Fiqh Tradisionalis – Bab III Shalat – Berjabat Tangan Setelah Shalat

Rangkaian Pos: Bab Shalat - Fiqh Tradisionalis

Berjabat Tangan setelah Shalat

Soal:

Sudah berlaku umum di masyarakat, setiap selesai shalat, satu jama’ah dengan jama’ah yang lainnya saling bersalaman. Itu dilaksanakan pada shalat yang lima waktu atau setiap shalat berjama’ah semisal shalat tarawih. Adakah dasarnya?

Jawab:

Bersalaman antar sesama muslim memang sangat dianjurkan oleh Nabi SAW. Hal itu dimaksudkan agar persaudaraan Islam semakin kuat dan persatuan umat Islam semakin kokoh. Salah satu bentuknya adalah anjuran untuk bersalaman apabila bertemu. Bahkan jika ada saudara muslim yang datang dari bepergian jauh, misalnya habis melaksanakan ibadah haji, maka disunnahkan juga saling berangkulan (mu’anaqah). Dalam sebuah Hadits, Nabi Muhammad SAW bersabda:

عن البراء بن عازب قال قال رسول الله صلى الله عليه وسلم ما من مسلمين يلتقيان فيتصافحان إلا غفر لهما قبل أن يتفرقا. (سنن ابـن ماجه، رقم: ٣٦٩٣).

“Diriwayatkan dari al-Barra’ bin ‘Azib, ia berkata “Rasûlullah SAW bersabda: “Tidaklah dua orang laki-laki bertemu, kemudian keduanya bersalaman, kecuali diampuni dosanya sebelum mereka berpisah (Sunan Ibn Majah [3693])”

Berdasarkan Hadits inilah ulama Syafi’iyyah mengatakan bahwa bersalaman setelah shalat hukumnya sunnah. Kalaupun perbuatan itu dikatakan bid’ah, tetapi masuk dalam kategor bid’ah mubahah (perbuatan baru yang dibolehkan-ed.). Imam al-Nawawi menganggap bahwa hal itu adalah perbuatan yang baik untuk dilakukan.

(Soal) apakah berjabatan tangan setelah shalat Ashar dan Shubuh memiliki keutamaan ataukah tidak? (Jawab) berjabat tangan itu sunnah dilakukan ketika bertemu. Adapun orang-orang yang mengkhususkan diri untuk melakukannya setelah dua shalat itu (Ashar dan Shubuh) maka dianggap bid’ah mubahah (Pendapat yang dipilih), sesungguhnya kalau seseorang sudah berkumpul dan bertemu sebelum shalat, maka berjabatan tangan tersebut adalah bid’ah mubahah sebagaimana di atas. Tapi jika sebelumnya belum pernah bertemu maka sunnah (bersalaman). Karena ketika itu (dianggap) baru bertemu.” (Fatawi al-Imam al-Nawawi, 61)

Bahkan sebagian ulama mengatakan bahwa orang yang shalat itu sama dengan orang yang gha’ib (tidak ada di tempat karena bepergian atau lainnya). Setelah shalat, seakan-akan ia baru datang dan bertemu dengan saudaranya yang muslim. Maka ketika itu dianjurkan untuk berjabat tangan. Sebagaimana yang disebutkan dalam kitab Bughyah al-Mustarsyidin:

(فائدة) المصافحة من البدع المباحة واستحسنه الـنـووي، وينبغي التفصيل بين من كان معه قبل صلاة فمباحة ومن لم يكن معه فمستحبة إذ هي سنة عند اللقاء إجماعا وقال بعضهم إن المصلي كالغائب فعليه تستحب عقيب الخمس مطلقا. (بغية المسترشدين، ص 50-51).

Bersalaman itu termasuk bid’ah yang mubah, dan ‘mam al-Nawawi menganggapnya sesuatu yang baik. Tapi hendaknya di-tafshil (diperinci), antara orang yang sebelum shalat sudah bertemu, maka salaman itu hukumnya mubah (boleh). Dan jika memang sebelumnya tidak bersama (tidak bertemu), maka dianjurkan (untuk salaman setelah salam shalat). Karena salaman itu disunnahkan ketika bertemu menurut ijma ulama. Sebagian ulama berpendapat bahwa orang yang shalat seperti orang yang gha’ib (tidak ada/tidak bertemu). Maka baginya disunnahkan bersalaman setiap selesai shalat lima waktu secara mutlak (baik sudah bertemu sebelumnya atau tidak).” (Bughyah al-Mustarsyidin, 50-51)

Dari penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa hukum bersalaman setelah shalat adalah boleh, bahkan sunnah dilakukan jika sebelum shalat memang belum pernah bertemu. Namun yang harus diperhatikan adalah jangan sampai berjabat tangan itu mengganggu kekhusyu’an orang yang sedang wirid dan dzikir. Karena itu dalam ceramahnya pada tanggal 1 Mei 2005 di PIQ, KH. Bashori Alwi menjelaskan seyogyanya berjabat tangan itu dilakukan setelah wirid dan do’a, agar tidak mengganggu kekhusyu’an orang yang sedang membaca dzikir atau do’a.

Komentar

Belum ada komentar. Mengapa Anda tidak memulai diskusi?

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *