Hamdalah – Terjemah Kifayat-ul-‘Awam

KIFĀYAT-UL-‘AWĀM
Pembahasan Ajaran Tauhid Ahl-us-Sunnah

Karya: Syaikh Muḥammad al-Fudhalī
 
Penerjemah: H. Mujiburrahman
Diterbitkan Oleh: MUTIARA ILMU Surabaya

Sekapur Sirih

 

بِسْمِ اللهِ الرَّحْمنِ الرَّحِيْمِ

الْحَمْدُ للهِ الَّذِيْ جَعَلَ وُجُوْدَ الْمَوْجُوْدَاتِ مُعْتَقَدَاتِ الْأَنَامِ إِلَى وَحْدَانِيَّتِهِ. وَ خَلَقَ أَبَا الْبَشَرِ أَوَّلَ النَّاسِ دَلِيْلًا عَلَى قِدَمِهِ. اللهُمَّ صَلِّ وَ سَلِّمْ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ مَا دَامَتِ السَّموَاتُ وَ الْأَرْضُ فِيْ مَمَرِّ الدُّهُوْرِ و الْأَيَّامِ. صَلَاةً يَزُوْلُ بِهَا الظَّلَامُ مُمْحِيَةَ الْأَثَامِ وَ عَلَى آلِهِ وَ أَصْحَابِهِ السَّادَةِ الْأَمْجَادِ الْكِرَامِ.

Alḥamdulillāh dengan qudrat dan irādat Allah s.w.t. maka kitab KIFĀYAT-UL-‘AWĀM yang merupakan kitab mu’tabar dan selalu terpakai di hampir semua pondok-pondok pesantren di Indonesia ini dapat selesai diterjemahkan.

Kitab kecil yang membahas masalah tauhid ini adalah merupakan sebuah “kitab yang terkenal sukar, terlebih lebih pada pembicaraannya yang mengenai ta‘alluq, karena itulah maka tidak sedikit para penuntut yang enggan mengkajinya, bahkan para gurupun terkadang ada yang melarang atau menunda keinginan seseorang yang ingin mengkajinya. Padahal adanya kesulitan yang bagaimanapun selalu ada jalan untuk mengatasinya asal ada kemauan dan ketekunan. Bukankah batu karang yang padat bisa luluh dan lepuh hanya dengan ditetesi air yang terus-menerus.

Dan mengenai kesulitan yang ada pada sebuah kitab maka salah satu cara untuk mengatasinya adalah dengan jalan membanding-bandingkannya dengan beberapa kitab lain yang mengulas permasalahan yang sama.

Khusus untuk kitab KIFĀYAT-UL-‘AWĀM ini untuk memperoleh pemahaman yang lebih terang dan jelas dari ibarat-ibaratnya maka bisa dibandingkan dengan kitab-kitab yang lain, seperti:

  1. Hudi-hudi beserta ḥasyiahnya (حاشيه الشرقاوي علي شرح الهدهدي) : Syarqāwī.
  2. Jauharat-ut-Tauḥīd beserta syarahnya : Tuḥfat-ul-Murīd.
  3. Umm-ul-Barāhīn beserta ḥasyiahnya : ad-Dasūkī.
  4. Matan Sanusi beserta syarahnya : al-Bajūrī.
  5. Matan Bajūrī beserta syarahnya : Tijān-ud-Dhurarī.

Adapun faedah mempelajari ‘Ilmu Tauḥīd yang juga terkenal dengan ‘Ilmu Kalām dan ‘Ilmu Ushūl-ud-Dīn adalah untuk memperluas jangkauan keimanan kita yang sudah ada di dalam dada, dengan harapan agar keimanan tersebut bisa jadi pendorong untuk tumbuhnya jiwa yang peka terhadap ‘amal-‘amal kebaikan hingga bisa tampil sebagai pelaku yang aktif bukan sebagai penonton yang pasif, sekaligus juga diharapkan agar keimanan itu bisa menjadi pengendali terhadap hal-hal negatif yang terlarang dalam pandangan syara‘, tidak hanya yang dilarang dengan larangan keras sehingga berhukum ḥarām, namun juga yang dilarang dengan larangan tidak keras yang hanya berhukum makrūh.

Hanya dengan keimanan yang bisa berfungsi sebagai pendorong dan pengendali maka kita tidak akan terperosok ke dalam tumpukan orang-orang yang hanya menghimpun aneka macam teori kebaikan, namun tetap saja berdiri kaku sebagai penonton yang miskin kepedulian dan kesadaran.

Apalah gunanya menghimpun hukum ini dan hukum itu kalau hanya untuk dipajang dan dilalaikan. Bukankah hanya akan melahirkan ‘adzab dan dosa sebagaimana disinggung dalam kitab ZUBAD oleh Ibnu Ruslān:

فَعَالِمٌ بِعِلْمِهِ لَمْ يَعْمَلَنْ مُعَذَّبٌ مِنْ قَبْلِ عُبَّادِ الْوَثَنْ.

Maka orang ‘ālim yang tidak pernah meng‘amalkan ‘ilmunya akan ter‘adzab sebelum di‘adzabnya para manusia penyembah berhala.”

Betapa tidak karena orang ‘ālim itu, keengganannya terhadap yang baik adalah sesudah dia tahu perihal kebaikan sementara manusia penyembah berhala adalah lantaran kejahilan. Hanyalah keimanan yang kering dan gersang yang tak pernah disiram dengan tetesan air ketauḥīdan yang mengakibatkan munculnya berbagai macam keengganan.

Maka sangatlah tepat jika sebagian ‘ulamā’ ada yang bersya‘ir:

أَيُّهَا الْمُبْتَدِي لِتَطْلُبْ عِلْمًا كُلُّ عِلْمٍ عَبْدٌ لِعِلْمِ الْكَلَامِ.
تَطْلُبُ الْفِقْهَ كَيْ تُصَحِّحْ حُكْمًا ثُمَّ اغْفَلْتَ مَنْزِلَ الْأَحْكَامِ.

Wahai orang yang baru belajar! Hendaklah engkau menuntut ‘ilmu. Setiap ‘ilmu adalah hamba bagi ‘ilmu kalām.
Engkau menuntut ‘ilmu fiqih agar engkau mensahkan satu hukum kemudian engkau lalaikan kedudukan hukum-hukum itu.”

Akhirnya, mudah-mudahan ikhtiar penterjemahan kitab KIFĀYAT-UL-‘AWĀM ini yang disertai dengan beberapa penjelasan dapat bermanfaat bagi para santri pondok pesantren, para pelajar, mahasiswa serta para penuntut ‘ilmu lainnya yang berminat di kalangan kaum muslimin.

Sekaligus juga harapan ini kami tujukan kepada segenap ‘Ālim ‘Ulamā’ dan para Ahli Ushūl-ud-Dīn lainnya agar dapat kiranya memberikan koreksi terhadap kalimat-kalimat yang mungkin ada mengandung kekeliruan yang bisa merubah maksud dari kitab aslinya.

Dan semoga usaha yang sederhana ini kelak akan menjadi perantara bagi keselamatan kami di akhirat sebagai tebusan akibat banyaknya dosa dan kesalahan. Amin.

PP. AL-RAISIYYAH
SEKARBELA.

 

 

I. KHUTBAH KITAB

1. ḤAMDALAH

 

الْحَمْدُ للهِ الْمُنْفَرِدِ بِالْإِيْجَادِ

Segala puji bagi Allah yang bersendiri dengan (perbuatan) menjadikan.”

 

Maksud dari (الْمُنْفَرِدِ بِالْإِيْجَادِ) adalah yang khusus Ia dengan perbuatan menjadikan sesuatu, baik sesuatu itu ikhtiyārī ataupun idhthirārī, bersifat baik ataupun buruk meskipun tidak boleh menisbahkan keburukan itu kepada Allah kecuali pada maqām ta‘līm (tempat pengajian).

Maka pada kalam Mushannif (Pengarang, penulis) itu terdapat isyarat kepada madzhab Ahl-us-Sunnah berupa Waḥdāniyyat-ul-Af‘āl dan penolakan kepada madzhab Mu‘tazilah yang mengatakan bahwa hamba itu menjadikan perbuatan-perbuatannya yang ikhtiyāriyyah.

Pengertian (الْإِيْجَادِ) adalah:

إِبْرَازُ الْمُمْكِنِ مِنَ الْعَدَمِ إِلَى الْوُجُوْدِ.

Menampakkan perkara yang mungkin dari tidak ada kepada ada.”

Pada perkataan Mushannif tersebut diringkaskan sifat kesendirian Allah dengan (الْإِيْجَادِ) saja, sedangkan Allah di samping sendiri dengan (الْإِيْجَادِ) juga sendiri dengna (الْإِعْدَامُ) ya‘ni meniadakan.

Dalam hal ini Syaikh Ibrāhīm al-Bajūry yang merupakan salah seorang murid Mushannif berpendapat bahwa alasan Mushannif dengan meringkas seperti itu adalah karena keadaan (الْإِيْجَادِ) itu sebagai yang disepakati atasnya (مُتَّفَقُ عَلَيْهِ) di kalangan Ahl-us-Sunnah.

Adapun (الْإِعْدَامُ) tidak disepakati oleh Imām Ḥaramain di mana beliau berkata bahwa yang mungkin itu akan menjadi tidak ada dengan sendirinya dengan sebab Allah memutuskan daripadanya akan sebab-sebab wujud.

Pendapat Syaikh Ibrāhīm al-Bajūry ini lebih dalam dibandingkan dengan jawaban sebagian ‘ulamā’ bahwa pada perkataan itu terdapat iktifā’ (kecukupan). Berdasarkan jawaban ini maka Mushannif berbuat yang demikian itu adalah untuk sajak (yang merupakan salah satu cara memperindah lafazh sebagaimana tersebut dalam Ilmu Balāghah.

Pada perkataan Mushannif di atas dipergunakan nama (الْمُنْفَرِدِ) untuk Allah s.w.t. Kalau nama tersebut adalah termasuk yang WĀRID ya‘ni ada di dalam al-Qur’ān, Sunnah (baik yang shaḥīḥ atau ḥasan) atau dalam ijma‘ maka bolehlah mempergunakannya. Adapun jika nama itu tidak WĀRID dan dialah yang zhāhir maka kenapakah Mushannif menggunakannya atas Allah s.w.t. sedangkan nama-nama Allah s.w.t. itu bersifat TAUQĪFIYYAH ya‘ni terhenti kebolehan menggunakannya atas Allah s.w.t. pada keadaan wārid atau tidaknya.

Maka dikatakan bahwa Mushannif dalam hal ini mengikuti Syaikh Abū Bakar al-Bāqilānī di mana beliau membolehkan penggunaan nama atas Allah s.w.t. yang tidak ada idzin dan larangan padanya, sedangkan Allah s.w.t. bersifat dengan ma‘nanya dan nama itu tidak memberi prasangka pada sesuatu yang mustaḥīl pada hak Allah s.w.t.

1 Komentar

  1. Ghusron berkata:

    Lanjut sangat membantu

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *