Kedua: peristiwa Ḥadīts-ul-Ifki lebih berbahaya daripada peristiwa yang pertama. Pengaruh yang ditimbulkannya sempat membuat banyak musibah di kalangan kaum Muslimīn. Objek peristiwa ini adalah ‘Ā’isyah ash-Shiddīqiyah r.a., istri Rasūlullāh s.a.w. Ia dituduh oleh mereka (kaum munafikin) telah melakukan perbuatan keji (zina) dengan Shafwān bin al-Mu‘aththal as-Sulamī.
Kisahnya bermula ketika mereka sudah berada dekat dengan kota Madīnah, Rasūlullāh s.a.w. memerintahkan mereka berangkat. Pada saat itu, hari sudah malam, sementara ‘Ā’isyah r.a. pergi untuk buang hajat hingga terpisah dari rombongan pasukan kaum Muslimīn. Setelah selesai buang hajat, ia kembali ke kendaraannya. Namun, dalam perjalanan kembalinya itu ia meraba dadanya, ternyata kalungnya yang dari kota Zhafār (842) hilang karena putus. Lalu ia kembali lagi ke tempat ia buang hajat untuk mencari kalungnya yang hilang itu sehingga ia terlambat (berangkat) karena sibuk mencarinya.
Lalu rombongan yang mengawal ‘Ā’isyah berangkat dan memikul sekedupnya dan mengira bahwa ‘Ā’isyah r.a. sudah berada di dalamnya. Sedikitpun mereka tidak mempunyai rasa curiga dengan ringannya sekedup yang mereka naikkan karena pada saat itu kaum wanita tidak ada yang gemuk. Apabila seseorang dari mereka menaiki sekedup lalu dipikul, perbedaan beratnya tidak begitu terasa. Kenyataan ini tidak disangkal oleh seorang pun yang memikul sekedupnya kala itu. Apabila ‘Ā’isyah r.a. pada saat itu masih sangat muda.
Sementara itu, ‘Ā’isyah r.a. baru kembali ke rombongannya setelah menemukan kalungnya, tetapi di tempat itu sudah tidak ada orang. Karena kelelahan ‘Ā’isyah r.a. tertidur dengan pulasnya.
Adapun orang yang bertugas berjalan di belakang rombongan pasukan untuk memeriksa barang yang hilang (tertinggal) adalah Shafwān bin al-Mu‘aththal. Ketika sampai di tempat ‘Ā’isyah r.a. berada, ia dapat mengenalinya. Sebab, Shafwān pernah melihat ‘Ā’isyah r.a. sebelum ayat yang mewajibkan hijab turun. Serta merta ia pun mengucapkan istirjā’ (Innā lillāhi…). Maka terbangunlah ‘Ā’isyah r.a. karena mendengar ucapan istirjā’ itu dan segera menutupi wajahnya dengan jilbabnya. Kemudian Shafwān menderumkan unta kendaraannya dan mempersilahkan ‘Ā’isyah r.a. menaikinya tanpa mengucapkan sepatah kata pun, hanya dengan isyarat. Setelah itu, Shafwān berangkat meneruskan perjalanannya seraya menuntun untanya yang kini dinaiki ‘Ā’isyah r.a., hingga mereka dapat menyusul rombongan pasukan yang pada saat itu sedang berhenti untuk istirahat.
Sejak saat itu, mulailah tersebar kedustaan yang dihembuskan oleh para tukang fitnah. Mereka menuduh ‘Ā’isyah r.a. dan Shafwān bin al-Mu‘aththal r.a. telah melakukan perbuatan keji. Orang yang pertama kali menghembuskan kedustaan ini dan sebagai sumbernya adalah ‘Abdullāh bin Ubay bin Salūl.
Sesampainya di Madīnah, ‘Ā’isyah r.a. jatuh sakit selama sebulan, sedangkan orang-orang ramai mempergunjingkan tentang al-ifki (berita dusta), sementara ia sendiri tidak mengetahuinya sama sekali. Sebelumnya, Rasūlullāh s.a.w. selalu bersikap lemah-lembut terhadapnya manakala ia sakit, tetapi kali ini Rasūlullāh s.a.w. tidak berbuat demikian. Bahkan, ia hanya lewat di depan pintu ‘Ā’isyah r.a. dan perkataan yang diucapkan tidak lebih daripada pertanyaan: “Bagaimana keadaanmu?” Sikap ini membuat gelisah hati ‘Ā’isyah r.a. Setelah agak ringan sakitnya, ‘Ā’isyah r.a. keluar bersama Ummu Misthaḥ binti Utsātsah. Ummi Misthaḥ adalah salah seorang yang ikut terlibat dalam menyebarkan cerita dusta ini. ‘Ā’isyah keluar diantarkan oleh Ummu Misthaḥ untuk buang hajat besar di luar perkampungan. Di tengah jalan, Ummu Misthaḥ tersandung, lalu ia memaki, “Celakalah Misthaḥ (anak lelakinya).” ‘Ā’isyah pun bertanya: “Alangkah buruknya ucapanmu tadi. Apakah engkau berani mencaci seorang lelaki yang ikut Perang Badar?” Ummu Misthaḥ menjawab: “Wahai saudariku, tidakkah engkau mendengar apa yang mereka katakan?” ‘Ā’isyah menanyakan hal tersebut kepadanya. Lalu ia menceritakan semuanya sehingga membuat sakit ‘Ā’isyah semakin bertambah parah.
Tatkala Rasūlullāh s.a.w. mendatanginya seperti biasa, ‘Ā’isyah r.a. meminta idzin kepada Beliau untuk tinggal di rumah ayahnya selama sakit. Rasūlullāh s.a.w. mengidzinkan. Sesampainya di rumahnya, ‘Ā’isyah r.a. bertanya kepada ibunya tentang apa yang sedang dipergunjingkan oleh orang-orang. Ibu ‘Ā’isyah berkata: “Wahai anakku, sabarlah. Demi Allah, jarang sekali wanita yang menjadi istri seorang lelaki yang mempunyai banyak istri, kemudian ia sangat mencintainya, yang tidak banyak dibicarakan orang.” ‘Ā’isyah berkata: “Maha Suci Allah, apakah memang benar orang-orang membicarakan hal ini?” ia pun menangis sepanjang malam hingga kering air matanya dan tidak bisa tidur barang sekejap pun.
Pada masa-masa tersebut, Rasūlullāh s.a.w. bermusyāwarah dengan keluarga Beliau yang terpandang tentang apa yang harus Beliau lakukan dalam menghadapi permasalahan ini. Usāmah bin Zaid yang merasa yakin akan kesucian dan kebersihan diri ‘Ā’isyah, ia berkata kepada Rasūlullāh s.a.w.: “Pertahankan istri baginda! Pertahankan istri baginda! Padanya kami hanya mengetahui kebaikan belaka.” Lain halnya dengan ‘Alī bin Abī Thālib, ia mengatakan: “Allah tidak mempersempit dirimu. Wanita selain dia masih banyak. Tanyakanlah kepada sahaya perempuannya, niscaya ia akan berkata yang sebenarnya.” Maka Rasūlullāh s.a.w. memanggil Barirah, hamba sahaya perempuan milik ‘Ā’isyah, lalu bertanya kepadanya: “Apakah engkau melihat sesuatu yang meragukan (terhadap dirinya)?” Barirah menjawab: “Demi Dzāt Yang telah mengutusmu dengan membawa kebenaran, aku belum pernah melihatnya melakukan sesuatu pun, kemudian aku memejamkan mata daripadanya. Hanya saja, ia (‘Ā’isyah) adalah gadis yang masih remaja. Ia tertidur melupakan rotinya, lalu datanglah burung yang kemudian langsung memakan rotinya.”
Pada hari itu, Rasūlullāh s.a.w. berdiri, lalu naik ke mimbar sementara kaum Muslimīn sedang berkumpul. Kemudian Rasūlullāh s.a.w. berkhuthbah kepada mereka:
“Siapa yang memaafkan aku terkait seorang lelaki yang telah menyakiti keluargaku (istriku)? Demi Allah, yang aku ketahui istriku adalah orang baik. Namun, orang-orang menyebut seorang lelaki yang aku ketahui dirinya orang yang baik, tak pernah ia menemui keluargaku (istriku) kecuali bersamaku.”
Sa‘ad bin Mu‘ādz berkata: “Akulah yang memaafkan engkau daripadanya. Apabila ternyata ia dari kabilah Aus (kabilahnya sendiri), pasti aku penggal kepalanya. Namun, apabila ternyata ia adalah dari saudara-saudara kami dari kabilah Khazraj, lalu engkau memerintahkan kepada kami (untuk menghukumnya), niscaya akan kami laksanakan perintahmu itu.”
Saat itu juga, berdirilah Sa‘ad bin ‘Ubādah dari Khazraj lalu berkata: “Engkau dusta, demi Allah, engkau pasti tidak akan membunuh dan tidak akan mampu membunuhnya. Seandainya ia dari golonganmu, engkau pasti tidak senang bila ia dibunuh.”
Maka Usaid bin Ḥudhair berkata kepada Sa‘ad bin ‘Ubādah: “Engkau dusta, demi Allah, kami pasti akan membunuhnya. Sesungguhnya engkau ini munāfiq, dan mendebat orang-orang munāfiq pula.”
Hampir saja terjadi persengketaan antara kabilah Aus dan Khazraj seandainya Rasūlullāh s.a.w. tidak segera turun dari mimbarnya, lalu melerai mereka sehingga mereka menjadi tenang kembali. Adapun ‘Ā’isyah r.a., selama dua malam tidak henti-hentinya menangis dan tidak tidur sama sekali. Ketika ‘Ā’isyah r.a. bersama kedua orang tuanya, tiba-tiba masuklah Nabi s.a.w. seraya berucap salām, kemudian ikut duduk bersama mereka. Nabi s.a.w. berkata:
“Amma ba’du, hai ‘Ā’isyah. Sesungguhnya telah sampai berita kepadaku mengenai dirimu bahwa engkau melakukan hal demikian dan demikian. Seandainya kamu memang tidak bersalah, niscaya Allah akan membersihkanmu. Bilamana kamu telah melakukan suatu dosa, mohonlah ampunan kepada Allah, dan bertobatlah kepada-Nya. Sesungguhnya seorang hamba itu apabila mengakui perbuatan dosanya, kemudian bertobat maka Allah pasti akan mengampuninya.”
Saat itu air mata ‘Ā’isyah sudah banyak bercucuran, lalu ia berkata kepada kedua orang tuanya: “Jawablah perkataan Rasūlullāh.” Namun, kedua orang tuanya menjawab: “Demi Allah, kami tidak mengetahui apa yang harus kami katakan.”
Maka ‘Ā’isyah r.a. berkata: “Sesungguhnya aku, demi Allah, telah mengetahui bahwa engkau telah mendengar berita tersebut sehingga engkau terpengaruh olehnya dan mempercayainya. Seandainya aku katakan kepadamu bahwa aku tidak bersalah, niscaya engkau tidak akan mempercayaiku. Seandainya aku mengakui kepadamu bahwa aku telah melakukan suatu perkara, sedangkan Allah mengetahui bahwa aku tidak bersalah, niscaya engkau percaya kepadaku. Demi Allah, aku tidak menemukan suatu perumpamaan yang kukatakan kepadamu kecuali sebagaimana ayah Nabi Yūsuf ketika ia mengatakan:
“Maka kesabaran yang baik itulah (kesabaranku). Dan Allah sajalah yang dimohon pertolongan-Nya terhadap apa yang kamu ceritakan”. (QS. Yūsuf [12]: 8)
Kemudian ‘Ā’isyah r.a. beranjak dan merebahkan diri di peraduan. Sementara Rasūlullāh s.a.w. tidak bergeser dari majelisnya hingga turun kepadanya ayat-ayat dari Sūrat-un-Nūr yang menyatakan kesucian ‘Ā’isyah r.a., melalui firman-Nya:
“Sesungguhnya orang-orang yang membawa berita bohong itu adalah dari golongan kamu juga. Janganlah kamu kira bahwa berita bohong itu buruk bagi kamu bahkan ia adalah baik bagi kamu. Tiap-tiap seseorang dari mereka mendapat balasan dari dosa yang dikerjakannya. Dan siapa di antara mereka yang mengambil bagian yang terbesar dalam penyiaran berita bohong itu, baginya ‘adzāb yang besar. Mengapa di waktu kamu mendengar berita bohong itu orang-orang mu’minīn dan mu’mināt tidak bersangka baik terhadap diri mereka sendiri, dan (mengapa tidak) berkata: ‘Ini adalah suatu berita bohong yang nyata.’ Mengapa mereka (yang menuduh itu) tidak mendatangkan empat orang saksi atas berita bohong itu? Oleh karena mereka tidak mendatangkan saksi-saksi maka mereka itulah pada sisi Allah orang-orang yang dusta. Sekiranya tidak ada karunia Allah dan rahmat-Nya kepada kamu semua di dunia dan di akhirat, niscaya kamu ditimpa ‘adzāb yang besar karena perbincangan kamu tentang berita bohong itu. (Ingatlah) di waktu kamu menerima berita bohong itu dari mulut ke mulut dan kamu katakan dengan mulutmu apa yang tidak kamu ketahui sedikit pun juga, dan kamu menganggapnya suatu yang ringan saja. Padahal dia pada sisi Allah adalah besar. Dan mengapa kamu tidak berkata, di waktu mendengar berita bohong itu: ‘Sekali-kali tidaklah pantas bagi kita memperkatakan ini, Maha Suci Engkau (Ya Tuhan Kami), ini adalah dusta yang besar’. Allah memperingatkan kamu agar (jangan) kembali memperbuat yang seperti itu selama-lamanya, jika kamu orang-orang yang beriman. Dan Allah menerangkan ayat-ayatNya kepada kamu. Dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana. Sesungguhnya orang-orang yang ingin agar (berita) perbuatan yang amat keji itu tersiar di kalangan orang-orang yang beriman, bagi mereka ‘adzāb yang pedih di dunia dan di akhirat. Dan Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui. Dan sekiranya tidaklah karena karunia Allah dan nikmat-Nya kepada kamu semua, dan Allah Maha Penyantun dan Maha Penyayang, (niscaya kamu akan ditimpa ‘adzāb yang besar). Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengikuti langkah-langkah syaithān. Barang siapa yang mengikuti langkah-langkah syaithān maka sesungguhnya syaithān itu menyuruh mengerjakan perbuatan keji dan mungkar. Sekiranya tidaklah karena kurnia Allah dan rahmat-Nya kepada kamu sekalian, niscaya tidak seorang pun dari kamu bersih (dari perbuatan-perbuatan keji dan mungkar itu) selama-lamanya, tetapi Allah membersihkan siapa yang dikehendaki-Nya. Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.” (QS. an-Nūr [24]: 11-12)