Hal-hal yang Berkaitan dengan Mayat Seperti Memandikan dan Lainnya – Fikih Empat Madzhab

Fikih Empat Madzhab
(Maliki, Hanafi, Hanbali, Syafi‘i)
(Judul: Ijmā‘-ul-A’immat-il-Arba‘ati waikhtilāfihim).
Oleh: Al-Wazir Yahya bin Muhammad bin Hubairah

Penerjemah: Ali Mh.
Penerbit: PUSTAKA AZZAM

Rangkaian Pos: 003 Kitab Jenazah - Fikih Empat Madzhab

KITĀB JENĀZAH (6511)

 

  1. Keempat imam madzhab (Mālik, Abū Ḥanīfah, Aḥmad bin Ḥanbal, dan asy-Syāfi‘ī) sepakat bahwa disunnahkan mengingat mati. Juga dianjurkan agar orang yang memegang amanah atau barang titipan agar segera memberikannya kepada yang berhak ketika kondisinya masih sehat, dan bila dia sedang sakit maka anjuran ini lebih ditekankan. (6522).

 

  1. Mereka sepakat bahwa apabila seseorang dipastikan telah wafat maka dia harus dihadapkan ke arah qiblat. (6533).

 

Bab: Hal-hal yang Berkaitan dengan Mayat Seperti Memandikan dan Lainnya.

 

  1. Keempat imam madzhab (Mālik, Abū Ḥanīfah, Aḥmad bin Ḥanbal, dan asy-Syāfi‘ī) sepakat bahwa memandikan mayat disyariatkan. Hukumnya adalah Fardhu Kifāyah yang apabila telah dilakukan oleh sebagian orang maka kewajibannya gugur dari sebagian yang lain. Mereka juga sepakat bahwa dianjurkan agar mayat dishalatkan selain orang yang mati syahid. (6544).

 

  1. Mereka berbeda pendapat, apakah yang lebih utama mayat dimandikan dalam kondisi telanjang atau ditutupi dengan baju kurung?

Abū Ḥanīfah dan Mālik berkata: “Yang lebih utama adalah agar dia dimandikan dalam kondisi telanjang, hanya saja auratnya tetap ditutupi.”

Asy-Syāfi‘ī dan Aḥmad berkata: “Yang lebih utama adalah memandikannya dengan memakai baju kurung (gamis).” (6555).

 

  1. Mereka berbeda pendapat, apakah jasad manusia menjadi najis bila dia meninggal dunia?

Abū Ḥanīfah, Aḥmad – dalam salah satu dari dua riwayat darinya – , dan asy-Syāfi‘ī – dalam salah satu dari dua pendapatnya – berkata: “Jasadnya menjadi najis, hanya saja bila jasad orang Islam telah dimandikan maka menjadi suci.”

Mālik, asy-Syāfi‘ī, dan Aḥmad dalam riwayat yang masyhur dari mereka, berkata: “Jasadnya tidak najis.” (6566).

 

  1. Mereka sepakat bahwa istri boleh mandikan suaminya (yang wafat). (6577).

 

  1. Mereka berbeda pendapat, apakah suami boleh memandikan istrinya (yang wafat)?

Abū Ḥanīfah berkata: “Tidak boleh.”

Imām-imām lainnya berkata: “Boleh” (6588).

 

  1. Mereka sepakat bahwa bayi keluron (bayi yang lahir dalam keadaan mati) yang usianya belum mencapai 4 bulan tidak perlu dishalati. (6599).

 

  1. Mereka berbeda pendapat tentang bayi keluron yang lahir (dalam keadaan mati) setelah usianya mencapai 4 bulan.

Abū Ḥanīfah berkata: “Apabila ada tanda-tanda kehidupan (sebelum mati), seperti bersin atau gerakan atau mau menyusui, maka bayi tersebut dimandikan dan dishalati.”

Mālik berkata: “Hukumnya demikian, kecuali gerakan, karena disyaratkan harus berupa gerakan yang jelas yang diiringi dengan diam lama yang menunjukkan ada tanda-tanda kehidupan (sebelum mati).”

Asy-Syāfi‘ī berkata: “Dia harus dimandikan.”

Dalam hal ini hanya ada satu pendapat. Kemudian bila bayi tersebut telah berusia 4 bulan, apakah dia harus dishalati? Dalam hal ini ada dua pendapat beliau. Pendapat baru (Qaul Jadīd) yang masyhur adalah bahwa dia tidak perlu dishalati.

Aḥmad berkata: “Dia dimandikan dan dishalati.” (66010).

 

  1. Mereka sepakat bahwa orang yang mati syahid yang gugur dalam peperangan tidak perlu dimandikan.

 

  1. Mereka berbeda pendapat, apakah dia dishalati?

Abū Ḥanīfah dan Aḥmad – dalam salah satu dari dua riwayat darinya – berkata: “Dia harus dishalati.”

Mālik, asy-Syāfi‘ī, dan Aḥmad – dalam riwayat lain – berkata: “Dia tidak perlu dishalati.”

Alasan dia tidak dishalati adalah karena kemuliaannya, karena tidak pantas orang mati syahid yang kedudukannya tinggi dihadiri oleh orang yang kedudukannya di bawahnya. Di samping itu, kondisinya sedang perang sehingga tidak disyariatkan melakukan sesuatu yang mengganggu peperangan karena bisa menyebabkan kemenangan musuh. Alasan ia dishalati adalah karena Rasūlullāh s.a.w. menshalati orang yang mati syahid, sementara beliau adalah manusia yang paling mulia. (66111).

 

  1. Mereka sepakat bahwa wanita yang wafat dalam kondisi sedang Nifas tetap dimandikan dan dishalati. (66212).

 

  1. Mereka sepakat bahwa orang yang diseruduk binatang hingga tewas atau orang yang terkena senjatanya sendiri hingga tewas atau orang yang jatuh dari puncak bukit atau jatuh ke sungai hingga tewas dalam peperangan melawan kaum musyrikin tetap dimandikan dan dishalati. Berbeda dengan Imām asy-Syāfi‘ī yang mengatakan: “Dia tidak perlu dimandikan dan dishalati.” (66313).

 

  1. Mereka sepakat bahwa yang wajib dalam memandikan adalah yang bisa mensucikan, dan disunnahkan agar menyiramnya dengan bilangan ganjil. Juga disunnahkan agar memandikannya dengan air yang dicampur daun bidara, kemudian yang terakhir dicampur dengan kapur. (66414).

 

  1. Mereka berbeda pendapat siraman-siraman saat memandikan.

Abū Ḥanīfah dan Aḥmad berkata: “Disunnahkan agar semua air yang disiramkan dicampur dengan daun bidara.”

Mālik dan asy-Syāfi‘ī berkata: “Yang dicampur dengan daun bidara hanya salah satu siraman saja.” (66515).

 

  1. Mereka berbeda pendapat tentang niat dalam memandikan mayat.

Mālik, asy-Syāfi‘ī dan Aḥmad berkata: “Hukumnya wajib.”

Abū Ḥanīfah berkata: “Tidak wajib, tapi niat melakukannya merupakan syarat.” (66616).

 

  1. Mereka sepakat bahwa rambut mayat tidak perlu disisir. Kecuali asy-Syāfi‘ī yang mengatakan: “Disisir dengan ringan.” (66717).

 

  1. Mereka sepakat bahwa rambut mayat perempuan dijalin dengan tiga tali lalu diletakkan di belakang tubuhnya. Kecuali Abū Ḥanīfah yang mengatakan: “Wanita yang memandikannya cukup menguraikannya ke atas tubuhnya dari dua sisi tanpa menjalinnya lalu menguraikan kerudungnya di atasnya.” (66818).

 

  1. Mereka sepakat bahwa apabila seseorang wafat dalam kondisi belum dikhitan, maka dia dibiarkan apa adanya dan tidak dikhitan. (66919).

 

  1. Mereka berbeda pendapat tentang menggunting kuku mayat dan mencukur kumisnya bila kumisnya panjang.

Asy-Syāfi‘ī – dalam al-Imla’ – dan Aḥmad berkata: “Hukumnya dibolehkan.”

Abū Ḥanīfah, Mālik, dan asy-Syāfi‘ī – dalam Qaul Qadīm-nya berkata: “Dibiarkan apa adanya.”

Mālik bersikap keras dalam hal ini sampai dia mewajibkan hukum Ta‘dzīr atas pelakunya. (67020).

 

  1. Mereka berbeda pendapat, apakah seorang laki-laki boleh memandikan wanita yang masih semahram dengannya?

Abū Ḥanīfah dan Aḥmad berkata: “Tidak boleh.”

Mālik, dan asy-Syāfi‘ī berkata: “Boleh”.

Hanya saja Mālik membolehkannya dengan syarat ketika tidak ada wanita dan setelah dia membungkus tangannya dengan kain tebal, lalu dia memandikannya dari atas pakaiannya.

Apabila wanita tersebut tidak memiliki mahram dan tidak ada wanita yang dapat memandikannya, maka laki-laki asing boleh memukul debu dengan tangannya seraya meniatkan Tayammum untuk mayat wanita tersebut, lalu dia mengusap wajahnya dan kedua telapak tangannya. Demikianlah menurut Mālik dan Aḥmad dalam salah satu dari dua riwayat darinya.

Dalam kasus ini kami tidak menemukan pendapat Imām asy-Syāfi‘ī. Hanya saja ada dua pendapat fuqahā’ Syāfi‘iyyah. Yang paling sah adalah seperti madzhab Mālik dan salah satu dari dua riwayat dari Aḥmad.

Abū Ḥanīfah berkata: “Tayammumnya harus sampai kedua siku. Apabila mayatnya laki-laki dan tidak ada yang menghadirinya selain kaum perempuan, maka menurut Abū Ḥanīfah dan Mālik mereka boleh men-Tayammum-i mayat tersebut sampai kedua siku.

Aḥmad berkata: “Tayammumnya sampai dua pergelangan tangan.” (67121).

Catatan:

  1. 651). Dalam manuskrip “Z” tertulis: Bab Shalat Jenazah dan Hal-hal Yang Berkaitan Dengan Mayat. Sedangkan dalam naskah yang dicetak tertulis: “Bab Hal-hal Yang Dilakukan Terhadap Orang Mati.”
  2. 652). Lih. al-Mughnī (2/302), dan Raḥmat-ul-Ummah (67).
  3. 653). Lih. al-Hidāyah (1/96), Badā’i‘-ish-Shanā’ī‘ (2/301), Bidāyat-ul-Mujtahid (1/411), dan al-Mughnī (2/307).
  4. 654). Lih. Bidāyat-ul-Mujtahid (1/413), al-Muhallā (5/113), Badā’i‘-ish-Shanā’ī‘ (2/303), dan al-Majmū‘ (5/112).
  5. 655). Lih. al-Hidāyah (1/96), Badā’i‘-ish-Shanā’ī‘ (2/305), Bidāyat-ul-Mujtahid (1/419), dan al-Mughnī (2/314).
  6. 656). Lih. Raḥmat-ul-Ummah (67) dan at-Taḥqīq (4/203).
  7. 657). Lih. al-Ijma‘ karya Ibu-ul-Mundzir (27), dan al-Istidzkār (3/11).
  8. 658). Lih. Bidāyat-ul-Mujtahid (1/416), dan al-Majmū‘ (5/122), dan asy-Syarḥ-ul-Kabīr (2/311).
  9. 659). Lih. Raḥmat-ul-Ummati fī Ikhtilāf-il-A’immah (68).
  10. 660). Lih. Raḥmat-ul-Ummah (68), Badā’i‘-ish-Shanā’ī‘ (2/310), at-Taḥqīq (4/218), dan al-Mughnī (2/393).
  11. 661). Lih. al-Majmū‘ (5/225), al-Mughnī (2/398), al-Hidāyah (1/101), al-Muhallā (5/115).
  12. 662). Lih. al-Majmū‘ (5/123).
  13. 663). Lih. al-Mughnī (2/401), dan al-Majmū‘ (5/221).
  14. 664). Lih. al-Mughnī (2/320), dst., Bidāyat-ul-Mujtahid (1/420), al-Majmū‘ (5/134), dan Badā’i‘-ish-Shanā’ī‘ (2/309).
  15. 665). Lih. referensi-referensi sebelumnya.
  16. 666). Lih. asy-Syarḥ-ul-Kabīr (2/319), al-Mughnī (2/329), al-Muhadzdzab (1/239), dan Raḥmat-ul-Ummah (68).
  17. 667). Lih. al-Hidāyah (1/97), asy-Syarḥ-ul-Kabīr (2/324), dan al-Umm (2/642).
  18. 668). Lih. Raḥmat-ul-Ummah (67), al-Majmū‘ (5/143), dan asy-Syarḥ-ul-Kabīr (2/326).
  19. 669). Lih. al-Mughnī (2/407), asy-Syarḥ-ul-Kabīr (2/325), Badā’i‘-ish-Shanā’ī‘ (2/307), dan al-Muhadzdzab (1/241).
  20. 670). Lih. al-Hidāyah (1/97), Bidāyat-ul-Mujtahid (1/422), al-Mughnī (2/406), dan at-Talqīn (141).
  21. 671). Lih. Bidāyat-ul-Mujtahid (1/416), dst. al-Mudawwanah (1/315), dan Badā’i‘-ish-Shanā’ī‘ (2/319).

Komentar

Belum ada komentar. Mengapa Anda tidak memulai diskusi?

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *