Fiqh Tradisionalis – Bab I Muqaddimah – Persoalan Bid’ah

Rangkaian Pos: Muqaddimah - Fiqh Tradisionalis

6. Persoalan Bid’ah

Soal:

Belakangan, begitu gencar tudingan bid’ah pada seseorang atau kelompok tertentu. Yang satu menyatakan bahwa kelompok yang tidak sepaham dengannya melakukan bid’ah, sehingga mereka tersesat dan ‘berhak’ masuk neraka. Sementara yang lain juga menuding kelompok lain mengembangkan bid’ah. Saling tuding seperti inilah kemudian menyebabkan perpecahan di kalangan umat Islam. Apa sebetulnya bid’ah itu? Dan apakah memang benar bid’ah itu selalu berkonotasi negatif, sehingga harus dihilangkan dari muka bumi ini?

Jawab:

Menurut al-Imâm Abû Muhammad Izzuddin bin ‘Abdissalâm, bid’ah adalah:

البدعة فعل مالم يعهد في عصر رسول الله صلى الله عليه و سلم (قـــواعد الأحكام في مصالح الأنام ، ج ۲ ص ۱۷۲).

“Bid’ah adalah mengerjakan sesuatu yang tidak pernah dikenal (terjadi) pada masa Rasulullah SAW” (Qawa’id al-Ahkam fi Mashâlih al-Anâm, Juz II, hal 172).

Melihat definisi di atas maka cakupan bid’ah itu sangat luas sekali. Mencakup semua perbuatan yang tidak pernah ada pada masa Nabi Muhammad SAW. Karena itulah sebagian besar Ulama membagi Bid’ah menjadi lima macam:

1) Bid’ah Wajibah, yakni bid’ah yang dilakukan untuk mewujudkan hal-hal yang diwajibkan oleh syara’ Seperti mempelajari ilmu Nahwu, Sharaf, Balåghah dan lain-lain. Sebab, hanya dengan ilmu-ilmu inilah seseorang dapat memahami al-Qur’ân dan hadits Nabi Muhammad SAW secara sempurna.

2) Bid´ah Muharramah, yakni bid’ah yang bertentangan dengan syara’. Seperti madzhab Jabariyyah dan Murji’ah.

3) Bid’ah Mandúbah, yakni segala sesuatu yang baik, tapi tak pernah dilakukan pada masa Rasulullah SAW. Misalnya, shalat tarawih secara berjama’ah sebulan penuh, mendirikan madrasah dan pesantren.

4) Bid’ah Makrûhah, seperti menghiasi masjid dengan hiasan yang berlebihan.

5) Bid’ah Mubahah, seperti berjabatan tangan setelah shalat dan makan makanan yang lezat. (Qawa’id al-Ahkâm fi Mashâlih al-Anâm, Juz, I hal, 173).

Maka tidak heran jika sejak dahulu para ulama telah membagi bid’ah menjadi dua bagian besar. Sebagaimana dijelaskan oleh Imam Syafi’î RA yang dikutip dalam kitab Fath al-Bârî:

المحدثات ضربان ما أحدث يخالف كتابا أو سنة أو أثرا أو إجماعا فهذه بدعة الضلال وما أحدث من الخير لا يخالف شيأ من ذلك فهي محدثة غير مذمومة (فتح الباری، ج ۱۷ ص ۱۰).

“Sesuatu yang diada-adakan itu ada dua macam. (Pertama), sesuatu yang baru itu menyalahi al-Qur’ân, Sunnah Nabi SAW, Atsar sahabat atau Ijma’ ulama. Ini disebut dengan bid’ah dhalâl (sesat). Dan (kedua, jika sesuatu yang baru tersebut termasuk kebajikan yang tidak menyalahi sedikitpun dari hal itu (al-Qur’ân, al-Sunnah dan Ijma’). Maka perbuatan tersebut tergolong perbuatan baru yang tidak dicela” (Fath al-Bârî, juz XVII, hal 10).

Syaikh Nabil Husaini menjelaskan sebagai berikut:

وقد تكلم أهل العلم في المحدثات التي تسموها إلى قسمين : بدعة حسنة وبدعة ضلالة فأما البدعة الحسنة فهي الموافق لكتاب الله وسنة رسول الله صلى الله عليه وسلم ، وهي داخلة تحت قوله صلى الله عليه وسلم “من سن في الإسلام سنة حسنة فله أجرها وأجر من عمل بها بعده ولا ينقص من أجورهم شيء ، ومن سن في الإسلام سنة سيئة فعليه وزرها ووزر من عمل بها بعده ولاينقص من أوزارهم شيء ” رواه مسلم وللحديث الصحيح الموقوف وهو قول عبد الله بن مسعود : ما استحسنه المسلمون فهو عند الله حسن وما استقبحه المسلمون فهو عند الله قبيح صححه الحافظ ابن حجر في الأمالي(البدعة الحسنة واصلها من الكتاب والسنة ، 28).

“Para ahli ilmu telah membahas persoalan ini kemudian membaginya menjadi dua bagian. Yakni bid’ah hasanah dan bid’ah dhalalah. Yang dimaksud dengan bid’ah hasanah adalah perbuatan yang sesuai kepada kitab Allah SWT dan sunnah Rasulullah SAW. Keberadaan bid’ah hasanah ini masuk dalam bingkai sabda Nabi SAW yang diriwayatkan oleh Imam Muslim, “Siapa saja yang membuat sunnah yang baik (sunnah hasanah) dalam agama Islam, maka dia akan mendapatkan pahala dari perbuatan tersebut serta pahala dari orang-orang yang mengamalkannya setelah itu, tanpa mengurangi sedikitpun pahala mereka. Dan barang siapa yang merintis sunnah jelek (sunnah sayyi’ah), maka ia akan mendapatkan dosa dari perbuatan itu dan dosa dosa orang setelahnya yang meniru perbuatan tersebut, tanpa sedikitpun mengurangi dosa-dosa mereka”. Dan juga berdasarkan Hadits shahih yang mauquf, yakni ucapan Abdullah bin Mas’ud RA, “Setiap sesuatu yang dianggap baik oleh semua muslim, maka perbuatan tersebut baik menurut Allah SWT, dan semua perkara yang dianggap buruk orang orang-orang Islam, maka menurut Allah SWT perbuatan itu juga buruk.” Hadits ini dishahihkan oleh al-Hafizh Ibn Hajar dalam al-Amali.” (al-Bid`ah al-Hasanah, wa Ashluhâ min al-Kitâb wa al-Sunnah, 28).

Dari sini dapat diketahui bahwa bid’ah terbagi menjadi dua. Pertama, bid’ah hasanah, yakni bid’ah yang tidak dilarang dalam agama karena mengandung unsur yang baik dan tidak bertentangan dengan ajaran agama. Masuk dalam kategori ini adalah bid’ah wajibah, mandabah, dan mubahah. Dalam konteks inilah perkataan Sayyidina Umar bin Khatthâb RA tentang jama’ah shalat tarawih yang beliau laksanakan:

نعمت البدعة هذه . (الموطأ ، رقم ۲۳۱).

“Sebaik-baik bid’ah adalah ini (yakni shalat tarawih dengan berjama’ah).” (Al-Muwaththa’ [231] ).

Contoh, bid’ah hasanah adalah khutbah yang diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia, membuka suatu acara dimulai dengan membaca basmalah di bawah seorang komando, memberi nama pengajian dengan istilah kuliah shubuh, pengajian ahad pagi atau titian senja, menambah bacaan subhanahu wa ta’ala (yang diringkas menjadi SWT) setiap ada kalimat Allah, dan Shallallahu ‘alaihi wasallam (yang diringkas SAW atau) setiap ada kata Muhammad. Serta perbuatan lainnya yang belum pernah ada pada masa Rasulullah SAW, namun tidak bertentangan dengan inti ajaran agama Islam.

Kedua, bid’ah sayyi’ah (dhalálah), yaitu bid’ah yang mengandung unsur negatif dan dapat merusak ajaran dan norma agama Islam. Bid’ah muharramah dan makriihah dapat digolongkan pada bagian yang kedua ini. Inilah yang dimaksud sabda Nabi Muhammad SAW:

عن عائشة رضي الله عنها قالت أن رسول الله صلى الله عليه وسلم قال: من عمل عملا ليس عليه أمرنا فهو رد ۔ (صحیح مسلم ، رقم ٢٤٣ ).

“Dari Aisyah RA, ia berkata, “Sesungguhnya Rasulullah SAW bersabda, “Barang siapa yang melakukan suatu perbuatan yang tiada perintah kami atasnya, maka amal itu ditolak 1(Shahih Muslim, [243])

Dengan adanya pembagian ini, dapat disimpulkan bahwa tidak semua bid’ah itu dilarang dalam agama. Sebab yang tidak diperkenankan adalah perbuatan yang dikhawatirkan akan menghancurkan sendi-sendi agama Islam. Sedangkan amaliyah yang akan menambah syi’ar dan daya tarik agama Islam tidak dilarang. Bahkan untuk saat ini, sudah waktunya umat Islam lebih kreatif untuk menjawab berbagai persoalan dan tantangan zaman yang makin kompleks, sehingga agama Islam akan selalu relevan di setiap waktu dan tempat.

Catatan:

  1. Hadits-hadits yang semisal ini sering dijadikan dalil untuk melarang semua bentuk perbuatan baru yang tidak pemah dilaksanakan pada masa Nabi SAW, padahal yang dimaksud tidak seperti itu. Para Ulama menyatakan bahwa yang dilarang dalam Hadits itu adalah membuat-buat hukum baru yang tidak pernah disebutkan dalam al-Qur’ an atau Hadits, baik secara eksplisit maupun implisit, lalu meyakininya sebagai suatu bentuk ibadah murni kepada Allah SWT. Karena itu, Ulama membuat beberapa kriteria dalam persolan bidah ini. Pertama, jika perbuatan itu memiliki dasar yang kuat dalam dalil syar’i (baik yang parsial atau dalil umum), maka tidak tergolong bidah. Bila tidak ada dalil yang dapat dibuat sandaran, itulah bid’ah yang dilarang. Kedua, memperhatikan apa yang menjadi ajaran ulama salaf (Ulama pada abad 1,2, dan 3 H.). Bila sudah diajarkan oleh mereka, atau memiliki landasan yang kuat dari ajaran dan kaidah yang mereka buat, maka perbuatan itu bukan bid’ah. Apabila tidak, maka perbuatan tersebut tergolong bid’ah. Ketiga, dengan jalan Qiyas. Yakni mengukur perbuatan tersebut dengan amaliyah-amaliyah yang telah ada hukumnya dari nash al-Qur’an dan Hadits. Bila identik dengan perbuatan haram, maka perbuatan baru masuk pada kategori bid’ah (muharramah). Bila memiliki kemiripan dengan yang wajib, tentu harus digolongkan pada bid’ah wajibah. Dan begitu seterusnya. Lihat: KH.Hasyim Asy’ari, Risalah Ahl al-Sunnah wa al-Jama’ah, hal, 6-7

Komentar

Belum ada komentar. Mengapa Anda tidak memulai diskusi?

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *