Fiqh Tradisionalis – Bab III Shalat – Ta’addud al-Jumu’ah (Mengadakan Jumatan Lebih Dari Satu Masjid)

Rangkaian Pos: Bab Shalat - Fiqh Tradisionalis

Ta’addud al-Jumu’ah

Soal:

Sudah menjadi kenyataan luas bahwa saat ini banyak berdiri masjid-masjid megah dan mentereng. Terutama di kota-kota besar. Sebetulnya tujuan awalnya baik, yaitu demi syiar Islam. Akan tetapi, belakangan muncul persoalan yang cukup meresahkan masyarakat, yakni adanya shalat jum’at yang didirikan lebih dari satu. Inilah yang disebut dengan ta’addud al-Jumu’ah. Setiap masjid mendirikan shalat jum’at secara bersamaan, meskipun jarak satu masjid dengan yang lain saling berdekatan. Motifnya macam-macam. Ada yang karena jumlah jama’ah yang membludak, lalu lintas yang ramai atau bahkan karena adanya perselisihan antar kelompok, partai ataupun etnis. Bolehkah ta’addud al-Jumu’ah tersebut?

Jawab:

Menurut golongan Syafi’iyyah shalat jum’at hanya boleh dilakukan dalam satu masjid. Dalam satu desa, tidak boleh didirikan lebih dari satu jum’atan. Sebab, sejak masa Nabi Muhammad SAW, al-Khulaf al-Rasyidan sampai masa tabi’in, tidak pernah didirikan shalat jum’at lebih dari satu tempat dalam satu desa. Kalaupun sudah banyak berdiri masjid-masjid, tapi masjid-masjid tersebut hanya digunakan untuk shalat lima waktu secara berjama’ah. Disebutkan dalam sebuah Hadits:

عن عائشة زوج النبي صلى الله عليه وسلم قالت كان الناس ينتابون يوم الجمعة من منازلهم والعوالي . (صحيح البخاري ، رقم ٨٥١).

“Diriwayatkan dari Siti Aisyah RA istri Nabi SAW. la berkata, “Pada hari jumat orang-orang berduyun-duyun (pergi ke masjid) dari rumah mereka dan al-‘Awaali (yaitu tempat yang ada di timur kota Madinah jaraknya +4 mil).” (Shahih al-Bukhari, [851])

Hadits inilah yang dijadikan dasar oleh Imam Syafi’ï RA tentang tidak bolehnya mendirikan lebih dari satu jum’atan.

ولا يجمع في مصر وإن عظم أهلهم وكثرعا مله و مساحـده إلا في موضع المسجد الأعظم . وان كانت لهم مساجد عظام لم يجمع فيها إلا في واحد . وأيهما يجمع فيه أولا بعد الزوال فهي الجمعة، وإن جمع في آخر سواه بعده لم يعتد الذي جمعوا بعده بالجمعة وكان عليه أن يعيد وا ظهرا أربعا . (الأم ، ج ۱ ص ۱۹۲).

Tidak boleh mendirikan shalat jum’at dalam satu tempat (desa atau kota) meskipun penduduk dan pegawainya banyak serta masjidnya besar besar, kecuali dalam satu masjid yang paling besar (masjid jami’). Kalau mereka memiliki beberapa masjid yang besar, maka di dalam masjid masjid tersebut tidak boleh didirikan shalat jum’at kecuali hanya pada satu masjid saja.

Dan (jika ada lebih dari satu masjid yang mendirikan shalat jum’at, maka) shalat jum’at yang lebih dulu dilakukan setelah tergelincirnya matahari itulah shalat jum’at (yang sah). Kalau ada masjid yang di dalamnya didirikan shalat jum’at juga setelah itu, maka tidak dianggap shalat jum’at. Dan mereka wajib mengerjakan shalat zhuhur empat raka’at.” (Al-Umm, juz I, hal 192)

Kenapa mesti dilakukan dalam satu masjid? Tujuannya tak lain untuk menampakkan syiar Islam dalam persatuan dan kesatuan umat Islam. Dengan dilakukan dalam satu masjid, maka tujuan tersebut lebih tercapai.

Namun itu bukan sesuatu yang mutlak. Larangan tersebut akan hilang manakala ada kemaslahatan yang menuntutnya. Seperti sulit untuk berkumpul, masjidnya terlalu kecil sehingga tidak memuat banyak jama’ah, berjauhan ataupun karena ada perselisihan yang sulit untuk disatukan. Imam Ramli mengatakan:

الثالث من الشروط أن لا يسابقها ولا يقارنها جمعة في بلدتها وان كانت عظيمة وكثرت مساجدها لأنه صلى الله عليه وسلم والخلفاء من بعده لم يقيموا سوى جمعة واحدة ولأن الاقتصار على واحدة أفضى إلى المقصود من إظهار شعار الإجتماع واتفاق الكلمة إلا إذا كبر أي البلد وعسر اجتماعهم يقينا عادة في مكان مسجد أو غيره فيجوز حينئذ تعددها بحسب الحاجة لأن الشــافعي دخل بغداد وأهلها يقيمون بها الجمعتين وقيل ثلاثا ولم ينكر عليهم. فحمله الأكثرون على عسر الاجتماع. (نهاية المحتاج، ج ۲ ص ۲۸۹).

Syarat yang ketiga adalah tidak didahului atau bersamaan dengan Jum’at lain dalam satu desa atau kota, meskipun desa atau kota itu huas dan punya banyak masjid. Karena Nabi SAW dan sahabat Nabi tidak pernah melakukannya kecuali satu jum’at (dalam satu tempat). Dan karena mencukupkan pada satu shalat jum’at lebih mengantarkan pada tujuan didirikannya shalat jum’at, yaitu menampakkan syiar berkumpul dan bersatunya umat Islam. Kecuali kalau desa atau kota itu sangat luas, dan biasanya penduduknya sulit untuk berkumpul dalam satu masjid. Maka ketika itulah boleh ta’addud al-Jumu’ah (mendirikan shalat jum’at lebih dari satu) sesuai kebutuhan.

Karena Imam Syafi’i pernah datang ke kota Baghdad sementara penduduknya mendirikan dua jum’atan, ada yang mengatakan tiga jum’atan. Dan beliau (diam saja) tidak melarangnya. (Berdasarkan inilah) maka mayoritas ulama menafsirkan hal itu kepada sulitnya berkumpul di satu tempat.” (Nihayah al-Muhtaj, juz II, hal 289)

Dapat disimpulkan bahwa selama masih memungkinkan, maka shalat jum’at harus didirikan dalam satu masjid. Tidak boleh lebih, kecuali ada hal-hal lain yang menghendakinya.

Komentar

Belum ada komentar. Mengapa Anda tidak memulai diskusi?

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *