Para ‘Ulamā’ menjelaskan 4 tahapan keimanan terhadap taqdīr. Barang siapa yang mengimani keempat tahapan tersebut dengan benar, maka telah benarlah keimanannya terhadap taqdīr. Empat tahapan itu adalah:
Allah Maha Mengetahui segala sesuatu, termasuk apa yang akan terjadi di alam semesta ini secara detail. Allah Maha Mengetahui segala sesuatu sebelum terjadinya.
إِنَّ اللهَ بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيْمٌ.
“…..Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.”
(QS. an-Anfāl [8]: 75).
Al-Imām asy-Syāfi‘ī r.h. menyatakan:
Al-Qadariyyah (para pengingkar taqdir) yang disebut oleh Rasūlullāh s.a.w. sebagai Majūsī-nya umat ini adalah orang-orang yang menyatakan bahwa Allah tidak mengetahui kemaksiatan sampai terjadinya kemaksiatan (sebelum terjadi kemaksiatan, Allah belum tahu). (Manāqib al-Imām asy-Syāfi‘ī karya al-Baihaqī (1/413).).
مَا أَصَابَ مِنْ مُّصِيْبَةٍ فِي الْأَرْضِ وَ لَا فِيْ أَنْفُسِكُمْ إِلَّا فِيْ كِتَابٍ مِّنْ قَبْلِ أَنْ نَّبْرَأَهَا إِنَّ ذلِكَ عَلَى اللهِ يَسِيْرٌ
“Tidaklah ada suatu musibah yang menimpa di bumi atau pada diri kalian kecuali telah (tertulis) dalam kitab (Lauḥ-ul-Maḥfūzh) sebelum Kami menciptakan-Nya.”
(QS. al-Ḥadīd [57]: 22).
كَتَبَ اللهُ مَقَادِيْرَ الْخَلَائِقِ قَبْلَ أَنْ يَخْلُقَ السَّمَاوَاتِ وَ الْأَرْضَ بِخَمْسِيْنَ أَلْفَ سَنَةٍ.
“Allah menulis taqdīr-taqdīr (seluruh makhluk) 50 ribu tahun sebelum diciptakannya langit dan bumi.”
(HR. al-Imām Muslim no. 4797).
Hal yang tertulis dalam Lauḥ-ul-Maḥfūzh berisi secara detail segala sesuatu yang terjadi di dunia hingga hari kiamat, tidak akan pernah berubah. Tidak ada penambahan atau pengurangan sedikitpun.
إِنَّ أَوَّلَ مَا خَلَقَ اللهُ الْقَلَمَ فَقَالَ لَهُ: اُكْتُبْ قَالَ: رَبِّ وَ مَاذَا أَكْتُبُ قَالَ: اُكْتُبْ مَقَادِيْرَ كُلِّ شَيْءٍ حَتَّى تَقُوْمَ السَّاعَةُ.
“Sesungguhnya yang pertama kali Allah ciptakan adalah pena (penulis taqdīr). Kemudian Allah berfirman kepadanya: “Tulislah”. Ia berkata: Tuhanku apa yang aku tulis. Allah berfirman: “Tulislah taqdīr-taqdīr segala sesuatu sampai tegak hari kiamat”.”
(HR. al-Imām Abū Dāwūd, al-Imām at-Tirmidzī, al-Imām Aḥmad, di-shaḥīḥ-kan oleh asy-Syaikh al-Albānī).
…. وَ اعْلَمْ أَنَّ الْأُمَّةَ لَوِ اجْتَمَعَتْ عَلَى أَنْ يَنْفَعُوْكَ بِشَيْءٍ لَمْ يَنْفَعُوْكَ إِلَّا بِشَيْءٍ قَدْ كَتَبَهُ اللهُ لَكَ وَ لَوِ اجْتَمَعُوْا عَلَى أَنْ يَضُرُّوْكَ بِشَيْءٍ لَمْ يَضُرُّوْكَ إِلَّا بِشَيْءٍ قَدْ كَتَبَهُ اللهُ عَلَيْكَ رُفِعَتِ الْأَقْلَامُ وَ جَفَّتِ الصُّحُفُ.
“…. Ketahuilah, sekiranya semua umat berkumpul untuk memberikan kepadamu sesuatu keuntungan, maka hal itu tidak akan kamu peroleh selain dari apa yang sudah Allah tetapkan untuk dirimu. Sekiranya mereka pun berkumpul untuk melakukan sesuatu yang membahayakan kamu, niscaya tidak akan membahayakan kamu kecuali apa yang telah Allah tetapkan untuk dirimu. Pena-pena (yang menuliskan taqdir) telah diangkat dan lembaran-lembaran (pada Lauḥ-ul-Maḥfūzh) telah kering.”
(HR. al-Imām at-Tirmidzī, al-Imām Aḥmad, di-shaḥīḥ-kan asy-Syaikh al-Albānī).
وَ لَوْ شَاءَ اللهُ مَا فَعَلُوْهُ.
“…. Seandainya Allah menghendaki, niscaya mereka tidak akan melakukannya….”
(QS. al-An‘ām [6]: 137).
إِنَّمَا أَمْرُهُ إِذَا أَرَادَ شَيْئًا أَنْ يَقُوْلَ لَهُ كُنْ فَيَكُوْنُ
“Sesungguhnya keadaan-Nya apabila Dia menghendaki sesuatu hanyalah berkata kepadanya: “Jadilah!” maka terjadilah ia.”
(QS. Yāsīn [36]: 82).
Kehendak di sini yang dimaksud adalah irādah kauniyyah. Sedangkan irādah syar‘iyyah bisa terjadi bisa tidak terjadi. Makhluk memiliki juga kehendak, namun kehendaknya di bawah kehendak Allah. Dalilnya adalah:
لِمَنْ شَاءَ مِنْكُمْ أَنْ يَسْتَقِيْمَ. وَ مَا تَشَاؤُوْنَ إِلَّا أَنْ يَشَاءَ اللهُ رَبُّ الْعَالَمِيْنَ
“Bagi siapa di antara kalian yang berkehendak untuk menempuh jalan yang lurus. Dan tidaklah mereka berkehendak kecuali sesuai (di bawah) kehendak Allah Tuhan semesta alam.”
(QS. at-Takwīr [81]: 28-29).
اللهُ خَالِقُ كُلِّ شَيْءٍ.
“Allah adalah Pencipta segala sesuatu....”
(QS. az-Zumar [39]: 62)
وَ اللهُ خَلَقَكُمْ وَ مَا تَعْمَلُوْنَ.
“Dan Allah yang menciptakan kalian dan apa yang kalian perbuat.”
(QS. ash-Shāffāt [37]: 96).
Itulah 4 tahapan dalam keimanan terhadap taqdīr. Jika seseorang mengingkari dua tahapan pertama tentang ‘Ilmu Allah dan penulisan taqdir, maka ia adalah Qadariyyah yang sampai pada taraf kāfir karena ia tidak beriman terhadap ‘Ilmu Allah.
Sebagaimana perkataan Al-Imām asy-Syāfi‘ī r.h. tentang Qadariyyah. Jika seseorang mengingkari tahapan ke-3 atau ke-4 maka ia adalah Mu‘tazilah yang menyimpang. Para ‘Ulamā’ tidak mengafirkannya karena ia menyimpang akibat kesalahan ta’wil. Namun, tetap saja pemahaman tersebut adalah batil. Ahl-us-Sunnah mengimani 4 tahapan taqdir tersebut secara benar (disarikan dari penjelasan Syaikh ‘Abd-ul-‘Azīz ar-Rajihī dalam menjelaskan Syarḥ-us-Sunnati lil-Muzanī).