Gambaran Masyarakat ‘Arab Jahiliyyah – Ar-Rahiq-ul-Makhtum – al-Mubarakfuri (1/2)

Rangkaian Pos: Gambaran Masyarakat 'Arab Jahiliyyah - Ar-Rahiq-ul-Makhtum - al-Mubarakfuri

GAMBARAN MASYARAKAT ‘ARAB JAHILIYYAH

 

Setelah pada bagian yang lalu membahas kondisi politik dan agama di Jazirah ‘Arab, kita masih menyisakan pembahasan tentang kondisi sosial, politik, dan moral. Berikut ulasan singkatnya:

Kondisi Sosial

Terdapat beragam klasifikasi dalam tatanan masyarakat ‘Arab, di mana antara satu dengan yang lainnya, kondisinya berbeda-beda. Hubungan seorang laki-laki dengan keluarganya di lapisan kaum bangsawan mendapatkan kedudukan yang amat terpandang dan tinggi, kemerdekaan berkehendak dan pendapat yang mesti didengar mendapatkan porsi terbesar. Hubungan ini selalu dihormati dan dijaga sekalipun dengan pedang yang terhunus dan darah yang tertumpah.

Jika seorang laki-laki yang ingin dipuji karena kemurahan hati dan keberaniannya di mata orang ‘Arab, hendaklah waktunya yang banyak hanya dipergunakan untuk berbicara dengan wanita. Jika seorang wanita menghendaki, dia dapat mengumpulkan suku-suku untuk kepentingan perdamaian, namun juga dapat menyulut api peperangan di antara mereka. Meskipun demikian, tak dapat disangkal lagi bahwa seorang laki-laki adalah kepala keluarga dan yang menentukan sikap di dalamnya. Hubungan antara laki-laki dan wanita yang berlangsung melalui akad nikah dan diawasi oleh para walinya (wanita). Seorang wanita tidak memiliki hak untuk menggurui mereka. Sementara kondisi kaum bangsawan demikian, kondisi yang dialami oleh lapisan masyarakat lainnya amat berbeda. Terdapat beragam gaya hidup yang bercampur baur antara kaum laki-laki dan wanita. Kami hanya biasa mengatakan bahwa semuanya adalah berupa pelacuran, gila-gilaan, pertumpahan darah, dan perbuatan keji.

Imām al-Bukhārī dan lainnya meriwayatkan dari ‘Ā’isyah r.a. bahwa pernikahan pada masa Jahiliyyah terdiri dari empat macam:

Pertama, Pernikahan seperti pernikahan orang sekarang; yaitu seorang laki-laki mendatangi laki-laki yang lain dan melamar wanita yang di bawah perwaliannya atau anak perempuannya, kemudian dia menentukan maharnya dan menikahkannya.

Kedua, seorang laki-laki berkata kepada istrinya ketika ia sudah suci dari haidhnya: “Pergilah kepada si fulan dan bersenggamalah dengannya”, kemudian setelah itu, istrinya ini ia tinggalkan dan tidak ia sentuh selamanya hingga tampak tanda kehamilannya dari laki-laki tersebut. Dan bila tampak tanda kehamilannya, bila si suaminya masih berselera kepadanya, maka dia akan menggaulinya. Hal tersebut dilakukan hanyalah lantaran ingin mendapatkan anak yang pintar. Pernikahan semacam ini dinamakan dengan nikah istibdhā‘.

Ketiga, sekelompok orang dalam jumlah yang kurang dari sepuluh berkumpul, kemudian mendatangi seorang wanita dan masing-masing menggaulinya. Jika wanita ini hamil dan melahirkan, kemudian setelah berlalu beberapa malam dari melahirkan, dia mengutus kepada mereka (sekelompok orang tadi), maka ketika itu tak seorang pun dari mereka yang dapat mengelak hingga semuanya berkumpul kembali dengannya, lalu si wanita ini berkata kepada mereka: “Kalian telah mengetahui apa yang telah kalian lakukan dan aku sekarang telah melahirkan, dan dia ini adalah anakmu, wahai si fulan!” Dia menyebutkan nama laki-laki yang dia senangi dari mereka, maka anaknya dinasabkan kepadanya.

Keempat, banyak laki-laki mendatangi seorang wanita sedangkan si wanita ini tidak menolak sedikit pun siapapun yang mendatanginya. Mereka ini adalah pelacur. Di pintu-pintu rumah mereka ditancapkan bendera yang menjadi simbol mereka dan siapapun yang menghendaki mereka maka dia bisa masuk. Jika dia hamil dan melahirkan, laki-laki yang pernah mendatanginya tersebut berkumpul lalu mengundang ahli pelacak (al-Qāfah) kemudian si ahli ini menentukan nasab si anak tersebut kepada siapa yang mereka cocokkan ada kemiripannya dengan si anak lantas dipanggillah si anak tersebut sebagai anaknya. Dalam hal ini, si laki-laki yang ditunjuk ini tidak boleh menyangkal.

Ketika Allah mengutus Nabi Muḥamamd s.a.w., beliau menghapus semua bentuk pernikahan kaum Jahiliyyah tersebut dan menggantikan dengan pernikahan cara Islam yang berlaku saat ini. (11)

Dalam tradisi mereka, antara laki-laki dan wanita harus selalu berkumpul bersama dan diadakan di bawah kilauan ketajaman mata pedang dan hulu-hulu tombak. Pemenang dalam perang antarsuku berhak menyandera wanita-wanita suku yang kalah dan menghalalkannya. Anak-anak yang ibunya mendapatkan perlakuan semacam ini akan mendapatkan kehinaan semasa hidupnya.

Kaum Jahiliyyah terkenal dengan kehidupan dengan banyak istri (poligami) tanpa batasan tertentu. Mereka mengawini dua bersaudara, mereka juga mengawini istri bapak-bapak mereka bila telah ditalak atau karena ditinggal mati oleh bapak mereka (dan hal ini diharamkan pada masa Islam – pnj.) (an-Nisā’: 22-23). Hak menalak ada pada kaum laki-laki dan tidak ada batasan tertentu (tetap boleh rujuk meski istri telah ditalak lebih dari tiga kali – pnj.) (22).

Perbuatan zina merata pada setiap lapisan masyarakat. Tidak dapat kita mengkhususkan hal itu kepada satu lapisan tanpa menyentuh lapisan yang lainnya. Ada sekelompok laki-laki dan wanita yang terkecuali dari hal tersebut. Mereka adalah orang-orang yang memiliki jiwa besar dan menolak keterjerumusan dalam lumpur kehinaan. Wanita-wanita merdeka kondisinya lebih bagus dari kondisi para budak wanita. Kondisi mereka (budak wanita) sangat parah.

Mayoritas kaum Jahiliyyah sepertinya tidak merasakan keterjerumusan dalam perbuatan keji semacam itu menjadi suatu ‘aib bagi mereka.

Imām Abū Dāwūd meriwayatkan dari ‘Amru bin Syu‘aib, dari bapaknya, dari kakeknya, dia berkata: Seorang laki-laki berdiri sembari berkata: wahai Rasūlullāh! Sesungguhnya si fulan adalah anakku dari hasil perzinaanku dengan seorang budak wanita pada masa Jahiliyyah. Rasūlullāh s.a.w. kemudian bersabda:

Tidak ada dakwaan dalam Islam (yang berkaitan dengan masa Jahiliyyah). Urusan yang terkait dengan masa Jahiliyyah telah lenyap. Seorang anak adalah dari hasil ranjang (dinasabkan kepada orang yang menidurinya), sedangkan kehinaan adalah hanya bagi wanita pezina.

Tentang hal ini ada kisah yang amat terkenal yang terjadi antara Sa‘ad bin Abī Waqqāsh dan ‘Abdu bin Zam‘ah dalam mempersoalkan nasab anak dari budak wanita Zam‘ah, yaitu ‘Abd-ur-Raḥmān bin Zam‘ah. (33)

Adapun hubungan antara seorang bapak dan anak-anaknya, amat berbeda-beda; di antara mereka ada yang menguraikan rangkaian bait:

Sungguh kehadiran anak-anak di tengah kami

Merupakan jantung-jantung kami yang berjalan di atas bumi.

Di antara mereka, ada yang mengubur hidup-hidup anak-anak wanita mereka karena takut malu dan enggan menafkahinya. Anak laki-laki dibunuh lantaran takut menjadi fakir dan melarat. (Lihat: al-An‘ām: 151, an-Naḥl: 58-59, al-Isrā’: 31, dan at-Takwīr: 8).

Namun, kita tidak bisa menganggap bahwa apa yang termaktub dalam ayat-ayat di atas telah mencerminkan moral yang berlaku umum di masyarakat. Di sisi lain, mereka justru sangat mengharapkan anak laki-laki untuk dapat membentengi diri mereka dari serangan musuh.

Adapun pergaulan antara seorang laki-laki dengan saudaranya, anak-anak paman dan kerabatnya sangat kental dan kuat. Mereka hidup dan mati demi fanatisme kesukuan. Semangat untuk bersatu begitu membudaya antar sesama suku yang menambah rasa fanatisme tersebut. Bahkan prinsip yang dipakai dalam sistem sosial adalah fanatisme rasial dan hubungan tali rahim. Mereka hidup di bawah semboyan yang bertutur: “Tolonglah saudaramu baik dia berbuat zhalim ataupun dizhalimi.”

Mereka menerapkan semboyan ini sebagaimana adanya, tidak seperti arti yang telah diralat oleh Islam yaitu menolong orang yang berbuat zhalim maksudnya mencegahnya melakukan perbuatan itu. Meskipun begitu, perseteruan dan persaingan dalam memperebutkan martabat dan kepemimpinan sering kali mengakibatkan terjadinya perang antarsuku yang masih memiliki hubungan sebapak. Kita dapat melihat fenomena tersebut pada apa yang terjadi antara suku Aus dan Khazrāj, ‘Abs, dan Dzibyān, Bakar dan Taghlīb, dan lain-lain.

Di sisi lain, hubungan yang terjadi antara suku yang berbeda-beda benar-benar berantakan. Kekuatan yang ada mereka gunakan untuk berjibaku (misalnya: bom bunuh diri dsb.) dalam peperangan. Hanya saja, adakalanya rasa sungkan serta rasa takut mereka terhadap sebagian tradisi dan kebiasaan bersama yang sudah ada dan berlaku antara ajaran agama dan khurafat sedikit mengurangi deras dan kerasnya genderang perseteruan tersebut. Dan dalam kondisi tertentu, loyalitas, persekutuan dan subordinasi yang terjalin menyebabkan antarsuku yang berbeda berangkul dan bersatu. Dan satu-satunya yang merupakan rahmat dan penolong bagi mereka adalah adanya bulan-bulan yang diharamkan berperang, sehingga mereka dapat menghirup kehidupan dan mencari rezeki guna kebutuhan sehari-hari.

Ringkasannya, kondisi sosial yang berlaku di masyarakat Jahiliyyah benar-benar rapuh dan dalam kebutaan. Kebodohan mencapai puncaknya dan khurafat merajalela di mana-mana. Orang-orang hidup layaknya binatang ternak. Wanita diperjuabelikan bahkan kadang-kadang diperlakukan bak benda mati. Hubungan antarumat sangat lemah, sementara setiap ada pemerintahan maka ujung-ujungnya hanyalah untuk mengisi gudang kekayaan mereka yang diambil dari rakyat atau menggiring mereka untuk berperang melawan musuh-musuh yang mengancam kekuasaan mereka.

Catatan:

  1. 1). HR. Abū Dāwūd, kitab Nikah, bab Bentuk-bentuk Pernikahan yang Berlaku di Masyarakat Jahiliyyah.
  2. 2). HR. Abū Dāwūd, bab Penghapusan Bolehnya Rujuk Setelah Talak Tiga. Para ahli tafsir menyebutkan persoalan ini sebagai sebab turunnya ayat: “Talak itu dua kali.”
  3. 3). HR. Abū Dāwūd, bab Anak Dinasabkan kepada Orang yang Meniduri.

Komentar

Belum ada komentar. Mengapa Anda tidak memulai diskusi?

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *