuan dengan Kami berkata: ‘Datangkanlah al-Qur’ān yang lain dari ini atau gantilah dia’. Katakanlah: ‘Tidaklah patut bagiku menggantinya dari pihak diriku sendiri. Aku tidak mengikuti kecuali apa yang diwahyukan kepadaku. Sesungguhnya aku takut jika mendurhakai Tuhanku kepada siksa hari yang besar (kiamat)’.” (QS. Yūnus [10]: 15)

Telah terjadi suatu peristiwa langka antara Rasūlullāh s.a.w. dan orang-orang kafir Quraisy. Peristiwa tersebut dapat menjadi cahaya penerang bagi orang yang meremehkan orang yang lemah. Pada suatu hari, Rasūlullāh s.a.w. sedang bersama dengan para pembesar dan tokoh Quraisy dalam rangka menerangkan al-Qur’ān dan ajaran Islām kepada mereka. Tiba-tiba datanglah ‘Abdullāh bin Ummi Maktūm yang buta menghadap beliau. ‘Abdullāh bin Ummi Maktūm termasuk orang-orang yang pertama masuk Islām. Pada waktu itu Nabi sedang sibuk menerangkan. Sebelumnya, Nabi telah menemui sebagian dari mereka dengan ramah sehingga Beliau sangat berharap mereka mau masuk Islām. Lalu ‘Abdullāh berkata kepada Beliau: “Wahai Rasūlullāh! ajarkanlah kepadaku apa yang telah Allah ajarkan kepadamu.” ‘Abdullāh terus-menerus mengucapkan permintaan itu sehingga dirasakan amat berat oleh Rasūlullāh s.a.w. Rasūlullāh s.a.w. tidak suka ‘Abdullāh memotong pembicaraannya dan khawatir kalau memalingkan perhatian kepada ‘Abdullāh yang miskin itu akan menyebabkan hati para tokoh itu lari meninggalkan Beliau, lalu Beliau berpaling darinya (‘Abdullāh bin Ummi Maktūm). Maka turunlah firman Allah sebagai teguran atas sikapnya tersebut Allah s.w.t. berfirman:

عَبَسَ و َتَوَلَّى. أَنْ جَاءَهُ الْأَعْمَى. وَ مَا يُدْرِيْكَ لَعَلَّهُ يَزَّكَّى. أَوْ يَذَّكَّرُ فَتَنْفَعَهُ الذِّكْرَى. أَمَّا مَنِ اسْتَغْنَى. فَأَنْتَ لَهُ تَصَدَّى. وَ مَا عَلَيْكَ أَلَّا يَزَّكَّى. وَ أَمَّا مَنْ جَاءَكَ يَسْعَى. وَ هُوَ يَخْشَى. فَأَنْتَ عَنْهُ تَلَهَّى

Dia (Muḥammad) bermuka masam dan berpaling. Karena telah datang seorang buta kepadanya. Tahukah kamu barangkali ia ingin membersihkan dirinya (dari dosa), atau dia (ingin) mendapatkan pengajaran. Lalu pengajaran itu memberi manfaat kepadanya? Adapun orang yang merasa dirinya serba cukup maka kamu melayaninya. Padahal tidak ada (celaan) atasmu kalau dia tidak membersihkan diri (beriman). Dan adapun orang yang datang kepadamu dengan bersegera (untuk mendapatkan pengajaran), sedang ia takut kepada (Allah) maka kamu mengabaikannya.” (QS. ‘Abasa [80]: 1-10)

Setelah peristiwa itu Rasūlullāh s.a.w. tidak pernah bermuka masam terhadap orang miskin. Apabila ‘Abdullāh bin Ummi Maktūm datang menghadap maka Rasūlullāh s.a.w. selalu menyambutnya dengan kata-kata: “Selamat datang orang yang menyebabkan aku ditegur oleh Rabb-ku.” (362)

Ketika kaum musyrikīn telah melihat bahwa tuntutan-tuntutan yang mereka ajukan tidak diterima, mereka bermaksud menggunakan cara lain, yaitu meminta kepada Rasūlullāh s.a.w. untuk mengeluarkan bukti-bukti yang menurut dugaan mereka Rasūlullāh s.a.w. tidak akan mampu melakukannya. Kemudian mereka sepakat untuk melakukan hal itu, lalu mereka berkata kepada Rasūlullāh s.a.w.: “Hai Muḥammad, jika memang engkau benar-benar seorang rasūl, perlihatkan kepada kami suatu mukjizat yang kami minta supaya engkau mendatangkannya, yaitu belahlah bulan menjadi dua bagian.” Maka Allah memberikan mukjizat ini kepada Rasūlullāh s.a.w. sehingga terbelahlah bulan purnama menjadi dua. Lalu Rasūlullāh s.a.w. berkata: “Saksikanlah oleh kalian.” (373)

Hadits mengenai peristiwa ini diriwayatkan oleh shahabat Ibnu Mas‘ūd yang termasuk salah seorang yang pertama masuk Islām, dan hadits ini diriwayatkan olehnya melalui banyak jalur sanad. Hadits mengenai kisah ini diriwiyatkan pula oleh shahabat ‘Abdullāh bin ‘Abbās r.a. dan shahabat-shahabat lainnya. Kemudian diriwayatkan oleh mereka melalui banyak perawi sehingga hadits ini sama kedudukannya dengan hadits mutawātir. Peristiwa ini juga disebutkan di awal Sūrat-ul-Qamar:

اقْتَرَبَتِ السَّاعَةُ وَ انْشَقَّ الْقَمَرُ

Telah dekat datangnya saat itu dan telah terbelah bulan.” (QS. al-Qamar [54]: 1)

Ketika orang-orang yang ingkar melihat mukjizat yang besar ini, sebagian dari mereka ada yang berkata: “Sungguh kalian telah terkena sihir anak Abū Kabsyah.” Maka Allah menurunkan ayat tentang mereka, yaitu:

وَ إِنْ يَرَوْا آيَةً يُعْرِضُوْا وَ يَقُوْلُوْا سِحْرٌ مُّسْتَمِرٌّ

Dan jika mereka (orang-orang musyrikīn) melihat suatu tanda (mukjizat), mereka berpaling dan berkata: ‘(Ini adalah) sihir yang terus-menerus’.” (QS. al-Qamar [54]: 2)

Kemudian mereka meminta supaya Rasūlullāh s.a.w. mengeluarkan mukjizat-mukjizat lainnya. Mereka meminta hal tersebut tiada lain karena terdorong oleh pengingkaran dan kerasnya hati mereka. Di antara permintaan mereka ialah seperti yang disebutkan oleh Allah dalam Sūrat-ul-Isrā’:

وَ قَالُوْا لَنْ نُّؤْمِنَ لَكَ حَتّى تَفْجُرَ لَنَا مِنَ الْأَرْضِ يَنْبُوْعًا. أَوْ تَكُوْنَ لَكَ جَنَّةٌ مِّنْ نَّخِيْلٍ وَ عِنَبٍ فَتُفَجِّرَ الْأَنْهَارَ خِلَالَهَا تَفْجِيْرًا. أَوْ تُسْقِطَ السَّمَاءَ كَمَا زَعَمْتَ عَلَيْنَا كِسَفًا أَوْ تَأْتِيَ بِاللهِ وَ الْمَلآئِكَةِ قَبِيْلًا. أَوْ يَكُوْنَ لَكَ بَيْتٌ مِّنْ زُخْرُفٍ أَوْ تَرْقَى فِي السَّمَاءِ وَ لَنْ نُّؤْمِنَ لِرُقِيِّكَ حَتَّى تُنَزِّلَ عَلَيْنَا كِتَابًا نَّقْرَؤُهُ…

Dan mereka berkata: ‘Kami sekali-kali tidak percaya kepadamu hingga kamu memancarkan mata air dari bumi untuk kami, atau kamu mempunyai sebuah kebun korma dan anggur, lalu kamu alirkan sungai-sungai di celah kebun yang deras alirannya, atau kamu jatuhkan langit berkeping-keping atas kami, sebagaimana kamu katakan atau kamu datangkan Allah dan malaikat-malaikat berhadapan muka dengan kami. Atau kamu mempunyai sebuah rumah dari emas, atau kamu naik ke langit. Dan kami sekali-kali tidak akan mempercayai kenaikanmu itu hingga kamu turunkan kepada kami sebuah kitab yang kami baca.” (QS. al-Isrā’: 90-93)

Namun Allah s.w.t. tidak mengabulkan permintaan mereka selain dengan firman-Nya:

قُلْ سُبْحَانَ رَبِّيْ هَلْ كُنْتُ إِلَّا بَشَرًا رَّسُوْلًا

Katakanlah: ‘Maha Suci Tuhanku, bukankah aku ini hanya seorang manusia yang menjadi rasūl?” (QS. al-Isrā’ [17]: 93)

Allah s.w.t. mengetahui apa yang tersembunyi di dalam hati mereka. Itu tiada lain hanyalah kefanatikan jahiliah dan keingkaran. Sekalipun didatangkan kepada mereka mukjizat yang jelas, mereka tetap tidak akan mau beriman seperti yang disebutkan dalam firman-Nya:

وَ مَا يُشْعِرُكُمْ أَنَّهَا إِذَا جَاءَتْ لَا يُؤْمِنُوْنَ

Dan apakah yang memberitahukan kepadamu bahwa apabila mukjizat datang, mereka tidak akan beriman.” (QS. al-An‘ām [6]: 109)

Mana mungkin kita mengharapkan kebaikan dari orang-orang yang berani mengatakan seperti disebutkan di dalam Sūrat-ul-Anfāl:

Ya Allah, jika betul (al-Qur’ān) ini, dialah yang benar dari sisi-Mu maka hujanilah kami dengan batu dari langit, atau datangkanlah kepada kami ‘adzāb yang pedih.” (QS. al-Anfāl [8]: 32)

Mereka tidak mengatakan: “Bila hal ini (al-Qur’ān) benar dari sisi-Mu berilah kami petunjuk kepadanya.”

Berikut ini merupakan kebiasaan paran nabi apabila melihat orang-orang yang meminta diperlihatkan tanda-tanda (mukjizat) karena keras kepala dan mereka meminta hal itu hanya untuk membuat lemah (Nabi), yaitu para Nabi itu tidak mau meminta kepada Allah mewujudkan tanda-tanda (mukjizat) tersebut agar kaumnya tidak tertimpa kebinasaan, sebagaimana terjadi pada kaum ‘Ād dan Tsamūd. Dan inilah maksud dari firman Allah s.w.t. di dalam Sūrat-ul-Isrā’:

Dan sekali-kali tidak ada yang menghalangi Kami untuk mengirimkan (kepadamu) tanda-tanda (kekuasaan Kami), melainkan karena tanda-tanda itu telah didustakan oleh orang-orang dahulu.” (QS. al-Isrā’ [17]: 59)

Hal tersebut pernah dialami al-Masīḥ a.s. yaitu ketika beliau berhadapan dengan Kaisar Herodes. Herodes meminta kepadanya supaya memperlihatkan mukjizat, tetapi al-Masīḥ tidak mengabulkan permintaannya. Kemudian Herodes memperolok-oloknya lalu mengembalikan al-Masīḥ a.s. ke tangan musuhnya, Pilatus. Padahal sebelumnya Herodes menaruh kasihan kepadanya dan berharap bertemu dengannya. Kisah tersebut termaktub di dalam Injīl Lukas pasal 23.

Demikianlah, ketika kaum musyrikīn melihat dirinya sudah tidak mampu lagi menghadapi kaum Muslimīn dengan argumentasi maka mereka memakai siasat lain, yaitu dengan memakai kekuatan dan senjata seperti apa yang pernah dilakukan oleh kaum Nabi Ibrāhīm a.s. ketika mereka tidak mampu menghadapinya. Mereka mengatakan:

Mereka berkata: ‘Bakarlah dia dan bantulah tuhan-tuhan kamu, jika kamu benar-benar hendak bertindak’.” (QS. al-Anbiyā’ [21]: 68)

Adapun (orang-orang kafir Quraisy), mereka menambahkan siksaan kepada setiap orang yang masuk Islām dengan harapan dapat menghalangi mereka dari mengikuti Rasūlullāh s.a.w. Mereka tidak membiarkan satu pintu pun kecuali memasukinya. Lalu Beliau s.a.w. berkata kepada shahabatnya: “Berpencarlah kalian di bumi ini. Sesungguhnya Allah kelak akan mengumpulkan kalian kembali.” Mereka bertanya kepada Beliau ke arah mana, lalu Beliau menunjukkan ke Ḥabasyah. (384).

Catatan:

  1. 35). HR. al-Baihaqī dalam ad-Dalā’il (1/75), juga Abū Ya‘lā dalam Musnad-nya (3/349-351) dalam sanadnya terdapat Dziyāl dan bin Ḥurmah yang meriwiyatkan dari al-Jamā‘ah dan setahu saya tidak ada seorang pun yang pernah men-jarḥ-nya, juga di-tsiqah-kan oleh Ibnu Ḥibbān dan al-Haitsamī dalam al-Majma‘ (6/2).
  2. 36). HR. at-Tirmidzī (1333), Ibnu Ḥibbān (1769), al-Ḥākim (2/513), disetujui dan di-shaḥīḥ-kan oleh adz-Dzahabī. Syekh al-Albānī berkata dalam Shaḥīḥ-ut-Tirmidzī, “Sanad-nya Shaḥīḥ.”
  3. 37). HR al-Bukhārī (4767), dan Muslim (2950).
  4. 38). Al-Bidāyatu wan-Nihāyah, Ibnu Katsīr (3/66).

Komentar

Belum ada komentar. Mengapa Anda tidak memulai diskusi?

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *