Golongan Obyek dari Khithab – Terjemah Syarah al-Waraqat

Ushul Fiqh
Terjemah Syarah al-Waraqat
 
Judul (Asli): Syarh al-Waraqat
(Penjelasan dan Tanya Jawab Ushul Fiqh)
 
 
Penyusun: Darul Azka, Nailul Huda, Munawwir Ridlwan
 
Penerbit: Santri salaf press.

Golongan Obyek dari Khithāb.

 

(الَّذِيْ يَدْخُلُ فِي الْأَمْرِ وَ النَّهْيِ وَ مَا لَا يَدْخُلُ) هذِهِ تَرْجَمَهُ (يَدْخُلُ فِيْ خِطَابِ اللهِ تَعَالَى الْمُؤْمِنُوْنَ) وَ سَيَأْتِي الْكَلَامُ فِي الْكُفَّارِ (وَ السَّاهِيْ وَ الصَّبِيِّ وَ الْمَجْنُوْنُ غَيْرُ دَاخِلِيْنَ فِي الْخِطَّابِ) لِانْتِفَاءِ التَّكْلِيْفِ عَنْهُمْ.

Orang yang masuk dan yang tidak masuk dalam amr dan nahi

Kaum mu’min masuk dalam khithāb Allah s.w.t. sedangkan pembahasan mengenai orang-orang kafir akan diulas di bawah nanti. Orang yang lupa, anak kecil dan orang gila, semuanya tidak masuk dalam khithāb. Disebabkan tidak adanya taklīf pada diri mereka.

Penjelasan:

Termasuk mereka yang terkena khithab adalah orang mu’min laki-laki dan perempuan. Ya‘ni mereka yang sudah mencapai bāligh dan berakal. Dan ada tiga orang yang tidak terkena khithāb:

  1. (السَّاهِيْ) atau (النَّاسِيْ), ya‘ni orang yang tidak mengetahui. Di antaranya orang tidur dan lupa.
  2. Anak kecil, meskipun sudah menginjak usia tamyīz.
  3. Orang gila, ya‘ni cacat pada akal yang mencegah untuk berbuat dan berucap sesuai jalan berpikir normal secara konsisten.

Pertanyaan:

Apa perbedaan (السَّاهِيْ) dan (النَّاسِيْ).

Jawab:

(النَّاسِيْ) adalah keadaan lupa yang kembali menjadi teringat ketika diingatkan. Sedangkan (السَّاهِيْ) kebalikannya (tidak perlu diingatkan).

Dalam kitab lain dijelaskan, (السَّهْوُ) adalah lupa atas sebuah pengetahuan, namun hanya sebentar dan akan teringat jika diingatkan. Sedangkan (النِّسْيَانُ) adalah hilangnya pengetahuan dalam waktu lama dan untuk mengembalikannya butuh diulangi dari awal.

Referensi:

وَ فَرَّقُوْا بَيْنَ النَّاسِيْ وَ السَّاهِيْ بِأَنَّ النَّاسِيَ إِذَا ذَكَرْتَهُ تَذَكَّرَ وَ السَّاهِيَ بِخِلَافِهِ (النَّفَحَاتُ صــــ 59).

‘Ulamā’ membedakan (النَّاسِيْ) dan (السَّاهِيْ) bahwa (النَّاسِيْ) ketika kamu mengingatkannya, maka akan teringat dan (السَّاهِيْ) sebaliknya” (an-Nafaḥāt, hal. 59).

 

(وَ السَّهْوُ الْغَفْلَةُ عَنِ الْمَعْلُوْمِ الْحَاصِلِ فَيَتَنَبَّهُ لَهُ بِأَدْنَى تَنْبِيْهٍ بِخِلَافِ النِّسْيَانِ فَهُوَ زَوَالُ الْمَعْلُوْمِ فَيَسْتَأْنِفُ تَحْصِيْلَهُ – إِلَى أَنْ قَالَ – ثُمَّ فَرَّقَ بَيْنَهُمَا بِأَنَّهُ إِنْ قَصُرَ زَمَنُ الزَّوَالِ سُمِّيَ سَهْوًا وَ إِلَّا فَنِسْيَانًا. قَالَ وَ هذَا أَحْسَنُ مَا فَرَّقَ بِهِ بَيْنَهُمَا (غَايَةُ الْوُصُوْلِ صــــ 23).

(السَّهْوُ) adalah lupa atas sebuah pengetahuan yang sudah dihasilkan, dan akan teringat jika diingatkan dengan cara paling ringan. Sedangkan (النِّسْيَانُ) adalah hilangnya pengetahuan dan membutuhkan untuk mengulanginya dari awal – s/d – kemudian al-Barnawī membedakan antara keduanya, bahwasanya apabila sebentar masa hilangnya pengetahuan, maka disebut (السَّهْوُ), dan jika tidak sebentar (lama), disebut (النِّسْيَانُ). Beliau mengatakan: “ini adalah pembedaan terbaik antara keduanya.” (Ghāyat-ul-Wushūl, hal. 23).

 

وَ يُؤْمَرُ السَّاهِيْ بَعْدَ ذَهَابِ السَّهْوِ عَنْهُ بِجَبْرِ خَلَلِ السَّهْوِ كَقَضَاءِ مَا فَاتَهُ مِنَ الصَّلَاةِ وَ ضَمَانِ مَا أَتْلَفَهُ مِنَ الْمَالِ.

Orang yang lupa setelah sadar diperintahkan mengganti kekurangan akibat dari lupanya, seperti mengqadhāi shalat yang ditinggalkan dan mengganti harta benda yang dirusakkannya.

Penjelasan:

Hal-hal yang wājib dilakukan oleh (السَّاهِيْ) “orang yang lupa” setelah kembali sadar adalah mengganti kewājiban yang ditinggalkan seperti shalat dan puasa, serta mengganti kerugian yang diperbuat pada orang lain, seperti merusak harta orang lain. Sedangkan yang wājib dilakukan anak kecil ketika bāligh dan orang gila setelah akalnya kembali adalah mengganti rugi kerusakan yang diperbuat semasa kecil dan gilanya, namun tidak diperintahkan mengganti shalat yang ditinggalkan.

Pertanyaan:

Mengapa (السَّاهِيْ) yang dinyatakan tidak terkena khithāb, tetap wājib mengganti shalat yang ditinggalkan dan mengganti rugi kerusakan yang ditimbulkan?

Jawab:

Karena sabab yang ditetapkan asy-Syāri‘ (pembuat syarī‘at) dan menetapkan kewājiban shalat dan mengganti rugi kerusakan telah wujūd terlebih dahulu. Sabab dari kewājiban shalat adalah masuknya waktu dan sabab dari kewājiban mengganti rugi adalah merusak harta orang lain. Dan sabab ini termasuk bagian dari hal-hal yang terkait dengan khithāb wadh‘ī.

Referensi:

إِذَا كَانَ السَّاهِيْ غَيْرَ مُخَاطَبٍ فَلِمَ وَجَبَ عَلَيْهِ الْقَضَاءُ وَضَمَانُ مَا أَتْلَفَهُ؟ وَ أَجَابَ بِأَنَّهُ لَا يَقْدَحُ فِي امْتِنَاعِ التَّكْلِيْفِ حَالَةَ السَّهْوِ لِأَنَّ الْأَمْرَ الْمَذْكُوْرَ إِنَّمَا هُوَ لِتَقَدُّمِ مَا جَعَلَهُ الشَّارِعُ سَبَبًا لَهُ حَالَةَ السَّهْوِ وَ هُوَ أَيْ مَا جَعَلَهُ الشَّارِعُ سَبَبًا كَجَعْلِ الْإِتْلَافِ سَبَبًا لِلضَّمَانِ وَ كَجَعْلِ دُخُوْلِ الْوَقْتِ سَبَبًا لِلصَّلَاةِ هُنَا مِنْ خِطَابِ الْوَضْعِ الَّذِيْ لَا يَخْتَصُّ بِالْمُكَلِّفِيْنَ (النَّفَحَاتُ صــــ 61).

Apabila orang yang lupa tidak terkena khithāb, kenapa baginya wājib mengqadhā’ dan mengganti barang yang dirusakkannya? Dijawab oleh ‘ulamā’, bahwa hal itu tidak menyalahi ketentuan tercegahnya tuntutan saat lupa. Karena perintah tersebut akibat dari mendahuluinya sabab yang ditetapkan asy-Syāri‘ (pembuat syarī‘at) saat seseorang mengalami lupa. Ya‘ni seperti menjadikan merusak sebagai sabab mengganti rugi dan masuknya waktu sebagai sabab dari kewājiban shalat. Ini adalah bagian dari khithāb wadh‘ī yang tidak terkhusus pada orang-orang mukallaf saja.” (an-Nafaḥāt, hal. 61).

Pertanyaan:

Mengapa anak kecil dan orang gila tidak diperintahkan mengganti shalat yang ditinggalkan setelah mereka menginjak usia bāligh atau kembali berakal?

Jawab:

Karena untuk meringankan mereka dan dikarenakan shalat adalah murni hak Allah yang didasari atas prinsip (الْمُسَامَحَةُ) “meringankan”.

Referensi:

إِنَّمَا لَمْ يَجِبِ الْقَضَاءُ عَلَيْهِمَا مَعَ كُوْنِ نَحْوِ الصَّلَاةِ مِنْ حُقُوْقِ اللهِ الصِرْفَةِ وَ هُوَ مَبْنِيٌّ عَلَى الْمُسَامَحَةِ (النَّفَحَاتُ صــــ 61).

Sesungguhnya tidak wājib qadhā’ bagi keduanya (anak kecil dan orang gila) untuk meringankan keduanya. Sekaligus keberadaan ‘ibādah seperti shalat termasuk hak-hak Allah s.w.t. yang murni. Dan hal semacam ini didasari atas prinsip meringankan.” (an-Nafaḥāt, hal. 61).

Komentar

Belum ada komentar. Mengapa Anda tidak memulai diskusi?

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *