Hal-hal yang Membatalkan Wudhu’ – Bab Thaharah – Ringkasan Fiqih Mazhab Syafi’i

RINGKASAN FIQIH MAZHAB SYAFI‘I
(Penjelasan Kitab Matan Abu Syuja‘ dengan Dalil al-Qur’an dan Hadits)
Oleh: Musthafa Dib al-Bugha

Penerjemah: Toto Edidarmo
Penerbit: Noura Books (PT Mizan Publika)

Rangkaian Pos: Bab 1 Bersuci (Thahārah) - Ringkasan Fiqih Mazhab Syafi'i

Hal yang Membatalkan Wudhū’.

Hal-hal yang membatalkan wudhū’ ada enam.

  1. Keluar sesuatu dari dua jalur. (1)

(1). Maksudnya adalah kemaluan depan (penis atau vagina) dan belakang (dubur atau anus). Dalilnya adalah firman Allah s.w.t. dalam ayat wudhu’:

أَوْ جَاءَ أَحَدٌ مِنْكُمْ مِنَ الْغَائِطِ…

“…. atau seorang dari kamu telah kembali dari tempat buang air (al-ghā’ith)…..” (QS. al-Ma’idah [5]: 6).

Makna “al-ghā’ith” ialah tempat rendah yang digunakan untuk membuan hajat (kotoran). Orang yang kembali dari tempat itu berarti telah membuang hajat. “Membuang hajat” merupakan kiasan dari kencing dan buang air besar, yaitu sesuatu yang keluar dari qubul dan dubur. Dan dinamakan demikian sesuai dengan kaidah “menyebutkan tempat, tetapi maksudnya adalah perbuatan yang dilakukan di tempat itu.”

Di antara hadits yang menjadi dalil keluarnya sesuatu dari dua jalur adalah riwayat Abū Hurairah r.a. berikut:

قَالَ رَسُوْلُ اللهِ (ص): لَا يَقْبَلُ اللهُ صَلَاةَ أَحَدِكُمْ إِذَا أَحْدَثَ حَتَّى يَتَوَضَّأَ. فَقَالَ رَجُلٌ مِنْ حَضْرَمَوْتَ: مَا الْحَدَثُ، يَا أَبَا هُرَيْرَةَ؟ قَالَ: فُسَاءٌ أَوْ ضُرَاطٌ.

Rasūlullāh s.a.w. bersabda: “Allah s.w.t. tidak menerima shalat seseorang dari kalian apabila ia berhadats sampai ia berwudhū’”. Seorang laki-laki dari Hadhramaut bertanya: “Apa itu hadats, wahai Abū Hurairah?” Abū Hurairah menjawab: “Kentut yang bersuara kecil atau besar.” (al-Bukhārī, al-Wudhū’, Bab “Lā Tuqbalu Shalāt[un] bi Ghair Thahūr”, hadits no. 6554; Muslim, at-Thahārah, Bab “Wujūb-uth-Thahārati lish-Shalāti”, hadits no. 225).

Ketentuan ini menjadi analogi hukum untuk setiap benda yang keluar melalui kemaluan depan (qubul) dan belakang (dubur) meskipun yang keluar adalah benda yang suci.

***

  1. Tidur dalam kondisi yang tidak stabil (sesekali condong).
  2. Hilang akal karena mabuk atau sakit. (1).

(1). Dalilnya adalah hadits yang diriwayatkan oleh ‘Alī r.a. berikut:

قَالَ رَسُوْلُ اللهِ (ص): وِكَاءُ السَّهِ الْعَيْنَانِ فَمَنْ نَامَ فَلْيَتَوَضَّأْ.

“Rasūlullāh s.a.w. pernah bersabda: “Pengikat pantat adalah mata. Siapa yang tidur, maka berwudhū’lah.” (Abū Dāūd, ath-Thahārah, Bab “Fil-Wudhū’i min-an-Naum”, hadits no. 203; Ibnu Mājah, ath-Thahārah, Bab “al-Wudhū’u min-an-Naum”, hadits no. 477).

Dalam hadits lain, Mu‘āwiyah bin Abī Sufyān r.a. mengatakan:

أَنَّ النَّبِيَّ (ص) قَالَ: إِنَّمَا الْعَيْنَانُ وِكَاءُ السَّهِ، فَإِذَا نَامَتِ الْعَيْنُ اسْتَطْلَقَ الْوِكَاءُ.

“Rasūlullāh s.a.w. bersabda: “Kedua mata merupakan pengikat pantat. Jika mata tertidur maka ikatan tersebut terlepas.” (ad-Dārimī, ath-Thahārah, Bab “Fil-Wudhū’i min-an-Naum”, hadits no. 723; ad-Dāruquthnī, ath-Thahārah, Bab “Fī mā Ruwiya fī Man Nāma Qā’idan aw Qā’iman”, hadits no. 2; Abū Ya‘lā, Ḥadītsu Mu‘āwiyah, hadits no. 19).

Hadits ini menjelaskan bahwa kesadaran itu dapat menjaga seseorang dari segala sesuatu yang akan keluar dari perutnya karena ia bisa merasakannya. Apabila ia tidur, kesadarannya akan hilang, dan sesuatu yang keluar dari perutnya (seperti kentut) diduga kuat tidak akan terjaga lagi. Adapun tidur yang stabil tidak menghilangkan kesadaran, seperti orang yang tertidur dalam keadaan duduk atau bersandar pada dinding, sementara dua pantatnya menekan ke permukaan lantai. Selama tubuhnya tidak bergerak (condong), wudhū’nya tidak batal, dengan catatan ia masih merasakan kesadaran.

Hilangnya kesadaran ketika tidur di-qiyās-kan dengan kondisi gila, pingsan, dan mabuk, meskipun hal tersebut terjadi lebih cepat atau lebih lama daripada kondisi lainnya. Sebab, orang yang tidur dalam kondisi yang sangat nyenyak akan tetap terjaga meskipun dalam tingkat kesadaran yang sangat rendah. Hal ini berbeda dengan orang yang gila, pingsan, atau mabuk. Mereka tidak akan ingat sesuatu pun hingga mereka tersadar kembali. Oleh karena itu, kondisi gila, pingsan, dan mabuk dipandang lebih kuat dalam membatalkan wudhū’.

***

  1. Bersentuhan kulit antara laki-laki dengan perempuan yang bukan mahram (1) tanpa penghalang (2).

(1). Maksudnya, bersentuhan kulit laki-laki dengan perempuan yang boleh dinikahinya, baik ketika sebelum terjadi perkawinan maupun sesudahnya. Ketentuan ini juga berlaku bagi suami-istri dan tidak berlaku bagi orang yang haram menikah di antara mereka salamanya. Penjelasan lebih lanjut tentang masalah ini akan diuraikan pada Bab “Nikah”.

(2). Dalil mengenai ketentuan ini adalah firman Allah s.w.t.:

وَ لَامَسْتُمُ النِّسَاءَ…

“…. Atau kamu telah menyentuh perempuan….” (QS. an-Nisā’ [4]: 43).

Makna (لَامَسْتُمُ) masdarnya: mulāmasah) adalah menyentuh. Hal ini ditunjukkan oleh bacaan mutawātir lain yang menyebutkan: (لَمَسْتُمُ) masdarnya: lums). Alasannya, bersentuhan bagi orang yang menikmatinya, secara umum diduga kuat dapat merangsang terjadinya hadats berupa keluar madzi atau mani.

***

  1. Menyentuh kemaluan manusia dengan telapak tangan bagian dalam.
  2. Menyentuh lubang dubur (mansusia) (1).

(1). Ketentuan ini dijelaskan dalam beberapa hadits, antara lain:

Hadits yang diriwayatkan oleh para penulis kitab Sunan (Abū Dāūd, an-Nasā’ī, at-Tirmidzī, dan Ibnu Mājah) dari Busrah binti Shafwān r.a.:

أَنَّ النَّبِيَّ (ص) قَالَ: مَنْ مَسَّ ذَكَرَهُ فَلَا يُصَلِّ حَتَّى تَوَضَّأَ.

Nabi s.a.w. bersabda: “Siapa yang menyentuh kemaluannya maka ia tidak boleh shalat hingga ia berwudhū’

Dalam riwayat an-Nasā’ī disebutkan:

قَالَ رَسُوْلُ اللهِ (ص): وَ يُتَوَضَّأُ مِنْ مَسِّ الذَّكَرِ.

“Rasūlullāh s.a.w. bersabda: “Wudhū’ dilakukan karena menyentuh kemaluan”.”

Hadits ini mencakup orang yang menyentuh kemaluan sendiri atau kemaluan orang lain. Menyentuh kemaluan orang lain lebih buruk dibandingkan menyentuh kemaluan sendiri. Sebab, menyentuh orang lain berarti merampas kehormatannya, dan orang yang disentuh tentu mereka tidak suka dengan hal itu.

Dalam riwayat Ibnu Mājah dari Ummu Ḥabībah dan Abū Ayyūb r.a. disebutkan:

مَنْ مَسَّ فَرْجَهُ فَلْيَتَوَضَّأْ

Siapa yang menyentuh kemaluannya hendaklah ia berwudhū’.” (Abū Dāūd, ath-Thahārah, Bab “al-Wudhū’u min Mass-idz-Dzakar”, hadits no. 181; at-Tirmidzī, ath-Thahārah, Bab “Mā Jā’a fil-Wudhū’i min Mass-idz-Dzakar”, hadits no. 82-84. At-Tirmidzī berkata: “Kualitas hadits ini ḥasan shaḥīḥ; redaksi dari at-Tirmidzī”; an-Nasā’ī, ath-Thahārah, Bab “al-Wudhū’u min Mass-idz-Dzakar”, hadits no. 163, 164; lihat juga Ibnu Mājah, ath-Thahārah, Bab “al-Wudhū’u min Mass-idz-Dzakar”, hadits no. 479, 481, 482).

Hadits lain diriwayatkan dari Abū Hurairah r.a. yang berkata:

قَالَ رَسُوْلُ اللهِ (ص): إِذَا أَفْضَى أَحَدُكُمْ بِيَدِهِ إِلَى فَرْجِهِ وَ لَيْسَ بَيْنَهُمَا سِتْرٌ وَ لَا حِجَابٌ فَلْيَتَوَضَّأْ.

Rasūlullāh s.a.w. bersabda: “Jika seorang dari kalian menyentuh kemaluannya (farji) tanpa pelapis atau penghalang, hendaklah ia berwudhu’.” (Mawārid-uzh-Zham‘aāni ila Zawā’id Ibnu Ibni Ḥibbān, ath-Thahārah, Bab “Mā Jā’a fī Mass-il-Farj”, hadits no. 210).

Ketentuan ini berlaku bagi laki-laki dan perempuan. Maksud kemaluan (farji) adalah bagian depan (qubul) dan bagian belakang (dubur).

Komentar

Belum ada komentar. Mengapa Anda tidak memulai diskusi?

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *