Gambaran Masyarakat ‘Arab Jahiliyyah – Ar-Rahiq-ul-Makhtum – al-Mubarakfuri (2/2)

Rangkaian Pos: Gambaran Masyarakat 'Arab Jahiliyyah - Ar-Rahiq-ul-Makhtum - al-Mubarakfuri

Kondisi Ekonomi

Kondisi sosial di atas berimbas kepada kondisi ekonomi. Hal ini diperjelas dengan melihat cara dan gaya hidup bangsa ‘Arab. Berniaga merupakan sarana terbesar mereka dalam menggapai kebutuhan hidup, namun begitu, roda perniagaan tidak akan stabil kecuali bila keamanan dan perdamaian membarenginya. Tetapi, kedua situasi tersebut lenyap dari Jazirah ‘Arab kecuali pada bulan-bulan haram saja. Dalam bulan-bulan inilah pasar-pasar ‘Arab terkenal seperti ‘Ukāzh, Dzul-Majāz, Majinnah, dan lainnya beroperasi.

Dalam kegiatan industri mereka termasuk bangsa yang amat jauh jangkauannya dari hal itu. Sebagian besar hasil perindustrian yang ada di kalangan bangsa ‘Arab hanyalah berupa tenunan, samak kulit binatang dan lainnya. Kegiatan ini ada pada masyarakat Yaman, Hirah, dan pinggiran kota Syam. Benar, di kawasan domestik Jazirah ada sedikit industri bercocok tanam, membajak sawah, dan beternak kambing, sapi serta unta. Kaum wanita rata-rata menekuni seni memintal. Namun, barang-barang tersebut sewaktu-waktu dapat menjadi sasaran peperangan. Kemiskinan, kelaparan, serta kehidupan papa menyelimuti masyarakat.

Kondisi Moral

Kita tidak dapat memungkiri bahwa masyarakat Jahiliyyah identik dengan kehidupan nista, pelacuran, dan hal-hal lain yang tidak dapat diterima oleh akal sehat dan ditolak oleh perasaan. Namun, mereka juga mempunyai akhlak mulia dan terpuji yang amat menawan siapa saja dan membuatnya terkesima dan takjub. Di antara akhlak tersebut adalah:

 

  • Kemurahan Hati

Mereka berlomba-lomba dalam sifat ini dan membangga-banggakannya. Setengah dari bait-bait syair mereka penuh dengan ungkapan tentang sifat ini antara pujian kepada diri sendiri dan kepada orang lain yang memiliki sifat yang sama. Seseorang terkadang kedatangan tamu di musim dingin yang membeku, kelaparan yang menggelayut serta dalam kondisi tidak memiliki harta apa-apa selain unta betina yang merupakan satu-satunya sumber hidupnya dan keluarganya, tetapi getaran kemurahan hati yang menggema di dada membuat mereka tidak ragu-ragu untuk mempersembahkan suguhan istimewa buat tamunya, lantas disembelihlah unta satu-satunya tersebut. Di antara pengaruh sifat murah hati tersebut; mereka sampai-sampai rela menanggung denda yang berlipat dan beban-beban berat demi upaya mencegah pertumpahan darah dan lenyapnya jiwa. Mereka berbangga dengan hal itu dan memuji-muji diri di hadapan para tokoh dan pemuka.

Pengaruh lain dari sifat tersebut, mereka memuji-muji diri karena minum khamar. Hal ini sebenarnya bukanlah lantaran bangga dengan esensi minum-minum itu, tetapi lantaran hal itu merupakan sarana menuju tertanamnya sifat murah hati tersebut, dan juga sarana yang memudahkan tumbuhnya jiwa yang boros. Dan lantaran itu pula, mereka menamakan pohon anggur al-Karam, sedangkan arak yang terbuat dari anggur itu, mereka namakan Bint-ul-Karam. Jika anda membuka kembali buku-buku yang mengoleksi syair-syair Jahiliyyah, anda akan menemukan satu bab yang bertema: al-Madīḥu wal-Fakhr (puji-pujian dan kebanggaan diri). Dalam hal ini ‘Antarah bin Syaddād al-‘Absī mengurai bait-bait syairnya dalam Mu‘allaqah-nya:

Sungguh, aku telah menenggak arak di tempat mulia
sesudah wanita-wanita penghibur ditelantarkan dengan cangkir
dari kaca kuning di atas nampan nan terangkai bunga
dalam genggaman tangan dingin
Saat aku menenggak, sungguh, aku habiskan seluruh hartaku
Namun, kehormatanku masih sadarkan kala aku tersadarkan,
tak’kan lengah menyonsong panggilan
sebagaimana hal itu melekat pada sifat dan tabiatku.

Pengaruh lainnya dari sifat al-Karam adalah mereka menyibukkan diri dalam bermain judi. Mereka menganggap hal itu sebagai sarana menuju sifat tersebut dari keuntungan yang diraih dalam berjudi tersebut, mereka persembahkan buat memberi makan fakir miskin. Atau, bisa juga diambil dari sisa keuntungan yang diraih masing-masing pemenang. Oleh karena itu, anda lihat al-Qur’ān tidak mengingkari manfaat khamar dan judi itu, akan tetapi menyatakan: “Dan dosa keduanya lebih besar dari manfaatnya.” (al-Baqarah: 219).

 

  • Menepati Janji

Janji dalam tradisi mereka adalah laksana agama yang harus dipegang teguh meskipun untuk mendapatkannya mereka menganggap enteng membunuh anak-anak mereka dan menghancurkan tempat tinggal mereka sendiri. Untuk mengetahui hal itu, cukup dengan membaca kisah Hāni’ bin Mas‘ūd asy-Syaibānī, as-Samau’al bin ‘Ādiyā dan Ḥājib bin Zurārah at-Tamīmī.

 

  • Kebanggaan pada diri sendiri dan sifat pantang menerima pelecehan dan kezaliman.

Implikasi dari sifat ini, tumbuhnya pada diri mereka keberanian yang amat berlebihan, cemburu buta dan cepatnya emosi meluap. Mereka adalah orang-orang yang tidak akan pernah mau mendengar ucapan yang mereka cium berbau penghinaan dan pelecehan. Dan apabila hal itu sampai terjadi, mereka tak segan-segan menghunus pedang dan mengacungkan tombak, dan mengobarkan peperangan yang panjang. Mereka juga tidak peduli bila nyawa mereka menjadi taruhannya demi mempertahankan sifat tersebut.

 

  • Tekad yang tak pernah pudar

Bila mereka sudah bertekad untuk melakukan sesuatu yang mereka anggap suatu kemuliaan dan kebanggaan maka tak ada satu pun yang dapat menyurutkan tekad mereka tersebut, bahkan mereka akan nekat menerjang bahaya demi hal itu.

 

  • Lemah-lembut, tenang, dan waspada

Mereka menyanjung sifat-sifat semacam ini. Hanya saja keberadaannya seakan terhalangi oleh amat berlebihannya sifat pemberani dan ketergesaan mereka dalam mengambil sikap untuk berperang.

 

  • Gaya hidup lugu dan polos ala Badui

Mereka belum terkontaminasi oleh kotoran peradaban dan tipu dayanya implikasi dari gaya hidup semacam ini, timbulnya sifat jujur, amanah, serta anti menipu dan mengibul.

Kita melihat bahwa tertanamnya akhlak yang amat berharga ini, di samping letak geografis Jazirah ‘Arab di mata dunia adalah sebagai sebab utama terpilihnya mereka untuk mengemban risalah yang bersifat umum dan memimpin umat manusia dan masyarakat dunia. Sebab, akhlak ini meskipun sebagiannya dapat membawa kepada kejahatan dan menimbulkan peristiwa yang tragis, namun sebenarnya ia adalah akhlak yang amat berharga, dan akan menciptakan keuntungan bagi umat manusia secara umum setelah adanya sedikit koreksi dan perbaikan atasnya. Hal inilah yang dilakukan oleh Islam ketika datang.

Tampaknya, akhlak yang paling berharga dan amat bermanfaat menurut mereka setelah sifat menepati janji adalah sifat kebanggaan pada diri dan tekad pantang surut. Hal demikian, karena tidak mungkin dapat mengikis kejahatan dan kerusakan yang ada serta menciptakan sistem yang penuh dengan keadilan dan kebaikan kecuali dengan kekuatan yang memiliki daya gempur dan tekad yang membaja.

Selain sifat-sifat tersebut, mereka juga memiliki sifat-sifat mulia lainnya, namun bukanlah maksud kami menghadirkannya di sini dan melacaknya secara tuntas.

Komentar

Belum ada komentar. Mengapa Anda tidak memulai diskusi?

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *