Abū Ḥanīfah dan Mālik berkata: “Yang lebih utama adalah agar dia dimandikan dalam kondisi telanjang, hanya saja auratnya tetap ditutupi.”
Asy-Syāfi‘ī dan Aḥmad berkata: “Yang lebih utama adalah memandikannya dengan memakai baju kurung (gamis).” (6555).
Abū Ḥanīfah, Aḥmad – dalam salah satu dari dua riwayat darinya – , dan asy-Syāfi‘ī – dalam salah satu dari dua pendapatnya – berkata: “Jasadnya menjadi najis, hanya saja bila jasad orang Islam telah dimandikan maka menjadi suci.”
Mālik, asy-Syāfi‘ī, dan Aḥmad dalam riwayat yang masyhur dari mereka, berkata: “Jasadnya tidak najis.” (6566).
Abū Ḥanīfah berkata: “Tidak boleh.”
Imām-imām lainnya berkata: “Boleh” (6588).
Abū Ḥanīfah berkata: “Apabila ada tanda-tanda kehidupan (sebelum mati), seperti bersin atau gerakan atau mau menyusui, maka bayi tersebut dimandikan dan dishalati.”
Mālik berkata: “Hukumnya demikian, kecuali gerakan, karena disyaratkan harus berupa gerakan yang jelas yang diiringi dengan diam lama yang menunjukkan ada tanda-tanda kehidupan (sebelum mati).”
Asy-Syāfi‘ī berkata: “Dia harus dimandikan.”
Dalam hal ini hanya ada satu pendapat. Kemudian bila bayi tersebut telah berusia 4 bulan, apakah dia harus dishalati? Dalam hal ini ada dua pendapat beliau. Pendapat baru (Qaul Jadīd) yang masyhur adalah bahwa dia tidak perlu dishalati.
Aḥmad berkata: “Dia dimandikan dan dishalati.” (66010).
Abū Ḥanīfah dan Aḥmad – dalam salah satu dari dua riwayat darinya – berkata: “Dia harus dishalati.”
Mālik, asy-Syāfi‘ī, dan Aḥmad – dalam riwayat lain – berkata: “Dia tidak perlu dishalati.”
Alasan dia tidak dishalati adalah karena kemuliaannya, karena tidak pantas orang mati syahid yang kedudukannya tinggi dihadiri oleh orang yang kedudukannya di bawahnya. Di samping itu, kondisinya sedang perang sehingga tidak disyariatkan melakukan sesuatu yang mengganggu peperangan karena bisa menyebabkan kemenangan musuh. Alasan ia dishalati adalah karena Rasūlullāh s.a.w. menshalati orang yang mati syahid, sementara beliau adalah manusia yang paling mulia. (66111).
Abū Ḥanīfah dan Aḥmad berkata: “Disunnahkan agar semua air yang disiramkan dicampur dengan daun bidara.”
Mālik dan asy-Syāfi‘ī berkata: “Yang dicampur dengan daun bidara hanya salah satu siraman saja.” (66515).
Mālik, asy-Syāfi‘ī dan Aḥmad berkata: “Hukumnya wajib.”
Abū Ḥanīfah berkata: “Tidak wajib, tapi niat melakukannya merupakan syarat.” (66616).
Asy-Syāfi‘ī – dalam al-Imla’ – dan Aḥmad berkata: “Hukumnya dibolehkan.”
Abū Ḥanīfah, Mālik, dan asy-Syāfi‘ī – dalam Qaul Qadīm-nya berkata: “Dibiarkan apa adanya.”
Mālik bersikap keras dalam hal ini sampai dia mewajibkan hukum Ta‘dzīr atas pelakunya. (67020).
Abū Ḥanīfah dan Aḥmad berkata: “Tidak boleh.”
Mālik, dan asy-Syāfi‘ī berkata: “Boleh”.
Hanya saja Mālik membolehkannya dengan syarat ketika tidak ada wanita dan setelah dia membungkus tangannya dengan kain tebal, lalu dia memandikannya dari atas pakaiannya.
Apabila wanita tersebut tidak memiliki mahram dan tidak ada wanita yang dapat memandikannya, maka laki-laki asing boleh memukul debu dengan tangannya seraya meniatkan Tayammum untuk mayat wanita tersebut, lalu dia mengusap wajahnya dan kedua telapak tangannya. Demikianlah menurut Mālik dan Aḥmad dalam salah satu dari dua riwayat darinya.
Dalam kasus ini kami tidak menemukan pendapat Imām asy-Syāfi‘ī. Hanya saja ada dua pendapat fuqahā’ Syāfi‘iyyah. Yang paling sah adalah seperti madzhab Mālik dan salah satu dari dua riwayat dari Aḥmad.
Abū Ḥanīfah berkata: “Tayammumnya harus sampai kedua siku. Apabila mayatnya laki-laki dan tidak ada yang menghadirinya selain kaum perempuan, maka menurut Abū Ḥanīfah dan Mālik mereka boleh men-Tayammum-i mayat tersebut sampai kedua siku.
Aḥmad berkata: “Tayammumnya sampai dua pergelangan tangan.” (67121).