Fiqh Tradisionalis – Bab III Shalat – Qadha’ Shalat

Rangkaian Pos: Bab Shalat - Fiqh Tradisionalis

Soal:

Shalat adalah tiang agama dan merupakan rukun Islam yang kedua setelah membaca dua kalimat syahadat. Namun demikian, tidak jarang kaum muslimin meninggalkannya, baik disengaja karena malas, ataupun tanpa disengaja, seperti tertidur dan lupa. Lalu, apakah shalat yang ditinggalkan tersebut wajib di qadha’ (diganti)?

Jawab:

Mengerjakan shalat lima waktu merupakan kewajiban bagi setiap orang mukallaf (baligh/dewasa dan berakal-ed.). Barang siapa yang sengaja meninggalkannya, berarti dia berdosa besar. Kecuali kalau meninggalkannya tidak sengaja, seperti lupa atau tertidur. Maka ketika ingat, dia wajib segera meng-qadha’ nya. Sabda Nabi Muhammad SAW:

عن أنس رضي الله عنه قال قال رسول الله صلى الله عليه وسلم إذا رقد أحدكم عن الصلاة أو غفل عنها فليصلها إذا ذكرها ، فإن الله يقول وأقم الصلاة لذكري . (صحيح مسلم ، رقم ١١٠٤).

“Diriwayatkan dari Anas RA, ia berkata, “Rasulullah SAW bersabda, “Apabila salah seorang di antara kalian tertidur (sehingga) meninggalkan shalat atau lupa sehingga tidak mengerjakan shalat, maka shalatlah ketika ingat. Karena Allah SWT berfirman, “Tegakkanlah shalat untuk mengingat-Ku.” (Shahih Muslim [1104]).

Dalam Hadits lain disebutkan:

عن أنس بن مالك عن النبي صلى الله عليه وسلم قال من نسي صلاة فليصل إذا ذكرها . (صحيح البخاری ، رقم ٥٦٢).

“Dari Anas bin Malik, dari Nabi SAW, beliau bersabda, “Barang siapa yang lupa (sehingga) meninggalkan shalat, maka hendaklah ia mengerjakan shalat itu manakala ia telah ingat.” (Shahih al-Bukhari, [562]).

Secara eksplisit, dua Hadits Nabi SAW ini menjelaskan bahwa yang wajib meng-qadha’ shalat hanya orang-orang yang meninggalkan shalat karena tidak sengaja. Misalnya, tertidur atau lupa. Sedangkan orang yang meninggalkan shalat tanpa ada udzur seakan-akan tidak wajib mengganti (qadha’).

Tapi sebenarnya maksud Hadits tersebut tidak seperti itu. Orang sengaja tidak mengerjakan shalat, tidak bebas-lepas tanpa harus mengganti shalat yang ditinggalkannya. la tetap berkewajiban menggadha’ shalat yang sengaja tidak dikerjakannya. Sebagaimana yang dikatakan oleh Imam Nawawi dalam kitabnya:

قوله صلى الله عليه وسلم ((من نسي الصلاة فاليصلها اذا ذكرها)) فيه وجوب قضاء الفريضة الفائتة، سواء تركها بعذر كنوم أو نسيان أم بغير عذر. وإنما قيد في الحديث بالنسيان لخروجه على سبب. لأنه إذا وجب القضاء على المعذور فغيره أولى بالوجوب. وهو من باب التنبيه بالأدنى على الأعلى. (شرح النووي على مسلم، ج 5 ص ۱۸۳)

“Sabda Nabi SAW, “Barang siapa yang lupa melakukan shalat, maka hendaklah mengerjakannya manakala ia ingat“. Hadits ini menunjukkan kewajiban menggadha’ shalat yang ditinggalkan, baik karena ada udzur, misalnya tidur atau lupa, atau tanpa udzur.

Hadits itu (sengaja) membatasi dengan kata “nisyan (lupa)” karena ada tujuan dan maksud tertentu. Yakni (untuk memberitahukan) bahwa manakala orang yang meninggalkan shalat karena udzur (karena lupa dan tertidur) masih wajib menggadha’ shalat, maka (apalagi) orang-orang yang meninggalkan shalat tanpa ada alasan yang dibenarkan, tentu mereka lebih wajib mengqadha’ shalat.

Masalah (dalam Hadits ini) termasuk pada pembahasan “menyebut sesuatu yang lebih rendah, tapi dimaksudkan sebagai peringatan kepada perkara yang lebih tinggi (al-tanbih bi al adna ‘ala al-a’la).” (Syarh al-Nawawi ‘ala Muslim, juz V, hal 183).

Di sebagian kalangan masih ada anggapan bahwa shalat yang ditinggalkan dengan tanpa udzur tidak wajib menggantinya. Menyikapi hal ini, Imam Nawawi menyatakan:

Para ulama yang telah diakui integritas keilmuannya sepakat bahwa orang yang meninggalkan shalat dengan sengaja, maka wajib mengqadha’ shalatnya. Dalam hal ini Ibn Hazm berbeda pendapat. la mengatakan bahwa orang itu tidak mampu (wajib) mengqadha’ selamanya. Dan (kalau meng-qadha’ maka) tidak sah shalat yang dilakukannya. (seterusnya).. Inilah pendapat Ibn Hazm.

Namun pendapat ini bertentangan dengan Ijma’, dan tidak dapat diterima dari segi dalil. Ibn Hazm telah membahasnya secara panjang lebar tentang hal ini, namun tidak satupun dari uraiannya yang menunjukkan bukti (yang menguatkan) atas pendapatnya. “(Al-Majmu’ Syarh al-Muhadzdzab, juz III, hal 76).

Di samping itu, shalat itu merupakan kewajiban seorang muslim kepada Allah SWT. Apabila tidak dilaksanakan, berarti seseorang mempunyai kewajiban hutang yang harus dibayarkan kepada Allah SWT. Hutang kepada makhluk saja harus dibayar, apalagi hutang kepada Allah SWT. Rasûlullah SAW bersabda:

عن ابن عباس رضي الله عنهما قال جاء رجل إلى النبي صلى الله عليه وسلم فقال يارسول الله إن أمي ماتت وعليها صوم شهر أفأقضيه عنها قال نعم قال فدين الله أحق أن يقضى. (صحيح البخاری، رقم: ۱۸۱۷)

“Dari Ibn ‘Abbas RA beliau berkata, “Suatu hari seorang laki-laki mendatangi Rasûlullah SAW. Dia bertanya, “Wahai Rasûlullah, ibu saya telah meninggal dunia dan dia mempunyai hutang puasa. Apakah saya boleh menggantinya? Rasûlullah SAW menjawab, “Ya boleh, sebab hutang kepada Allah SWT lebih berhak untuk dilunasi.” (Shahih al Bukhari, [1817])

Sedangkan jalan yang harus ditempuh untuk melunasi hutang tersebut (dalam konteks shalat-ed.) adalah dengan mengqadhâ’ shalat yang ditinggalkan itu. Atas dasar inilah ulama berpendapat bahwa orang yang sengaja meninggalkan shalat, maka dia wajib mengganti (qadha’) shalat yang ditinggalkan itu. Namun demikian, terdapat perbedaan antara orang yang meninggalkan shalat sebab ada udzur dengan orang yang tidak shalat tanpa ada alasan. Dalam kitab Fath al-Mu’în disebutkan:

Orang muslim yang mukallaf wajib segera mengganti shalat yang ditinggalkannya, jika dia meninggalkannya tanpa alasan (misalnya disengaja). Maka baginya wajib segera meng-qadha’-nya.

Guru kami Ibn Hajar berkata, sudah jelas bahwa wajib bagi dia (yang sengaja meninggalkan shalat) menggunakan seluruh waktunya untuk meng qadha’ shalat, selain waktu yang memang dibutuhkannya (seperti istirahat dan mencari nafkah). Dan haram padanya melakukan hal-hal yang disunnahkan.

Namun bagi orang yang meninggalkan shalat karena ada alasan, misalnya yang tidak melanggar dan terlupa, maka sunnah menyegerakan qadha (tidak wajib bersegera mengqadha”).” (Fath al-Mu’in, 4).

Dapat kita ketahui betapa shalat lima waktu harus dikerjakan. Dalam kondisi apapun jika ditinggalkan, maka harus diganti, apapun alasannya. Bahkan kalau sengaja ditinggalkan, tanpa alasan yang dibenarkan, ia wajib segera mengganti shalat yang tidak dikerjakan itu, dan tidak dibenarkan mengerjakan perbuatan lainnya, meskipun itu perbuatan/amalan sunnah (sebelum mengqadha’ shalat yang ditinggalkan).

Komentar

Belum ada komentar. Mengapa Anda tidak memulai diskusi?

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *