Soal:
Kalau memang Bid’ah terbagi menjadi dua, lalu bagaimana dengan Hadits Rasûlullah SAW yang menyatakan bahwa semua bid’ah itu sesat?
Jawab:
Untuk memahami al-Qur’an ataupun Hadits, tidak bisa hanya dilihat secara parsial atau hanya melihat arti lahiriyah sebuah teks. Ada banyak hal yang harus diperhatikan ketika membaca serta menafsirkan al-Qur’an atau al-Hadits. Misalnya kondisi masyarakat ketika ayat tersebut diturunkan. Termasuk pula meneliti teks tersebut dari aspek kebahasaannya, yakni dengan perangkat Ilmu Nahwu, Sharf, Balaghah, Mantiq, dan sebagainya. Hadits yang sering dijadikan dasar pelarangan semua bid’ah itu adalah:
عن عبد الله بن مسعود ، أن رسول الله صلى الله عليه وسلم قال الأولياكة ومحدثات الأمور فإن شر الأمور محدثاتها وكل محدثة بدعة وكل بدعة ضلالة . (سنن ابن ماجه ، رقم 45 ).
“Dari Abdullah bin Mas’ud, sesungguhnya Rasulullah SAW bersabda, “Ingatlah, kalian, jangan sampai membuat hal-hal yang baru (yang bertentangan dengan ajaran syara’). Karena perkara yang paling jelek adalah membuat-buat hal baru dalam masalah agama. Dan setiap perbuatan yang baru dibuat itu adalah bid’ah. Dan sesungguhnya semua bid’ah itu adalah sesat.” (Sunan Ibn Majah [45]).
Dalam Hadits ini, Nabi SAW menggunakan kata “kullu”, yang secara tekstual diartikan seluruh atau semua. Sebenarnya, kata kullu tidak selamanya berarti keseluruhan atau semua, namun adakalanya berarti sebagian, seperti firman Allah SWT:
وجعلنا من الماء كل شيء حي : (الأنبياء ، ۳۰ ).
“Dan Kami jadikan segala sesuatu yang hidup itu dari air.” (QS. al Anbiya’, 30).
Walaupun ayat ini menggunakan kata kullu, namun tidak berarti semua benda yang ada di dunia ini diciptakan dari air. Buktinya adalah firman Allah SWT:
وخلق الجان من مارج من نار . (الرحمن ، ١٥).
“Dan Allah SWT menciptakan Jin dari percikan api yang menyala.” (QS. al-Rahman, 15).
Contoh lain adalah firman Allah SWT:
وكان وراء هم ملك يأخذ كل سفينة غصبا ، (الكهف ، ۱۷۹).
“..Karena di hadapan mereka ada seorang raja yang merampas tiap-tiap perahu.” (QS. al-Kahfi, 179).
Ayat ini menjelaskan bahwa di hadapan Nabi Musa AS dan Nabi Khidhir AS ada seorang raja lalim yang suka merampas perahu yang bagus. Sedangkan perahu yang jelek tidak diambil. Buktinya perahu yang ditumpangi kedua hamba pilihan itu dirusak oleh Nabi Khidhir AS agar tidak diambil oleh raja lalim tersebut. Kalau semua perahu dirampas, tentu Nabi Khidhir AS tidak akan merusak bagian tertentu dari perahu yang mereka tumpangi. Hal ini juga menunjukkan bahwa tidak semua perahu dirampas oleh raja tersebut juga menjadi petunjuk bahwa kullu pada ayat itu tidak dapat diartikan keseluruhan, tapi berarti sebagian saja, yakni hanya perahu-perahu yang bagus saja.
Maka demikian pula dengan Hadits tentang bid’ah itu. Walaupun menggunakan kata kullu, bukan berarti seluruh bid’ah dilarang. Karena yang terlarang adalah sebagian bid’ah saja, tidak semuanya.1 Ini bisa dibuktikan, karena ternyata para sahabat juga banyak melaksanakan perbuatan serta membuat kebijakan yang tidak pernah ada pada waktu Rasûlullah SAW masih hidup. Misalnya usaha untuk membukukan al-Qur’ân, menambah jumlah adzan menjadi dua kali pada hari jum’at, shalat tarawih secara berjama’ah sebulan penuh, dan masih banyak lagi hasil ijtihad para sahabat yang ternyata tidak pernah ada pada masa Rasûlullah SAW.
Nah, kalau kullu pada Hadist itu diartikan keseluruhan, yang berarti semua bid’ah dilarang, berarti para sahabat telah melakukan dosa secara kolektif (bersama). Padahal, sejarah telah membuktikan bahwa mereka adalah orang-orang yang beriman dan bertaqwa kepada Allah SWT, mengerjakan yang diperintahkan dan menjauhi segala larangan Allah SWT dan Rasul-Nya. Bahkan di antara mereka sudah dijamin sebagai penghuni surga. Maka tidak mungkin kalau para sahabat Nabi SAW tidak mengetahui, apalagi tidak mengindahkan larangan dalam Hadits itu.
Ini sebagai bukti nyata bahwa kata kullu yang ada pada Hadits itu berarti sebagian, bukan keseluruhan. Karena itu tidak semua bid’ah dilarang. Yang dilarang hanya bid’ah yang secara nyata akan merusak ajaran agama Islam.