Hamzah Masuk Islam – Dakwah Menuju Petunjuk – Nurul Yaqin (1/3)

NŪR-UL-YAQĪN
 
Judul Asli:
Nūr-ul-Yaqīn fī Sīrati Sayyid-il-Mursalīn
Penulis: Muhammad al-Khudhari Bek

 
Alih Bahasa: Muhammad Faisal Fadhil
Penerbit: UMMUL QURA
 
(Diketik oleh: Zulfa)

Rangkaian Pos: Dakwah Menuju Petunjuk - Nurul Yaqin

Ḥamzah Masuk Islām

Sebagian perlakuan aniaya dari orang-orang Quraisy adalah menjadi sebab Ḥamzah bin ‘Abd-il-Muththalib paman Rasūlullāh s.a.w. masuk Islām.

Kefanatikan Ḥamzah terbakar ketika ia dicela oleh sebagian kaum wanita karena ia hanya diam saat Abū Jahal menyakiti keponakannya (Rasūlullāh s.a.w.). Ia pun segera berangkat menemui orang yang celaka itu, memarahi dan mencaci-makinya. Ia mengatakan: “Mengapa kamu mencaci maki Muḥammad, sedangkan aku memeluk agamanya!” Kemudian Allah memberikan cahaya keyakinan ke dalam hatinya sehingga ia menjadi orang yang paling baik keislamannya dan paling besar ghīrah-nya terhadap kaum Muslimīn, serta paling kuat permusuhannya terhadap musuh-musuh agama sehingga ia dijuluki Asadullāh (Singa Allah).

Sebagaimana Rasūlullāh s.a.w. menerima perlakuan yang menyakitkan dari kaumnya, para shahabat pun mendapat perlakuan yang sama karena mereka mengikuti Rasūlullāh s.a.w., terutama shahabat yang tidak memiliki keluarga yang dapat melindungi dirinya dari serangan musuh. Semua perlakuan yang menyakitkan itu mereka anggap ringan karena mereka menyadari bahwa sikap mereka itu diridai Allah s.w.t. Keyakinan mereka terhadap agama Islām tetap kuat dan tidak goyah serta tidak terkena fitnah. Allah s.w.t. menegakkan keimanan mereka sehingga akhirnya Dia menyempurnakan agama-Nya di tangan mereka, dan mereka akhirnya menjadi raja-raja di muka bumi yang sebelumnya mereka adalah orang-orang lemah sebagaimana yang telah disebutkan dalam firman-Nya:

وَ نُرِيْدُ أَنْ نَّمُنَّ عَلَى الَّذِيْنَ اسْتُضْعِفُوْا فِي الْأَرْضِ وَ نَجْعَلَهُمْ أَئِمَّةً وَ نَجْعَلَهُمُ الْوَارِثِيْنَ

Dan Kami hendak memberi karunia kepada orang-orang yang tertindas di bumi (Mesir) itu dan hendak menjadikan mereka pemimpin dan menjadikan mereka orang-orang yang mewarisi (bumi).” (QS. al-Qashash [28]: 5)

Di antara orang-orang yang disakiti di jalan Allah ialah:

1. Bilāl bin Rabbāḥ

Dahulu ia seorang hamba sahaya milik Umayyah bin Khalaf al-Jumaḥī al-Qurasyī. Umayyah bin Khalaf mengikatkan tali pada leher Bilāl, kemudian ia menyerahkannya kepada anak-anak untuk dipermainkan. Namun begitu, Bilāl masih tetap mengucapkan: “Aḥad, Aḥad,” dan ia sama sekali tidak menghiraukan perlakuan terhadap dirinya. Ia tetap mengesakan Allah. Pada suatu hari yang sangat terik, Umayyah pergi membawa Bilāl menuju padang pasir yang hanya terdiri atas pasir yang panas sekali. Andaikata diletakkannya daging di atasnya pasti daging itu matang. Lalu Umayyah memerintahkan orang-orangnya supaya meletakkan batu besar di atas dada Bilāl. Kemudian ia berkata kepada Bilāl: “Engkau akan tetap dalam keadaan begini hingga mati kecuali jika engkau ingkar kepada Muḥammad. Kemudian kembali menyembah Lātta dan ‘Uzzā.” Meskipun begitu Bilāl hanya mengucapkan: “Aḥad, Aḥad.

Lewatlah Abū Bakar dan melihat Bilāl dalam keadaan demikian. Kemudian Abū Bakar berkata: “Hai Umayyah, tidakkah engkau takut kepada Allah terhadap orang miskin ini? Sampai kapan engkau akan menyiksanya?” Umayyah menjawab: “Engkau telah merusaknya.” Abū Bakar pun menolongnya, ia membeli Bilāl dari tangan Umayyah dan langsung memerdekakannya. Selanjutnya, Allah menurunkan firman-Nya sehubungan dengan Umayyah ini yaitu:

فَأَنْذَرْتُكُمْ نَارًا تَلَظَّى. لَا يَصْلَاهَا إِلَّا الْأَشْقَى. الَّذِيْ كَذَّبَ وَ تَوَلَّى. وَ سَيُجَنَّبُهَا الْأَتْقَى. الَّذِيْ يُؤْتِيْ مَالَهُ يَتَزَكَّى. وَ مَا لِأَحَدٍ عِنْدَهُ مِنْ نِّعْمَةٍ تُجْزَى. إِلَّا ابْتِغَاءَ وَجْهِ رَبِّهِ الْأَعْلَى. وَ لَسَوْفَ يَرْضَى.

Maka, kami memperingatkan kamu dengan neraka yang menyala-nyala. Tidak ada yang masuk ke dalamnya kecuali orang yang paling celaka. Yang mendustakan (kebenaran) dan berpaling (dari iman). Dan kelak akan dijauhkan orang yang paling taqwā dari neraka itu. (Orang) yang menafkahkan hartanya (di jalan Allah) untuk membersihkannya. Padahal tidak ada seseorang pun memberikan suatu nikmat kepadanya yang harus dibalasnya. Namun, (dia memberikan itu semata-mata) karena mencari keridhaan Tuhannya yang Maha Tinggi. Dan kelak dia benar-benar mendapat kepuasan.” (QS. al-Lail [92]: 14-21) (311)

  • Al-Asyqā artinya orang yang celaka, dan orang yang dimaksud adalah Umayyah bin Khalaf
  • Al-Atqā artinya orang yang paling bertaqwā, dan orang yang dimaksud di sini ialah Abū Bakar.
  • Walasaufa yardhā artinya dia benar-benar dia akan mendapat kepuasan dari pahala yang diberikan Allah kepadanya, kelak di akhirat, sebagai balasan dari ‘amal-‘amalnya yang baik itu.

Dengan ayat-ayat di atas, Allah telah mengingatkan bahwa harta yang telah disumbangkan oleh shahabat Abū Bakar untuk membeli Bilāl dan kemudian memerdekakannya, tiada lain demi mendapat keridaan Allah s.w.t. Cukuplah dengan ayat-ayat ini sebagai pemuliaan dan keutamaan bagi Abū Bakar ash-Shiddīq r.a. Selain itu, shahabat Abū Bakar r.a. telah memerdekakan para hamba sahaya yang masuk Islām hingga majikan mereka menyiksanya. Di antara para hamba sahaya yang dimerdekakan oleh shahabat Abū Bakar r.a. ialah Ḥamāmah, ibunda Bilāl dan ‘Āmir bin Fuhairah. ‘Āmir bin Fuhairah disiksa oleh majikannya sampai ia tidak sadar akan apa yang diucapkannya. Abū Bakar juga memerdekakan hamba sahaya lainnya bernama Abū Fukaihah. Sebelum dibeli, ia adalah hamba sahaya milik Shafwān bin Umayyah bin Khalaf.

Hamba sahaya lainnya yang telah dimerdekakan oleh Abū Bakar ialah seorang wanita bernama Zanīrah. Ia disiksa karena memeluk agama Islām hingga matanya buta, tetapi hal tersebut justru semakin menambah keimanannya. Abū Jahal pernah berkata: “Tidakkah kalian heran melihat mereka (para shahabat) dan para pengikutnya. Seandainya apa yang didatangkan Muḥammad itu baik, niscaya mereka tidak akan dapat mendahului kami untuk beriman kepadanya. Apakah pantas Zanīrah mendahului kami mendapat petunjuk itu?” Kemudian Allah s.w.t. menurunkan firman-Nya:

وَ قَالَ الَّذِيْنَ كَفَرُوْا لِلَّذِيْنَ آمَنُوْا لَوْ كَانَ خَيْرًا مَّا سَبَقُوْنَا إِلَيْهِ وَ إِذْ لَمْ يَهْتَدُوْا بِهِ فَسَيَقُوْلُوْنَ هذَا إِفْكٌ قَدِيْمٌ

Dan orang-orang kafir berkata kepada orang-orang yang beriman: “Kalau sekiranya di (al-Qur’ān) adalah suatu yang baik, tentulah mereka tiada mendahului kami (beriman) kepadanya.’ Dan karena mereka tidak mendapat petunjuk dengannya maka mereka akan berkata: ‘Ini adalah dusta yang lama.” (QS. al-Aḥqāf [46]: 11).

Di antara hamba sahaya lain yang telah dimerdekakan oleh Abū Bakar setelah terlebih dahulu dibelinya adalah Ummu Unais. Sebelumnya, Unais adalah hamba sahaya perempuan milik Bani Zahrah, dan orang yang sering menyiksanya ialah al-Aswad bin ‘Abdi Yaghūts.

2. ‘Ammār bin Yāsir Berikut Saudara, Ayah, dan Ibunya

Di antara orang yang disiksa karena masuk Islām ialah ‘Ammār bin Yāsir berikut saudara, ayah, dan ibunya. Mereka disiksa dengan api, kemudian datang kepada mereka Rasūlullāh s.a.w. seraya bersabda:

Bersabarlah, wahai keluarga Yāsir karena sesungguhnya tempat kembali kalian adalah surga. Ya Allah, ampunilah keluarga yasir, sungguh mereka sedang menghadapi cobaan yang berat.”

Adapun ayah dan ibu ‘Ammār, keduanya meninggal dunia sewaktu dalam penyiksaan. Sementara ‘Ammār sendiri karena tidak tahan menghadapi siksaan yang keras dan bertubi-tubi, akhirnya terpaksa mengucapkan kalimat kekufuran. Sebelum itu Abū Jahal memakaikan kepada ‘Ammār baju besi, sedangkan waktu itu adalah hari yang sangat panas sehingga ‘Ammār tidak mampu menahan panas, lalu mengucapkan kalimat kekufuran. Kaum Muslimīn berkata: “‘Ammār telah kafir.” Namun, dijawab oleh Rasūlullāh s.a.w. bahwa ‘Ammār dipenuhi oleh iman mulai dari atas kepalanya hingga ujung kedua telapak kakinya. Sehubungan dengan peristiwa itu, Allah s.w.t. menurunkan firman-Nya sebagai pengecualian dalam hukum kemurtadan, yaitu:

مَنْ كَفَرَ بِاللهِ مِنْ بَعْدِ إيْمَانِهِ إِلَّا مَنْ أُكْرِهَ وَ قَلْبُهُ مُطْمَئِنٌّ بِالْإِيْمَانِ وَ لكِنْ مَّنْ شَرَحَ بِالْكُفْرِ صَدْرًا فَعَلَيْهِمْ غَضَبٌ مِّنَ اللهِ وَ لَهُمْ عَذَابٌ عَظِيْمٌ

Barang siapa yang kafir kepada Allah sesudah dia beriman (dia mendapat kemurkaan Allah), kecuali orang yang dipaksa kafir, padahal hatinya tetap tenang dalam beriman (dia tidak berdosa), akan tetapi orang yang melapangkan dadanya untuk kekafiran maka kemurkaan Allah menimpanya dan baginya ‘adzāb yang besar.” (QS. an-Naḥl [16]: 106).

3. Khabbāb bin al-Art

Orang lainnya yang disiksa karena masuk Islam ialah Khabbāb bin al-Art. Pada zaman jahiliah ia menjadi tawanan, kemudian dibeli oleh Ummu ‘Ammār. Ia adalah seorang pandai besi dan Muḥammad sering mengunjunginya sebelum diangkat menjadi Nabi. Tatkala Allah s.w.t. mengangkatnya menjadi Nabi, Khabbāb bin al-Art langsung masuk Islām. Majikannya pernah menyiksanya dengan api. Diambilnya sepotong besi yang membara lalu ditempelkannya di punggung Khabbāb, tapi hal itu tidak menggoyahkan keimanan Khabbāb bahkan semakin mengokohkannya. Pada suatu hari Khabbāb datang menemui Rasūlullāh s.a.w., ia mengadu: “Tidakkah engkau meminta pertolongan untuk kami? Tidakkah engkau berdoa untuk kami?”

Mendengar pertanyaan itu, Rasūlullāh s.a.w. segera bangkit dan mukanya merah padam, seraya berkata: “Sungguh, orang-orang sebelum kalian ada yang diringkus kemudian digalikan lubang baginya dan ia ditimbun di sana, lantas didatangkan gergaji dan diletakkan di kepalanya, sehingga kepalanya terbelah menjadi dua, dan ada yang disisir dengan sisir besi sehingga memisahkan tulang dan dagingnya, tapi semua siksaan itu tidak memalingkan mereka dari agamanya. Demi Allah, perkara ini akan sempurna sehingga seorang pengendara bisa berjalan dari Shan‘ā’ hingga Ḥadhramaut, dan ia tidak akan takut selain kepada Allah dan serigala yang akan menerkam kambingnya” (322).

Rasūlullāh s.a.w. mengatakan demikian karena dalam keadaan menerima tekanan yang sangat keras dari pihak kaum musyrikīn, yang tidak dapat diramalkan oleh orang pandai dan bijaksana mana pun bahwa di balik itu telah menunggu suatu kekuatan dan kebahagiaan masa depan. Tiada lain ramalan tersebut hanyalah waḥyu yang diturunkan kepadanya. Kemudian Allah s.w.t. menurunkan firman-Nya:

الم. أَحَسِبَ النَّاسُ أَنْ يُتْرَكُوْا أَنْ يَقُوْلُوْا آمَنَّا وَ هُمْ لَا يُفْتَنُوْنَ. وَ لَقَدْ فَتَنَّا الَّذِيْنَ مِنْ قَبْلِهِمْ فَلَيَعْلَمَنَّ اللهُ الَّذِيْنَ صَدَقُوْا وَ لَيَعْلَمَنَّ الْكَاذِبِيْنَ

Alif lām mīm. Apakah manusia itu mengira bahwa mereka dibiarkan (saja) mengatakan: “Kami telah beriman”, sedangkan mereka tidak diuji lagi? Dan sesungguhnya kami telah menguji orang-orang yang sebelum mereka maka sesungguhnya Allah mengetahui orang-orang yang benar dan sesungguhnya Dia mengetahui orang-orang yang dusta.” (QS. al-‘Ankabūt [29]: 1-3)

Catatan:

  1. 31). As-Sīrat-un-Nabawiyyah, Ibnu Hisyām (1/394)
  2. 32). HR. al-Bukhārī (3852)

Komentar

Belum ada komentar. Mengapa Anda tidak memulai diskusi?

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *